Eks Kapolres Ngada Cabuli Anak

APPA NTT Temukan Kejanggalan Dalam Dakwaan Jaksa untuk Kasus Mantan Kapolres Ngada

Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APPA NTT) menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam

Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM/HO-DOKUMEN APPA NTT
Terdakwa mantan Kapolres Ngada Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (baju putih) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Kupang, 30 Juni 2025. 

TRIBUNFLORES.COM, KUPANG- Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APPA NTT) menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menyusun dakwaan kasus kejahatan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, sebagaimana keterangan tertulis yang diterima Tribun Flores, Selasa, 1 Juli 2025.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Kupang (30/06), JPU justru memosisikan Fani (F)—korban eksploitasi seksual dan kekerasan struktural—sebagai pelaku utama dalam dakwaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dengan empat pasal berlapis dan ancaman hingga 20 tahun penjara.

Menurut APPA NTT, Fani adalah korban yang diperdaya oleh Fajar. Fajar memanfaatkan kekuasaan dan ketimpangan sosial-ekonomi untuk memaksa dan memanipulasi F menjadi alat perekrutan korban lain.

Dalam konteks ini, Fani bukanlah pelaku otonom, melainkan bagian dari rantai kekerasan dan eksploitasi yang dirancang oleh Fajar. Maka,menghukum Fani lebih berat dari Fajar adalah bentuk reviktimisasi—yakni kekerasan kedua dari sistem hukum yang seharusnya melindungi korban.

Baca juga: Piala Soeratin U 15 , Persebata Lembata Tundukkan BMU Alor Pantar 2-0

 

 

Masih menurut APPA NTT, dakwaan terhadap Fajar justru tidak mencakup pasal-pasal utama seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), UU Perlindungan Anak, dan UU TPPO.

Hal Ini menurut APPA NTT, bertentangan dengan rekomendasi resmi Komisi III DPR RI yang pada 22 Mei 2025 meminta aparat penegak hukum menjerat Fajar dengan pasal-pasal yang mencerminkan beratnya kejahatan seksual yang ia lakukan, termasuk unsur penyalahgunaan narkotika dan kekuasaan.

“Kami mengecam model dakwaan yang mengaburkan pelaku utama dan justru mengorbankan korban. Ini mencederai rasa keadilan dan mengabaikan rekomendasi dari lembaga tinggi negara. Seharusnya, keadilan berpihak pada yang lemah dan korban, bukan melindungi kekuasaan," ujar Koordinator APPA NTT yang juga ketua TP PKK NTT, Asti Laka Lena.

"Kasus ini merefleksikan ketimpangan relasi gender yang sangat menyedihkan di dalam masyarakat kita. F ini adalah korban dari penyalahgunaan kekuasaan dan posisi rentan. Dari sudut pandang iman, kita dipanggil untuk melindungi yang lemah dan tertindas. Proses hukum yang adil adalah wujud dari panggilan itu, dan apa yang kita saksikan dalam dakwaan ini adalah sebuah ironi yang menyakitkan. Kami mendorong para penegak hukum mempertimbangkan fakta bahwa F adalah korban dalam kasus ini," penasihat APPA NTT, Pdt. Mery Kolimon menambahkan.

Penyesalan juga datang dari Ketua Forum Perempuan Diaspora (FPD) NTT, Sere Aba.

"Model persidangan yang terkesan timpang dan berat sebelah ini harus dilawan. Ini adalah preseden buruk bagi penegakan hukum di NTT. Bagaimana mungkin seorang korban yang jelas-jelas dieksploitasi justru yang dihadapkan pada ancaman hukuman paling berat, sementara terduga pelaku utama seakan mendapat karpet merah? Kami mengecam keras praktik hukum yang mencederai rasa keadilan ini," tegasnya.

TUNTUTAN APPA NTT:
1. Kejaksaan Tinggi NTT harus segera meninjau ulang dakwaan terhadap Fani Doko dan AKBP Fajar.

2. Fani Doko harus diperlakukan sebagai korban dan saksi penting, bukan pelaku utama.

3. AKBP Fajar harus dijerat dengan pasal-pasal berat sesuai UU TPKS, UU Perlindungan Anak, dan UU TPPO, sebagaimana direkomendasikan oleh Komisi III DPR RI.

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved