Berita Lembata

Hasil Tangkapan Nelayan Hadakewa Lembata Berkurang, Ini Penyebabnya

Lasarus Wato, salah satu nelayan, mengaku hasil tangkapan mereka berkurang drastis karena kehadiran kapal purse seine.

Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM/RICKO WAWO
NELAYAN - Nelayan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata sedang bersiap ke tengah laut untuk meletakan tanda zonasi muro pada tanggal 7 Maret 2022 lalu. 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Ricko Wawo

TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA - Nelayan tradisional di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata mulai merasakan dampak dari eksploitasi laut yang berlebihan dari kapal tangkap purse seine dan alat tangkap lampara.

Pada Jumat, 11 Maret 2022, puluhan nelayan ini mendatangi Kantor Desa Hadakewa dan mengadukan masalah ini kepada Kepala Desa Klemens Kwaman.

Lasarus Wato, salah satu nelayan, mengaku hasil tangkapan mereka berkurang drastis karena kehadiran kapal purse seine.

Daya tangkap pukat purse seine dan lampara yang merusak biota laut dan sangat masif berpengaruh pula pada hasil tangkapan para nelayan tradisional.

Baca juga: Cerita Paulus Keluarga Pasien Covid-19 di Sikka Layani Kebutuhan Istri dari Jendela

 

Dirinya menceritrakan bahwa pada tahun 2021 pada awal tahun seperti sekarang, hasil tangkapan mereka begitu melimpah, tapi sekarang justru berbanding terbalik.

"Mereka (purse seine) pakai alat tangkap yang merusak sekali," ungkap Lasarus.

Menurut dia, kapal purse seine dan lampara masuk ke Teluk Lewoleba sejak dua atau tiga tahun lalu. Selain nelayan dari luar, ternyata ada juga nelayan Hadakewa yang mempunyai purse seine.

"Kita konservasi dulu. Setelah masalah ini habis kita akan pikir ke depan. Jangan buat hal hal yang di luar kesepakatan," tegas Kepala Desa, Klemens di hadapan para nelayan.

Baca juga: Warga LAUT Senang Pemda Manggarai Timur Salurkan Beras Bantuan

Kepala desa dua periode ini sudah memikirkan dilakukannya konservasi laut untuk menyelamatkan ekosistem Teluk Hadakewa yang terancam rusak.

"Tahun ini harus mulai konservasi," kata dia.

Model konservasi laut yang akan diterapkan disebut Muro, kearifan lokal warisan leluhur di Lembata untuk menjaga kelestarian ikan-ikan, terumbu karang dan biota laut.

Muro saat ini telah diterapkan di desa Kolontobo, Tapobaran, Dikesare, Lamatokan, dan Lamawolo berkat advokasi yang komprehensif dan LSM Barakat.

"Wajib konservasi. Dulu ikan banyak sekali, semua jenis. Sekarang tinggal beberapa jenis saja dan sudah mulai berkurang," ujar Klemens.

Klemens akan berkomunikasi dengan Direktur LSM Barakat Benediktus Bedil guna memperkuat pemahaman masyarakat di Hadakewa tentang Muro.

Baca juga: Pater Alex Beding Tutup Usia, Dimakamkan di Ledalero Maumere Sikka

Ditemui terpisah, Piter Pulang, peneliti lingkungan, memberikan isyarat kehancuran biota laut di Teluk Hadakewa jika tak segera dilakukan konservasi dengan Muro.

"Harus Muro di Teluk Hadakewa, kalau tidak hancur," tegasnya.

Sistem Zonasi Muro

Dalam Muro, masyarakat juga punya kearifan untuk menetapkan zonasi yakni pertama; “Tahi Tubere” atau“ Jiwa Laut”.

Lokasi ini sama dengan zona inti. Tempat ini menjadi kamar ikan kawin-mawin dan beranak pinak. Sebab itu, jangan diganggu agar ikan bisa berkembang biak menjadi banyak dan dewasa agar ketika keluar bisa ditangkap.

Kedua, “Ikan Berewae” atau“ Ikan Perempuan”. Lokasi ini sama dengan Zona Penyangga. Perempuan dan anak-anak diprioritaskan untuk menangkap ikan di lokasi ini tapi cuma dengan memancing.

Ketiga, “Ikan Ribu Ratu” atau“ Ikan untuk Umum”. Lokasi ini sama dengan Zona Pemanfaatan. Lokasi ini akan dibuka dan ditutup sesuai kesepakatan.

Ada yang setiap tahun, ada yang tergantung dari kebutuhan umum, dan ada yang dibuka 3–5 kali setahun untuk semua masyarakat menangkap beramai-ramai.

Piter Pulang berujar, pihaknya terus melakukan 'penyadartahuan' tentang Muro atau Bedu dan dampaknya untuk perubahan iklim.

Baca juga: Diaspora Lembata Sedunia: Alex Beding Tokoh Pers dan Nelayan di Laut Lain

"Tiga elemen yang juga mau kita jaga itu mangrove, terumbu karang dan lamun," tegasnya.

Melalui konsultasi publik, Muro seluas 358,28 ha disepakati masyarakat di 6 desa untuk dilindungi; melalui advokasi Muro di legitimasi melalui Sumpah Adat di Namang dan dilegalisasi melalui SK Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor:192/KEP/HK/2019 tertanggal 11Juni 2019 tentang “Pencadangan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Lembata” dan dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Lembata Nomor 95 Tahun 2021.

Melalui pemberdayaan 25 orang anggota POKMASWAS Kapitan Sari Lewa, Muro diawasi melalui sebuah SOP bersama Tim Pengawas di Tingkat Kabupaten; dan melalui SK Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Lembata Nomor:
DISKAN.523/SD1.101/v/2019,KELOMPOK MASYARAKAT PENGAWAS (POKMASWAS) KAPITAN SARI LEWA di 5 desa, mendapat mandat untuk melakukan pengawasan.(*)

Berita Lembata Lainnya

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved