Berita Sikka

Semangat Belajar Anak Pulau Terpencil di NTT di Bawah Terang Lampu Surya

Orangtua Hilarius, Marianus Pajo (44) dan Maria Margareta Nona (44) mewajibkan anak-anak untuk belajar setiap malam.

Penulis: Gordy | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM / GG
BELAJAR - Hilarius sedang belajar menggunakan lampu surya di Kampung Uwa, Desa Maluriwu Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terasa tenang, Kamis (24/10/2024). 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Gordy Donofan

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Jarum jam menunjukkan pukul 19.00 Wita, suasana malam di Kampung Uwa, Desa Maluriwu Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terasa tenang, Kamis (24/10/2024).

Cahaya listrik menerangi rumah-rumah warga yang berjejer di sepanjang pesisir utara pulau itu.

Di sebuah rumah, Hilarius Febriano Ngaji (11) terlihat duduk menghadap meja belajar yang terpacak di ruang tengah. Ia membuka buku pelajaran dengan bantuan penerangan bola lampu surya 10 watt.

Setelah membaca lembar demi lembar buku, Hilarius kemudian membuat catatan kecil. Siswa kelas VII SMP Rokatenda itu mesti menyelesaikan tugas yang akan diserahkan ke guru pada esok hari.
 
Dia berhenti sejenak untuk santap malam bersama kedua orangtuanya. Usai makan malam, ia kembali ke meja belajar untuk melanjutkan aktivitasnya. Ia tekun hingga semua tugasnya selesai dikerjakan.

Beginilah gambaran keseharian Hilarius saban malam di sebuah Pulau terpencil di NTT.

Orangtua Hilarius, Marianus Pajo (44) dan Maria Margareta Nona (44) mewajibkan anak-anak untuk belajar setiap malam.

Bergantung pada Pelita

Hilarius bersama kedua orangtuanya tinggal di Pulau Palue, sebuah pulau kecil seluas 41 kilometer di perairan Laut Flores. 

Perjalanan ke pulau berpenduduk sekitar 9.874 jiwa ini biasanya membutuhkan waktu 5 jam pakai kapal motor  dengan biaya 40 ribu rupiah per orang dari Pelabuhan Lorens Say yang terletak di pusat Kota Maumere, Kabupaten Sikka.

Desa Maluriwu, tempat asal Hilarius, merupakan satu dari delapan desa di pulau yang secara topografi merupakan punggung gunung berapi bernama Rokatenda.

Cahaya di Pulau Terpencil

Di pulau terpencil ini, warga mulai menikmati listrik negara pada pertengahan 2021 dengan memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). 

Kehadiran listrik berdampak bagi aktivitas warga, termasuk anak-anak sekolah seperti Hilarius.

Jauh sebelum listrik masuk, dia bersama anak-anak yang lain belajar diterangi pelita yang dibuat dari kaleng bekas diisi minyak tanah. 

“Dulu tidak nyaman karena pakai pelita. Bangun pagi lubang hidung sudah hitam semua,” kenang Hilarius.

Bagi keluarga yang hidup berkecukupan, penerangan di malam hari terbantu dengan generator. Kendati begitu, biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan bakar tidaklah murah. Tidak heran lampu pelita masih menjadi andalan di kala itu.

Kini, kampung tak lagi gelap gulita. Di sudut-sudut kampung berdiri tegak tiang listrik. Malam hari sudah terlihat terang karena di depan teras rumah sudah ada lampu listrik.

“Kami harus semangat belajar. Cukup dulu saja kami sengsara, sekarang tidak lagi susah. Listrik sudah menyala, tidak bising dan kami senang,” ujar Hilarius.

Pengalaman serupa dialami Nesa Tia (16), seorang pelajar yang mengenyam pendidikan di SMAK St. Benediktus Palue. 

Mulanya, keluarga Nesa memiliki generator untuk penerangan di rumah. Tapi itu tidak dipakai lagi setelah listrik PLTS masuk ke kampungnya.

Nesa membandingkan bahwa, kalau dulu harus mengeluarkan tenaga untuk menyalakan generator, tapi sekarang cukup dengan menekan stop kontak, lampu pun menyala. 

“Belum lagi genset bunyi ribut sekali. Terus terang dulunya juga hanya pakai lampu pelita atau lilin kalau tidak punya solar atau bensin untuk menyalakan genset,"ujarnya.

Penerangan dengan listrik negara membawa harapan baru bagi Nesa. Dia semakin bersemangat untuk belajar.
Ketika ada tugas kelompok dari sekolah, ia dan teman-temannya bergiliran belajar dari satu rumah ke rumah yang lain. 

Mereka asyik berdiskusi sembari menyelesaikan tugas sekolah.

Ia mengaku motivasi belajar sangat tinggi hingga pernah meraih juara di akhir semester.

“Saya pernah meraih juara 2 di sekolah beberapa waktu lalu,”ujarnya.

Ia pun berharap agar listrik terus menyala sehingga anak-anak di pulau terpencil bisa menikmati terang seperti anak-anak di daerah lainnya di Indonesia.

Sementara itu warga Palue, Sebastianus (39) mengaku warga disana tak lagi susah seperti dulu mencari listrik mengisi arus baterai handphone dan menonton televisi. 

Berkat PLTS dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) rumah Sebastianus tak gelap lagi. Sudah hampir tiga tahun terakhir ini, warga sudah menikmati listrik PLTS.

"Kami menikmati listrik ini sudah hampir tiga tahun lebih. Kami sangat bersyukur," ujar dia.

Ia bercerita tahun 2021 masih merantau di Batam mencari nafkah menghidupi keluarganya. Namun, sejak PLTS masuk Palue, ia pulang kampung membuka usaha warung di pelabuhan Uwa.

Secara ekonomi cukup menguntungkan, karena tidak lagi membeli kayu bakar menyalakan api. Kini listrik sangat membantu memasak air di dispenser, memasak nasi di rice cooker dan lainnya untuk kepentingan operasional warung.

Selain itu, saat sore hingga malam hari listrik menjadi sumber penerangan di tempat usahanya.

PANEL SURYA - Panel surya di Desa Ladolaka, Pulau palue NTT, November 2024.  NTT
PANEL SURYA - Panel surya di Desa Ladolaka, Pulau palue NTT, November 2024.

Energi Bersih

Ia bersyukur karena PLN memilih untuk menggunakan PLTS di Palue. Karena PLTS yang menggunakan energi matahari termasuk penghasil energi bersih yang ramah lingkungan.

"PLTS ini sangat bagus, tidak ribet harus membeli bahan bakar, tidak bising, dan bebas polusi udara. Artinya sangat ramah lingkungan. Ini merupakan keunggulan dari cahaya matahari," ujar dia.

Selain itu, kata dia, wilayah-wilayah kampung yang sebelumnya akan sangat bising setiap malamnya karena suara genset demi penerangan, kini dapat menikmati itu dalam keadaan yang tenang dan sunyi.

Lanjutnya, dengan itu anak-anak lebih fokus dalam belajar dan suasana kampung lebih tenang karena tidak ada suara bising.

Ia menyatakan tempat menyimpan panel surya berada di Desa Ladolaka dan tanahnya disiapkan oleh masyarakat dengan luas satu hektar lebih.

"Ketika mendengar PLN ingin membangun PLTS di sini waktu itu, warga sangat antusias,"ungkapnya.

Warga lainnya, Selestinus Laba (50) mengaku masyarakat sudah merasakan kemerdekaan. Sebab listrik sudah masuk di daerah itu. Negara sudah hadir menolong kesulitan yang dihadapi masyarakat.

"Soal prioritas kebutuhan masyarakat Palue saat ini adalah listrik. Masyarakat berterima kasih kepada bapak Joko Widodo. Dengan adanya program kecamatan terang, kami masyarakat Palue merdeka. Kami menikmati listrik PLTS," ujar dia.

Mantan Kepala Desa Maluriwu ini menceritakan awal mula PLN membangun PLTS di sana.

“Peletakkan batu pertama saat bulan bakti gotong royong tingkat kabupaten Sikka di Desa Maluriwu pada 18 Mei 2017 tapi tidak dilanjutkan. Tahun 2019 setelah masyarakat mengajukan proposal ke Presiden Jokowi dan kementerian BUMN barulah dilakukan proses survei lokasi, pendekatan dengan pemilik lahan dan kemudian 2020 mulai proses pembangunan PLTS dan 2021 siap menyala,”kenang dia.

Ia mengatakan keberadaan PLTS ini tidak hanya untuk melayani kebutuhan penerangan, akan tetapi bisa mendukung kegiatan ekonomi rumah tangga, kegiatan pendidikan seperti PAUD, SD, SMP, SMA, serta mendukung kegiatan pelayanan kesehatan di Polindes, Pustu, dan Puskesmas.

Selain itu, kata dia, juga mendukung kegiatan pelayanan keagamaan dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa dan kecamatan.

Tokoh masyarakat Palue, Emanuel Lengo (65) mengaku bersyukur cuaca di Palue lebih banyak musim kemarau sehingga pasokan cahaya matahari untuk panel surya sangat cukup.

Ia mengatakan masyarakat tentu sangat antusias ketika ada pembangunan di daerah pelosok. Listrik masuk desa tentu sebuah kebanggan luar biasa.

"Kami sangat bersyukur," cetusnya.

Terima Kasih  
 
Sementara itu Sekretaris Kecamatan Palue, Bernadeta Roja (50) menyatakan hingga kini masyarakat sangat senang dengan kehadiran listrik.

Bernadeta yakin pemerintah tidak akan tutup mata dengan keadaan warganya. Ia menilai warga sangat bersemangat untuk menjalani kehidupan sehari-hari setelah lsitrik PLN hadir di Palue.

Ia mengaku Pulau Palue dihuni penduduk dengan mayoritas petani, peternak hingga nelayan.

"Terima kasih kepada pemerintah, PLN yang sudah memperhatikan pulau terluar dan terpencil. Kami tentu sangat bangga dengan kehadiran PLTS, " ungkap dia.

Tingkatkan Rasio Elektrifikasi

Sementara itu, Manager Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Flores, Tri Handoko mengaku sangat bersyukur karena beberapa pulau terpencil di Sikka sudah dialiri listrik. Listrik masuk tidak hanya untuk menerangi tapi ada dampak bagi kualitas pendidikan dan dari sisi ekonomi masyarakat.

"Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa akhirnya pulau Palue berhasil kita listriki sejak akhir tahun 2021 dengan daya terpasang PLTS sebesar 760 KWP dan konsumsi listrik saat siang hari sebesar 90 KW dan jumlah pelanggan sebanyak 1.912 pelanggan, ini menambah torehan baru bagi PLN UIW NTT untuk melistriki sampai dengan pulau terpencil sehingga bisa memajukan perekonomian dan pendidikan terkhusus di pulau Palue," ujarnya.

Ia menyebutkan rasio elektrifikasi dari kabupaten Lembata sampai kabupaten Manggarai Barat saat ini berada di kisaran 98,26 persen. Terkhusus di kabupaten Sikka sebesar 98,45 persen.


"PLN akan terus melakukan pembangunan di beberapa wilayah sampai dengan dusun-dusun yang belum berlistrik," terang dia.

Ia juga menyebutkan di bawah PLN Unit Pelayanan Pembangkitan Flores ada 22 lokasi PLTS tersebar di Flores, rata-rata konsumsi pemakaian pada saat siang hari sebesar 70 kw, sedangkan di wilayah kabupaten Sikka ada 3 PLTS PLN yang terpasang di beberapa pulau seperti, Pulau Palue, Pulau Kojadoi dan Pulau Parumaan.

Ia juga mengatakan Flores memiliki tingkat iradiansi yang cukup tinggi, sehingga PLN juga membangun PLTS di lokasi-lokasi terpencil.

Selain itu, pihaknya sedang merencanakan proyeksi pembangunan PLTS hybrid atau yang terinterkoneksi dengan sistem besar, sehingga ini sangat membantu dalam rasio pembangkit energy baru terbarukan untuk mewujudkan net zero emission.

Ia mengaku PLN terus meningkatkan kolaborasi dengan pemerintah daerah setempat terutama terkait penyediaan lahan dan perizinan. Dengan kolaborasi dan dukungan dari pemerintah daerah sangat membantu dalam proses percepatan pembangunan PLTS di lokasi terpencil.

Ia mengajak semua pihak untuk memberikan dukungan terbaik kepada PLN sehingga bisa sampai ke lokasi-lokasi pemukiman warga yang belum terjangkau listrik, mulai dari survey sampai berhasil melistriki rumah-rumah warga.

"Tentunya proses di atas, kami lalui dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, stakeholder lainnya dan masyarakat setempat agar seluruh pekerjaan berjalan dengan lancar,”ujarnya.

TIANG LISTRIK - Tiang Listrik PLTS di Palue, NTT. 2024
TIANG LISTRIK - Tiang Listrik PLTS di Palue, NTT.

Terus Ditingkatkan

General Manager PLN NTT, F. Eko Sulistyono mengatakan, peningkatan rasio elektrifikasi merupakan bentuk komitmen PLN dalam memberikan layanan kelistrikan bagi masyarakat di NTT.

"Terhitung angka rasio elektrifikasi pada tahun 2017 sebesar 59,85 persen. Meningkat hingga 96,07 persen di bulan September 2024. Ini artinya bahwa dalam jangka waktu tujuh tahun bisa meningkat 36 persen, sehingga tinggal sisa sekitar 4 persen lagi yang perlu ditingkatkan dalam waktu dekat. Jadi mari kita bersama sehingga NTT bisa 100 persen,” ucap Eko saat Hari Listrik Nasional (HLN) di Kupang, Senin 28 Oktober 2024.

Ia mengaku PLN juga siap mendukung terwujudnya NTT yang berdaya saing dan berkelanjutan dalam bidang kelistrikan.

Ia menambahkan, melalui tema “Energi Baru Untuk Indonesia Maju”, PLN Unit Induk Wilayah (UIW) NTT juga berkomitmen dalam inovasi energi baru terbarukan yang bersih untuk perlindungan lingkungan dan lapangan kerja.

Sementara itu, Asisten II Setda NTT, Stefanus F. Halla mengatakan, kondisi geografis berkepulauan menjadi tantangan utama dalam perluasan kelistrikan terutama di pedesaan, sehingga pemerintah meminta kerja kolaborasi dalam menjalankan bantuan listrik di NTT.

“Wilayah kepulauan, daerah perbukitan serta pola penduduk yang menyebar tidak terpusat, sehingga hal ini menyulitkan biaya untuk perluasan hingga ke pedesaan,"kata Stefanus.

Untuk mengatasi persoalan yang ada, kata Stefanus, maka dibutuhkan koordinasi dan kerja kolaborasi baik pemerintah daerah maupun pusat dan seluruh stakeholder.

Ia juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada PLN karena ikut berkontribusi membangun  NTT secara khusus asa anak-anak dari pulau terluar yang memang membutuhkan listrik.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved