Festival Tedo Tembu Wesa Wela

Harmoni Alam dan Ritual Nggua Bapu Joka Ju dalam Pesta Adat Sambut Musim Tanam di Desa Pemo Ende

Alam adalah ibu yang memberikan napas kehidupan masyarakat adat di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende.

Penulis: Cristin Adal | Editor: Gordy Donovan
TRIBUN FLORES. COM/GG
NASI BAMBU - Suasana masak nasi bambu di Ka Are Po'o Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Flores, NTT, Selasa 24 Oktober 2023. 

TRIBUNFLORES.COM, ENDE- Menanam akan tumbuh, menabur akan berbeni atau dalam bahasa Lio disebut Tedo Tembu Wesa Wela.

Alam adalah ibu yang memberikan asupan kehidupan bagi masyarakat adat di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Tedo Tembu Wesa Wela merupakan tajuk pesta adat atau festival budaya di Desa Pemo. Festival budaya ini dilaksanakan sejak Selasa, 24 Oktober 2023 hingga Sabtu, 28 Oktober 2023.

Desa yang berada di kawasan Taman Nasional Kelimutu ini masih memegang erat dan melaksanakan ritual adat setempat.

Baca juga: Rayakan Festival Tedo Tembu Wesa Wela, Anak-Anak Desa Pemo Ende Fashion Show Pakaian Adat

 

 

Alam memiliki daya yang magis dan sakral dalam kehidupan masyarakat adat Desa Pemo. Tanah, batu, air dan tumbuhan memberikan manusia hidup.

Masyarakat adat Desa Pemo mempercayai bahwa warisan leluhur ini melekat sejak leluhur mereka ada. Ritus memberikan sesajian kepada alam bagi mereka untuk berterima kasih dan memohon berkat atas tanaman yang ditanam dan yang mereka panen.

Ritual Nggua Bapu Joka Ju dengan tujuan menolak bala atau mengusir roh jahat sebelum musim tanam. Ritus ini sebagai simbol keharmonisan alam, pencipta, leluhur dan masyarakat adat Pemo.

Hari pertama ritual ini, masyarakat adat Desa Pemo datang ke pelataran rumah adat utama membawa persembahan berupa beras merah dalam bakul kecil dan satu ekor ayam kampung. Persembahan tersebut dalam bahasa setempat disebut kula.

Baca juga: Potret Toleransi di Pemo, Umat Katolik dan Muslim Bawa Beras & Ayam di Festival Tedo Tembu Wesa Wela

Mosalaki Pu'u Kampung Pemo, Stefanus Setu (75) menjelaskan, persembahan atau kula bentuk persatuan masyarakat Pemo. Selain itu, beras merah merupakan hasil ladang yang dipanen satu tahun lalu.

"Harus beras merah dan ayam kampung. Beras merah itu hasil ladang tanah Pemo dan ayam kampung sebagai ternak masyarakat adat Pemo,"kata Stefanus.

Dari Kula, ritus dilanjutkan dengan penyembelian hewan berupa satu ekor babi oleh mosalaki yang didahului dengan doa adat.

Penyembelian ini untuk mengambil hati babi dengan tujuan untuk menerawang kehidupan masyarakat, hasil panen hingga dunia. Ritus ini disebut ngilo ate wai dalam bahasa Indonesia artinya melihat hati babi.

Saat ritus ini, suasana sakral dan magis. Para mosalaki duduk beralas tikar di depan rumah adat utama Kampung Pemo. Tikar ini digunakan hanya saat ritual dan sebelumnya tikar tersebut disimpan dalam rumah adat utama.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved