Hari Guru Nasional
Cerita Guru Pedalaman NTT 10 Tahun Mengabdi Tak Digaji, Kini Tinggal di Perpus Sekolah
Seorang guru SMP di NTT berjuang selama 10 tahun tapi tak pernah terima gaji. Guru NTT kini berharap pemerintah memperhatikan nasib mereka.
TRIBUNFLORES.COM, KEFAMENANU - Menjadi guru disebutkan sebagai profesi yang mulia. Guru dinobatkan sebagai pahlawan tanpa jasa.
Perjuangan seorang guru untuk mendidik siswa memang tak semudah membalik telapak tangan, pasalnya banyak tantangan yang harus dilewati.
Seorang guru butuh kesabaran, butuh tenaga hingga pasrah dengan keadaan demi melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas.
Berikut ini adalah kisah haru sejumlah guru di pedalaman Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengabdikan diri tanpa harus menuntut upah.
Baca juga: Hari Guru Nasional dan HUT PGRI Ke-78, SMKN 1 Borong Gelar Talkshow Merdeka Belajar
Tidak mudah, mungkin itu yang menggambarkan kondisi guru di perbatasan negara yang sering kali serba terbatas.
Bukan saja sulitnya fasilitas mengajar, tapi gaji yang sering telat.
Hal ini seperti yang dialami para guru di SMP Negeri Wini. SMP ini terletak di Humusu C, Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekolah ini berada di perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Ada sebanyak 235 siswa yang bersekolah di SMP Negeri Wini pada tahun ajaran 2023/2024. Sementara, total tenaga pengajar berjumlah 31 guru yang terdiri dari 14 guru PPPK dan 17 tenaga honorer.
Guru di SMP Negeri Wini dituntut kreatif dalam melakukan kegiatan belajar mengajar karena keterbatasan fasilitas. Misalnya, Guru Bahasa Inggris, Frederikus Tnepu Bana (34).
Dia mengaku harus membuat alat peraga karena tak memiliki lab bahasa.
“Sejauh ini, kami hanya bisa pakai alat peraga. Kami kreatif sendiri untuk membuat gambar atau poster. Kami sediakan dan kami paparkan agar mereka tahu tentang apa,” tuturnya.
Saat praktik listening atau praktik mendengarkan percakapan Bahasa Inggris, Frederikus menggunakan speaker atau pengeras suara kecil yang disambungkan ke ponsel.
Baca juga: Lakalantas di Belu, Pelajar SMP Meninggal Dunia 2 Orang Terluka
Frederikus mengungkapkan bahwa SMP Negeri Wini tak memiliki proyektor untuk mengajar. Bahkan terkadang dirinya meminjam proyektor ke SD Katolik Wini yang tak jauh dari sekolahnya.
“Kami kadang kalau mau pakai Infocus (merek proyektor) harus pinjam dari SD Katolik Wini. Karena kan mereka ada. Kalau ada pertemuan orangtua dan urgent, ya harus pinjam,” ujar Frederikus.
Di sisi lain, setiap guru harus membeli buku referensi tambahan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk siswa.
“(Kalau ada tambahan belajar, guru) harus beli. Terkadang, buku referensinya disiapkan oleh guru, lalu mereka fotokopi,” ucap Guru Bahasa Indonesia, Aryance Paulina Thake Kolo.
Tak tahu kapan terima gaji
Sudah 10 tahun terakhir Lukas Kolo (37 )mengabdi di SMP Negeri Wini. Ia menjalani profesinya sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri Wini dengan sukacita.
Pada Agustus 2023 lalu, Lukas menerima Surat Keputusan (SK) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, hingga saat ini ia belum menerima gaji.
“Saya terima SK tanggal 7 Agustus 2023, sampai hari ini belum terima gaji. Mungkin pemerintah masih urus, karena terlalu banyak peserta,” ungkap Lukas.
Lukas tidak mengetahui secara pasti kapan akan menerima gaji. Saat ini, dirinya hanya bisa menunggu saja.
Untuk bertahan hidup, Lukas mengandalkan kerja sampingan dengan menjadi pekerja kebun dan menjual hewan.
Di SMP Negeri Wini ini, Lukas bersama keluarganya sengaja tinggal di ruang perpustakan yang dialihfungsikan menjadi mes. Hal tersebut demi menghemat biaya transportasi dari rumahnya di Bakitolas yang jaraknya sekitar 25 kilometer ke SMP Negeri Wini.
“Pulangnya kalau ada keperluan saja. Ya kadang satu bulan sekali. Yang menginap di mes ada tiga guru, termasuk saya,” ungkapnya.
Siswa dipungut Rp 35.000 untuk gaji guru honorer
Frederikus sudah bekerja di SMP Negeri Wini selama dua tahun sebagai guru honorer. Sehari-hari, ia pergi mengajar menggunakan sepeda motor karena rumahnya tidak jauh dari SMP Negeri Wini.
Lulusan Universitas Timor itu mengaku sempat telat menerima gaji selama enam bulan.
Dia mengatakan gaji para guru honorer di SMP Negeri Wini bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan uang komite dari siswa senilai Rp 35.000.
“Biasanya telat (dapat gaji). Kan 15 persen dari dana BOS dan beberapa persen dari komite. Kalau dana Bos kan bertahap. Kalau sudah cair, baru dibayar. Kalau enggak, kita nikmati saja,” ujar Frederikus.
Lukas membenarkan setiap siswa di SMP Negeri Wini dipungut biaya senilai Rp 35.000 per bulan. Selain keperluan sekolah, uang komite itu digunakan untuk menggaji guru honorer.
“Per harian dari Pemerintah Daerah (Pemda) sudah tidak ada lagi. Karena, kontrak sudah diputus untuk guru-guru. Jadi, honorer murni. Biayanya (digajinya) dari uang yang setiap siswa bayar Rp 35.000 untuk guru honorer,” ungkap Lukas.
Dia mengatakan uang tersebut khusus untuk para guru honorer. Dirinya sebagai guru PPPK tidak menerima gaji dari uang komite.
“Karena, dari biaya komite ini harus murni ke guru yang berstatus honorer,” tegas Lukas.
Meski dikenakan biaya, terkadang pihak sekolah secara tersirat tidak memaksakan siswa untuk membayar. Hal ini mengingat kondisi ekonomi para orangtua siswa yang berbeda-beda.
Aryance tidak mengungkapkan secara rinci berapa nominal gaji yang diterima para guru honorer. Namun dia menyebut gaji untuk guru honorer berdasarkan lamanya mengajar di SMP Negeri Wini.
“(Yang diterima guru honorer) tergantung masa bakti. Ada yang Rp 1 juta, ada yang Rp 500.000,” ucap Aryance yang kini berstatus guru PPPK.
Panggilan jiwa
Dengan segala keterbatasan, Aryance tetap optimistis bahwa suatu saat nanti akan ada hal baik untuk semua guru di Indonesia.
“Sampai kapan baru sejahtera, sampai kapan baru dapat yang baik, kami tetap optimis untuk menjalankan tugas seperti biasa,” tegas Aryance.
Dia menegaskan tak merasa terpaksa menjalani profesinya. Sebab, profesi guru merupakan panggilan jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa.
“Tidak terpaksa. Mungkin karena sudah profesi dan latar belakang pendidikan, panggilan jiwa. Latar belakang guru, kalau mengalami kesulitan, tetap jalankan tugas. Tetap percaya, suatu saat pasti ada kebaikan,” katanya.
Hal serupa juga diungkapkan Frederikus. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk berhenti menjadi seorang guru di tengah-tengah keterbatasan tersebut.
“(Karena profesi guru) sudah di sini,” ungkap Frederikus yang tangan kanannya memegang dada kirinya.
Harapan dari perbatasan
Lukas pun meminta Pemerintah Indonesia memperhatikan tenaga pengajar di pelosok negeri yang jauh dari kata sejahtera. Apalagi di wilayah perbatasan banyak tenaga honorer.
“Karena di sini banyak guru honorer. Tentunya pemerintah harus membuka mata. Karena, tanpa guru, dunia bisa mati. Guru yang bisa mencerdaskan bangsa,” katanya.
“Kebutuhan sangat menuntut, tapi pemerintah kurang memperhatikan, itu kendala kami di situ. Jadi, kami mohon supaya, untuk ke depan, perhatikan guru,” ucap Lukas melanjutkan.
Serupa dengan Lukas, Frederikus berharap pemerintah lebih memperhatikan tenaga pendidik.
“Anak bangsa ini perlu dididik. Tapi, bagaimana dengan kami yang pendidik? Itu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Terlepas dari hal tersebut, Frederikus juga tetap berharap agar siswanya yang lulus bisa melanjutkan ke jenjang tinggi dan tidak kalah saing dengan anak yang bersekolah di kota. (sumber kompas.com).
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.