In Memoriam Pater Alex Beding SVD
Membangun Nusa Indah dari Kantor Sederhana
Kecintaan pada bahasa dan budaya menjadi basis bagi Pater Alex Beding untuk terlibat dalam bidang pers dan perbukuan selama puluhan tahun.
Penulis, Dion DB Putra
SELAMA kurang lebih sebelas tahun (1959-1970) mengabdi di Seminari Menengah St Yohanes Berchmans di Todabelu, Mataloko Ngada, Pater Alexander Antonius Beding, SVD menempati sejumlah posisi penting di lembaga pendidikan calon imam tersebut. Alex Beding tercatat menjabat Direktur Studi Seminari Menengah (1961-1962), Rektor Seminari Mataloko (1962-1965) dan Prefek Seminari Menengah Mataloko/SMA Todabelu (1966-1970).
Selama di seminari ini, Alex Beding menunjukkan kecintaannya yang mendalam terhadap bahasa dan budaya. Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” (Ledalero 2011, hal 32), kecintaan pada bahasa dan budaya tersebut menjadi basis bagi Alex Beding untuk terlibat dalam bidang pers dan perbukuan selama puluhan tahun.
Di Seminari Mataloko, Pater Alex mengorganisir kegiatan budaya seperti majalah Florete yang melatih para siswa untuk mengorganisir pikiran dan gagasannya agar kelak berguna dalam karya pewartaaan sebagai imam. Ia juga merintis Akademi Sanctus Agustinus sebagai media untuk melatih para siswa seminari tampil di depan umum mengemukakan gagasan dan pikiran secara baik dan benar.
Pater Alex mengenang semua itu lewat catatannya sebagai berikut. “Mereka (siswa seminari) belajar bersama mengorganisir acara-acara kesenian dan kebudayaan. Kami juga menggelar drama atau sandiwara antara lain Josef di Dothan, Saul dan David dan sandiwara humor seperti Sakit Khayal dan Moliere. Di kemudian hari sejumlah dari mereka terjun dalam kegiatan sebagai penulis, wartawan, sastrawan atau cendekiawan Katolik.”
Baca juga: Imam Sulung Lembata dan Tokoh Pers NTT
Mungkin tanpa disadarinya, kecintaan pada bahasa dan budaya itu menjadi pertimbangan utama pimpinan SVD pada tahun 1970 memberikan tugas baru kepada Alex Beding yaitu meninggalkan Mataloko menuju Ende, kota pendidikan, kota bersejarah di Pulau Flores. Alex Beding tidak lagi menjadi pendidik bagi calon imam.Dia diutus menjadi pelayan di medan kehidupan yang lain.
Meskipun menggambarkan kepergiannya ke Ende itu sebagai bagian dari misi perutusan Serikat Sabda Allah (SVD), namun Pater Alex Beding mengakui pada awalnya dia tidak tahu apa yang harus dikerjakan di Ende. Ia menulis panjang mengenang moment tersebut.
“Studi saya pada Universitas Indonesia tidak jadi dilanjutkan. Saya melepaskan seminari dan pergi ke Ende dan belum tahu apa yang harus saya buat. Ternyata ada satu rencana dan ada satu orang yang langsung ‘menangkap’ saya ialah P Heinz Heuhaus, Direktur Percetakan Arnoldus Ende. Dia mulai membangkitkan bagi saya gagasan untuk mulai dengan penerbitan buku-buku.
Bruder Vitalis pada waktu itu menjalankan sebuah toko buku kecil bernama Nusa Indah yang menjual buku-buku yang dicetak pada Percetakan Arnoldus. Yang perlu saya buat adalah menyediakan naskah-naskah. Jadi kami mulai dengan sebuah kantor sederhana yang tidak lama kemudian menjadi Biro Naskah Nusa Indah. Di sinilah saya menyiapkan terbentuknya Penerbit Nusa Indah. Untuk itu saya mencari rekan-rekan. Thom Wigyanta, seorang eks frater, Paceli Boleng, Ansel da Iri, Albert Pantaleon sebagai pengetik, Eli Parera sebagai penggambar dan lain-lain.”
