Festival Toja Me Lela
Mengenal Toja Me, Tarian Menyambut Kelahiran Bayi yang Lama Dinantikan di Lela, Sikka NTT
Anak Muda Kecamatan Lela melaksanakan Festival Toja Me di Lapangan Lela, Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Toja Me merupakan tradisi di Lela, Sikka, NTT.
Penulis: Gordy Donovan | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Anak Muda Kecamatan Lela melaksanakan Festival Toja Me di Lapangan Lela, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, Jumat 25 Agustus 2023.
Festival ini diadakan dalam rangka menggali kembali budaya yang sudah lama tertinggal atau nyaris punah.
Misalnya, budaya atau tarian Toja Me. Selain mengangkat ritus Toja Me, festival ini mengangkat budaya dari sanggar Musik Sora, Kekor Gedang, Tarian Ie dari Desa Du dan budaya dari semua Desa yang di Kecamatan Lela.
Pengurus Sanggar Wuwu Tere, Maria Ediana Widianti (60) menjelaskan tarian Toja Me sendiri terdiri dari 2 kata dan memiliki makna yang berbeda.
Baca juga: Warga Antusias Ikut Festival Toja Me di Lela, Sikka
Pada saat festival tersebut, Sanggar Wuwu Tere dari kampung wukur membawakan tarian Toja Me.
Ia mengatakan sanggar ini memiliki makna dari dua kata yang berbeda dimana Wuwu berarti memberi dan tere artinya menerima.
Sanggar Wuwu Tere adalah sanggar turun temurun dari nenek moyang dari kampung wukur yang menciptakan Tarian Toja Me ini,"ujar Kepala Dusun Wukur.

Ia kemudian menjelaskan arti dari nama Tarian Toja Me yang juga diambil dari dua kata Toja dan Me.
"Toja berarti menari dan Me artinya anak sehingga kesimpulannya Toja Me berarti tarian menyambut kelahiran seorang anak,"ujarnya.
Dalam Tarian Toja Me biasanya beranggotakan 30 orang termasuk penari dan 8 orang pemain musik. Musiknya dari bambu yang berukuran kecil. Bambu-bambu itu ditabuh diringi teriakan sebagai pertanda bahagia.
Penari-penari dalam Tarian ini punya istilah tersendiri diantaranya TANAH PU'AN berarti Kepala Suku yang menari dengan membawa parang sedangkan yang menggendong bayi dan membawa Gading Bayi di sebut dengan INA AMA dan yang menari mengelilingi INA AMA di sebut ME Pu.
Toja Me ini menceritakan dalam suatu keluarga yang sudah lama merindukan kedatangan seorang anak dan berjanji akan mengadakan pesta besar ketika di karuniakan seorang anak.
Baca juga: Nyaris Punah, Togo Pare Kembali Tampil dalam Festival Toja Me Lela Sikka
Saat usia tuanya keluarga itu baru dikarunia seorang anak dan mereka melakukan pesta besar-besaran bersama keluarga dan di namakan Toja Me.
Tarian Toja Me Ini hanya di Lakukan pada keluarga yang sudah menikah dan lama tidak memiliki anak.
Ritual ini akan di jalankan setelah malam ke empat lahir dan pada saat Lodong Me atau pertama kali anak keluar dari rumah.
Dari cerita ini kemudian diangkat menjadi tarian dengan iringan musik dari bambu yang disebut Gong Tereng.
Sementara itu Agnes Ati (60) warga Wukur mengaku bangga dan senang bisa ambil bagian dalam Festival Toja Me. Bagi dia, budaya yang sudah ada saat ini tidak boleh hilang.

Generasi muda harus melestarikan budaya sehingga adat, budaya tidak punah.
"Anak muda harus lestarikan, karena budaya Toja Me ada sejak dulu,"ujarnya.
Agnes berharap festival tersebut membawa pesan agar semua orang tidak melupakan tanah kelahiran dan budayanya, karena budaya merupakan identitas.
Sementara itu, Ferdinandus mengaku bangga bisa mengikuti festival tersebut.
Bagi Ferdi, momen itu mengajak anak muda Lela agar tidak boleh malu untuk membangkitkan kembali budaya yang telah lama hilang.
Budaya atau tradisi Toja Me harus terus diwariskan hingga generasi penerus.
Claudia dan Wynalda Bangga
Sementara itu, Yohanista Claudia (16) pemeran A'a Gete (tanta dari anak bayi) mengaku senang karena bisa ambil bagian dalam tarian Toja Me.
Bagi Claudia, momen itu sangat spesial sekali karena banyak teman-teman dan warga menyaksikan pentas tersebut.
"Mereka beritahu kepada saya untuk ikut. Saya senang sekali karena bisa ikut. Saya juga pemeran utama dalam tarian ini,"ujar pelajar SMK Sta Elisabet Lela ini.

Sementara itu, Martha Wynalda (18) anggota Sanggar Kumak Bura Desa Du mengaku saat festival ia dan teman-teman membawakan tarian Ie dan tarian kreasi.
Mereka melakukan latihan sekitar satu bulan lebih dan ingin memberikan penampilan yang bagus saat mengikuti festival.
"Saat menari, kami ada 15 orang perempuan dan laki-laki 5 orang. Kami persiapannya satu bulan dan hari ini kami memberikan yang terbaik,"ujarnya.
Ia mengaku Sanggar Kumak Bura mementaskan dua tarian. Tarian Iye dan kreasi.
"Kamis bawakan tarian Iye dan tarian kreasi. Kami dilatih oleh pak Wili Karwayu. Gampang saja. Karena sudah biasa menari," ujar Martha.
Ajak Anak Muda
Ketua panitia, Festival Toja Me, Intus Eban, mengajak semua anak muda agar melestarikan adat dan budaya Sikka.
Sebagai anak muda, jangan pernah melupakan budaya daerah yang sudah diwariskan nenek moyang sejak dulu kala.
"Budaya adalah identitas kita, kita harus lestarikan. Mari kita lestarikan budaya, "ujar Intus.

Intus mengatakan anak muda adalah pewaris adat dan budaya sehingga jangan sesekali mengabaikan segala bentuk warisan adat dan budaya yang sudah ada.
Momen Festival Toja Me sebagai ajang untuk membangkitkan semangat anak muda dalam budaya. Budaya yang sudah melekat hendaknya tidak punah tergerus oleh era modernisasi.
Kegiatan ini juga sebagai pendidikan atau edukasi yang nyata kepada masyarakat juga anak muda agar tidak melupakan budayanya sendiri. Budaya akan menjadi sebuah hal yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat.
Kata Intus, even yang digelar oleh anak muda Lela mengajak semua pihak untuk tidak boleh melupakan budaya. Edukasi tentang budaya perlu dilestarikan. Sehingga anak-anak generasi penerus terus membangkitkan budaya selama lamanya.
Intus menyampaikan ada tujuh sanggar yang akan memberikan penampilan saat kegiatan tersebut. Itu merupakan perwakilan dari senjumlah Desa di Kecamatan Lela.

Ia mengatakan dukungan dari tokoh adat, warga masyarakat Lela sangat luar biasa. Tim kerja atau panitia mendapatkan banyak informasi dan cerita soal adat dan budaya Sikka.
Ia mengucapkan terima kasih banyak kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Riset Teknologi, panitia, tokoh adat, budaya, sanggar, komunitas budaya, sekolah-sekolah, masyarakat kecamata Lela, pihak keamanan dan semua pihak yang telah mendukung pelaksanaan kegiatan ini.
Sementara itu Plt Kepala Dinas Pariwisata Sikka, Ferdinan Even Edomeko, mengatakan Festival Toja Me sebenarnya momen memuliakan manusia.
Banyak hal yang harus direflesikan dalam momen ini. Sanggar-sanggar sudah ada,tentu mempersembahkan yang terbaik pada kesempatan ini.
40 Tahun Hilang
Sanggar Gaging Pani dari Desa Hepang, Kecamatan Lela mengajak anak muda bangkitkan kembali budaya Togo Pare di Sikka NTT.
"Tarian Togo Pare dari Sanggar Gaging Pani Desa Hepang. Satu bentuk tarian menyambut saat panen. Atau syukur panen, " ujar anggota sanggar Ganing Pani, Sosimus Jolong (56).
Pria yang akrab disapa Ino ini mengatakan Togo Pare ini mengisahkan nenek moyang pada zaman dahulu suka hidup bergotong-royong.

Misalnya dalam hal bertani, ketika membuka kebun itu harus selalu bersama-sama. Sifat gotong-royong yang ada itu membuat masyarakat kompak dan saling mengisi jika ada kekurangan.
Baca juga: Festival Toja Me di Lela, Momentum Ajak Anak Muda Lestarikan Warisan Budaya Sikka
Dahulu, nenek moyang jika bekerja itu tidak sendiri-sendiri, pasti berkelompok. Mereka gotong-royong menyelesaikan pekerjaan. Sambil bekerja, mereka melantukan Togo. Itu memberikan semangat untuk bekerja.
"Saat bekerja mereka melantukan Togo tadi. Itu supaya mereka tetap semangat, mau panas terik juga mereka tetap kerja. Itu mulai buka kebun hingga sampai panen, " ujarnya.
Budaya Togo Pare hingga kini nyaris punah. Tidak ada lagi terlihat. Tak hanya buka kebun, tapi kegiatan apa saja kebersamaan gotong-royong pasti ada. Apalagi saat itu tidak ada alat musik seperti saat ini.
Saat Togo ada seseorang yang memukul sebuah tempurung kelapa menggunakan kayu. Itu dijadikan sebagai alat musiknya. Sedangkan anggota penari melantukan syiar-syiar yang memberikan semangat.
"Satu orang yang tukang pukul tempurung kelapa tadi sebagai musik. Yang lain mulai melingkar dan mulai menari. Sangat bagus itu dulu, " ujarnya.
Ia mengaku budaya itu sudah hilang sejak 40 tahun lalu. Ini menjadi refleksi bersama kenapa budaya Togo itu hilang. Mari kita bangkitkan kembali.

"Semangat kebersamaan itu yang hilang sekarang. Saat kerja itu Togo dilantunkan karena belum ada musik seperti saat ini. Jadi sekarang budaya itu hilang, tradisi itu sebenarnya diwariskan, " ujarnya.
Ia mengajak anak muda jangan melupakan sejarah, adat dan budaya.
"Orang dulu jalan kaki meskipun jauh untuk ikut Togo. Supaya bisa dengar ada Togo dimana, mereka gali tanah atau lubang supaya bisa dengar ada Togo. Mereka akan datang ke tempat acara atau kegiatan itu," ujarnya.
Togo hingga kini sudah punah, momen Festival Tojo Me, budaya Togo dibangkitkan kembali. Nilai budaya, gotong royong dan kebersamaan tak boleh pudar. Sudah saatnya anak muda meneruskan budaya itu.

"Jadi Togo itu dilantukan sesuai situasi dan kondisi. Jadi kalau buka kebun syaiar Tokonya itu beda dengan syiar saat acara syukuran panen, pokoknya lihat dengan situasi dan kondisi yang ada," ujarnya.
Ia mengungkapkan Sanggar Gaging Pani artinya mengajak siapa saja untuk berbuat sesuatu yang baik. Sanggar dibuat beberapa waktu lalu.
"Kami buat saat mendengar ada Festival ini. Orangtua, orangtua semangat sekali. Mereka ingin budaya-budaya jaman dulu ditampilkan kembali, jangan sampai disini saja, " ujarnya.
Warga Antusias
Warga rupanya sangat antuasias karena Festival tersebut karena baru pertama kali dilaksanakan.
"Kami senang karena ini baru pertama kali. Orangtua-orang dari kampung juga sangat antuasias hari ini. Haus akan hiburan makanya mereka antusias bawa acara dan menyaksikan atraksi dipanggung, " ujar warga Hepang, Ino.
Ia mengatakan warga Desa Hepang sangat antusias mengikuti kegiatan Festival Toja Me. Saat mendengar informasi bahwa di Lela akan diadakan Festival, warga langsung berkumpul dan membentuk grup atau sanggar.

"Mereka orangtua sangat semangat. Bahkan mereka mau kalau ada lagi even seperti ini, jadi ini mengingatkan kembali masa muda dulu kala, " ujarnya.
Ia berharap Festival Toja Me membangkitkan kembali semangat kaum muda untuk melestarikan adat dan budaya Sikka.
"Momen ajak kaum muda untuk jaga kampung, adat serta budaya agar tidak punah," ujarnya.
Sementara itu, Bernadus mengaku senang ikut ambil dalam Festival Toja Me.
Bernadus saat itu datang bersama belasan warga lainnya untuk memeriahkan kegiatan itu.
Menari Hegong
Sementara itu puluhan pelajar di Kecamatan Lela sudah memenuhi lapangan acara siang itu. Mereka tampil dengan kostum berwarna pink dengan sarung tenun khas Sikka.
Saat itu mereka membawakan tarian Hegong untuk menjemput tamu undangan di tengah lapangan Lela.
"Bagus sekali acara ini. Anak-anak sangat antusias, orang juga datang nonton, apalagi kalau sore baru mulai pasti lebih seru lagi, " ujar warga Lela, Ida (30) saat menyaksikan tarian Hegong.

Ia mengatakan sejak ada informasi tentang dilaksanakannya Festival Toja Me, warga sudah antusias.
"Banyak mama-mama yang ikut ambil bagian, ada kuliner-kuliner. Mereka ada siapkan di tenda pameran, " ujarnya.
Ia berharap Festival Toja Me dilaksanakan setiap tahun. Pengalaman Festival kali ini akan menjadi bahan evaluasi nanti kedepan.
"Supaya lebih ramai lagi harus ada evaluasi. Coba agak sore baru mulai juga bagus, mungkin siang panas begini orang malas mau datang, tapi sebagian orang sudah senang dan lihat kegiatan ini, anak-anak menari bagus, ada musik kampung juga. Bagus sekali intinya, " ujarnya.
Festival itu menampilkan beberapa acara seperti tarian adat, musik kampung, pameran UMKM dan tarian Toja Me, Iye, kreasi serta atraksi lainnya. (GG).
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.