Berita NTT

Pandangan Dosen Faperta Undana soal Progam TJPS di NTT, Petani Tidak Maju hingga Harga Jagung Rendah

Dia mengakui, lokasi lahan yang terpencar atau tidak fokus di satu titik. Ini yang menimbulkan meningkatkannya biaya operasional petani.

Editor: Gordy Donovan
POS KUPANG.COM/ADRIANUS DINI
BAGI PANEN - Pemdes Saenam TTS bagi hasil panen jagung kepada 48 KK kurang mampu di Kantor desa setempat pada Rabu 29 Maret 2023. Pandangan Dosen Faperta Undana soal Progam TJPS di NTT, Petani Tidak Maju hingga Harga Jagung Rendah 

TRIBUNFLORES.COM, KUPANG - Program kemitraan atau program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) kemitraan disupport oleh Bank NTT.

Program ini berjalan karena ada dukungan dari Bank. Hal ini dikatakan Akademisi Faperta Undana, Dr. Leta R. Levis saat dwawancarai POS-KUPANG.COM, Rabu 7 Juni 2023.

"Kita ingin program ini berkelanjutan, yang selama ini masalah di NTT seperti begitu. Kadang juga program yang baik itu tidak ada aspek keberlanjutan. Untuk TJPS secara logika ekonomi kita mempertanyakan," kata Dr. Leta.

Dia mencontohkan, seorang petani menanam jagung kemudian dia panen dan dia jual, lalu dia pegang uang. Uang itu dia gunakan untuk membayar utang dalam pola kemitraan.

Berikutnya, ketika petani itu membayar utang tentu tidak mungkin petani membeli sapi. Lainnya, harga jual yang dibeli oleh off-taker dari petani itu menurut Leta terlalu rendah, mungkin sekarang sudah naik ke Rp 3.500 per kilogram.

Baca juga: Cerita Petani Tanam Jagung Panen Sapi di Desa Nangahale Kabupaten Sikka

 

Harga jagung per kilogram di pasaran sekarang mungkin Rp 6-7 ribu. Jadi kalau seorang petani menghasilkan jagung satu ton dia jual dengan Rp 6-7 ribu per kilogramnya, dia sudah dapat sekian juta, ini untuk satu hektar.

"Tapi kalau dia satu hektar dia bisa menghasilkan lima ton, itu kan petani dapat 30 juta, dengan harga pasaran. Tetapi kalau di harga off-taker dia hanya sekian ribu. Jadi lima ton petani jual dengan sekitar Rp 3.500 di off-taker maka selisih bisa belasan juta. Memang secara ekonomi, sistem kemitraan dengan off-taker itu petani rugi," katanya.

Dikatakan, memang petani diberikan modal dan segala macam, namun dalam proses pengembalian modal ini petani juga harus menikmati harga jual dan mereka bisa cepat membayar utang itu.

"Saya pernah ke petani di desa-desa itu, saya awalnya mempromosikan TJPS kemitraan. Tapi petani memegang catatan dari bank. Mereka tanya saya, pak kami diberi intensif Rp 10 juta tapi kami belum dapat uang dan kami punya uang sudah potong sekitar Rp 600 ribu. Itu keluh petani," ujarnya.

Jadi, lanjut Leta Levis, petani mempunyai logika bahwa kalau mereka meminjam uang, maka mereka harus mendapat uang itu dan mereka berusaha untuk meningkatkan produktivitas jagung agar bisa melunasi utang. Oleh karena itu mereka mengharapkan kebebasan agar bisa menjual diluar off-taker.

Baca juga: Aktivis Lingkungan Soroti Masalah Tambang Pasir Laut yang Marak Terjadi di NTT

Kalaupun memang ada off-taker, mereka meminta agar harga jual sama dengan dijual di pasaran. Selisih harga itu yang harusnya dipikirkan oleh pemerintah bagaimana caranya, supaya petani kita maju.

"TJPS ini program kemitraan tapi petani kita tidak maju karena harga jual rendah. Jadi prinsipnya program ini cenderung untuk memfasilitasi petani. Kemudian, kalau kita lihat data di NTT, dari sekian data dan sekian banyak miliar dari TJPS itu, berapa ekor sapi yang sudah dibeli oleh petani kita," katanya.

"Jadi cara mengukur TJPS kan dari sini. Ketika sudah berjalan berapa tahun, harusnya sapi semakin banyak. Tapi coba kita cek data, sapi sudah berapa banyak. Ini menyangkut input hingga out come. Pada out come ini yang seharusnya sapi itu. Ternyata sapi itu, sangat jauh dibawa jumlah uang yang sudah digelontorkan untuk program ini," ujarnya.

Ia mengakui, secara filosofis, upaya pemerintah untuk merubah mindset petani menjadi petani wirausaha itu sangat bagus.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved