Berita NTT
145.268 Anak NTT Tidak Sekolah, Pengamat Sebut Sistem Pendidikan NTT Sedang Alami Kemunduran
Kepala Ombudsman Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Darius Beda Daton, menyebutkan 145.268 anak NTT tidak sekolah.
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
TRIBUNFFLORES.COM, KUPANG - Kepala Ombudsman Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Darius Beda Daton, menyebutkan 145.268 anak NTT tidak sekolah.
Data tersebut didapatkan dari Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) NTT.
Mahalnya biaya pendidikan, akses jauh dan merasa cukup pendidikan yang ada menjadi alasan mengapa anak-anak di NTT tidak bersekolah.
Ombudsman juga melaporkan hanya 32 persen anak yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah tamat SMA atau sederajat. Sementara ada 10.590 anak belum pernah sekolah dan 27.287 murid tidak tamat SD atay SMP.
Baca juga: Belasan Ribu Anak di NTT Tidak Sekolah Karena Tidak Mau, Tidak Ada Biaya dan Jarak Tempuh
Terpisah, akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Dr Marsel Robot menyebut angka itu disebabkan lemahnya ekonomi keluarga. Di samping peran Pemerintah yang sangat minim.
"Akar persoalannya itu ekonomi, dalam pengalaman survei ada temuan orang tua yang menyekolahkan anaknya membutuhkan banyak biaya saat pendaftaran siswa baru," katanya, Sabtu (12/7/2025).
Bila satu keluarga dengan tiga orang anak harus masuk pada jenjang pendidikan berbeda, maka orang tua dari keluarga harus menyediakan biaya tinggi untuk memenuhi berbagai perlengkapan sekolah.
Sementara penghasilan keluarga itu jauh dibawah rata-rata. Alhasil, satu atau dua dari tiga anak itu terpaksa menunda melanjutkan pendidikan. Pemerintah harusnya hadir dalam dilematis warga ini.
"Mungkin bukan sekolah gratis. Tetapi paling penting ketika tahun ajaran baru di mulai, intervensi bantuan saat itu. Sepatu, seragam, karena seragam SMP tidak pakai lagi untuk di SMA jadi beli baru," kata Marsel.
Pergantian jenjang pendidikan adalah bagian paling penting untuk diurai. Kebanyakan kesulitan orang tua saat seperti ini pun sama dengan ketika anak-anak hendak melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Pemerintah perlu jeli menelisik tentang hal ini. Apalagi persoalan pendidikan adalah kewajiban negara untuk mengurusi. Tidak saja kuantitas, kualitas pendidikan pun harus disusun dengan baik.
Kebanyakan Negara maju, kata dia, didasarkan pada aspek pendidikan yang berperan penting. Sebaliknya, suatu daerah atau negara bakal kesulitan bergerak maju jika pendidikan penduduknya tidak terpenuhi dengan baik
"Kalau masyarakat kita seperti ini, kita bukan saja sedang berjalan di tempat. Kita sedang mengalami kemunduran yang luar biasa," katanya.
Marsel setuju dengan Ombudsman NTT untuk membantu agar pendidikan murah bahkan gratis bisa diterapkan di Provinsi ini. Tambahan biaya yang sering dialami orang tua saat pendaftaran siswa adalah beban.
Karena, sistem semacam itu justru ikut menggerus semangat suatu keluarga atau anak-anak untuk mengenyam pendidikan. Jenis pungutan atau sumbangan apapun dari sekolah hendaknya dihapus.
Agar membentengi itu, perlu ada regulasi yang mempertegas larangan pungutan atau sumbangan. Imbauan saja tidak cukup. Dengan begitu, aturan yang akan menindak para pelanggar.
"Sebab kalau tidak maka pasti ada yang tidak sekolah," tambah dia.
Sisi lain, Pemerintah juga perlu menelusuri lebih dalam alasan sumbangan itu dilakukan. Bila dihapus maka, Pemerintah harus mengintervensi kebijakan untuk pemenuhan. Apalagi, sarana prasarana sekolah di NTT pun banyak yang belum memenuhi syarat kelayakan.
Selain itu, Marsel menyarankan agar pengguna dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hendaknya bisa mengakomodasi berbagai kebutuhan siswa hingga sekolah. Sekalipun ada petunjuk teknis yang dikeluarkan.
Dia meyakini dana BOS yang diberikan ke sekolah bisa memenuhi berbagai kebutuhan. Marsel menyarankan Ombudsman NTT atau pihak terkait agar menelaah aturan penggunaan dana BOS.
"Untuk menanggulangi berbagai pungutan atau kebutuhan lainnya. Itu bagus. Daripada dana BOS itu kita tidak tahu kepentingannya apa saja. Pungutan apa saja, yang bisa disanggupi dana BOS itu, boleh menurut saya. Sejauh tidak mempunyai konsekuensi yuridis bagi teman-teman kepala sekolah, bendahara atau guru," ujarnya.
Selama ini menurut Marsel, penggunaan dana BOS sangat rawan di korupsi. Anjuran dari Ombudsman NTT itu, baginya merupakan langkah yang baik. Terutama meniru beberapa sekolah di NTT yang meniadakan pungutan dan justru menggunakan dana BOS secara optimal.
145 Tak Sekolah
Sebelumnya, Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, menyebutkan sebanyak 145 ribu anak di NTT tidak sekolah.
"Jangan kaget. Data Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) NTT menunjukan bahwa jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi NTT mencapai 145.268 anak yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Kabupaten TTS merupakan penyumbang terbesar anak tidak sekolah dengan angka 22.459, diikuti kabupaten Sumba Barat Daya sebesar 13.900 dan Kabupaten Kupang sebanyak 11.628 anak,"ujar Darius.
Kata Darius, alasan anak tidak sekolah adalah; anak tidak mau sekolah, tidak ada biaya, sekolah jauh dari rumah dan merasa cukup dengan tingkat pendidikan yang ada.
Dia mengatakan pemerintah, melalui berbagai kebijakan harus terus berupaya membebaskan biaya pendidikan di sekolah negeri agar semua anak memiliki akses pendidikan yang sama.
"Sekolah Negeri diharapkan benar-benar menjadi tempat di mana semua anak tanpa kecuali, bisa belajar dan bertumbuh. Agar orang tua dari keluarga miskin tidak lagi menangis diam-diam karena tak mampu memenuhi angka yang dicantumkan dalam rincian biaya sekolah setiap tahun yang terus mencekik,"ujarnya. (fan)
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.