Baca juga: Dia Menjala di Lautan Lain
Pater Alex Beding, imam, biarawan dan misionaris penulis tersebut juga mengenang Nusa Indah sebagai penerbit yang membawa misi pewartaan Sabda Allah ke tengah masyarakat Flores dan Indonesia pada umumnya. Ini pun bagian dari misi Serikat Sabda Allah. Sejalan dengan spirit pendiri serikat misi Arnoldus Janssen tentang peran kerasulan lewat buku dan media massa.
“Kami menyusun mula-mula sebuah kerangka penerbitan SVD Nusa Indah yang misinya adalah ‘Mewartakan Sabda Allah’. Jadi pada tempat pertama ialah Kitab Suci dan semua yang berkaitan dengan Kitab Suci. Selanjutnya teologi, katekese, kehidupan Kristiani dan bidang-bidang lain untuk pembangunan manusia. Lalu saya berkeliling mencari penulis-penulis dan menawarkan kesempatan menyediakan naskah yang kami terbitkan. Tanpa sadar kami telah mempunyai jaringan relasi yang cukup luas. Kami mendapat karya dari Pak Drs. Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia yang dapat disebut sebagai buku tata bahasa terbaru, yang akhirnya amat laris dan menjadi buku pegangan pelajaran Bahasa Indonesia.
Kehidupan Gereja sudah mendapat angin baru dan segar dari Konsili Vatikan II. Adik saya Marcel Beding yang belajar pada Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta ambil bagian penting dalam pembentukan Penerbit Nusa Indah. Dia menerjemahkan banyak buku, misalnya Ensiklik-ensiklik yang kami terbitkan dan bersama dia kami menyusun buku-buku baru untuk kegiatan Gerejani. Kami harus membawa pembaharuan dalam sarana kehidupan Kristiani, yakni buku sembahyang yang baru: Bapa Kami, Tuhanlah Gembalaku dan juga buku nyanyian baru Syukur Kepada Bapa. Adik saya yang lain P Yoh Bosko Beding, SVD yang juga belajar publisistik bergabung dengan kami. Dia menghasilkan beberapa buku yang laris. Untuk pengembangan pertanian, kami terbitkan buku-buku tentang pertanian. Selain itu novel-novel, kamus-kamus mendapat tempat yang baik dalam penerbitan Nusa Indah.”
Baca juga: Dari Mataloko ke Ende Membangun Nusa Indah
Pater Alex Beding mendirikan Penerbit Nusa Indah dan menjadi direkturnya selama empat belas tahun (1970-1984). Pada masa kepemimpinannya, Penerbit Nusa Indah dikenal luas tidak hanya di Flores, Lembata dan Nusa Tenggara Timur tetapi seluruh Indonesia bahkan mancanegara. Nusa Indah kala itu merupakan satu-satunya penerbit terkemuka di kawasan Timur Indonesia atau di luar Pulau Jawa.
Kantor Penerbit Nusa Indah masih berdiri anggun di Jalan El Tari, Kota Ende. Penerbit yang dibangun Pater Alex Beding, SVD sejak 42 tahun lalu masih eksis sampai hari ini. Usia 42 tahun bukanlah sebuah masa waktu yang pendek dan untuk itu semua, kiranya sang peletak dasar Alex Beding, SVD pantas dikenang.
Melalui kehadiran Penerbit Nusa Indah pada tahun 1970, masyarakat NTT memasuki babak baru dalam peradabannya yaitu merajut tradisi membaca, menghasilkan karya-karya intelektual yang akan tetap awet hingga masa mendatang. Melalui Penerbit Nusa Indah, Flores, Lembata dan NTT bukanlah yang terkecil dan terkebelakang di antara gunung-gemunung Nusantara. Peran mencerdaskan bangsa sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945 juga bersinar dari Ende, dari Nusa Bunga.