Berita NTT

Makan Sirih Pinang Praktek Adat Baik di NTT Tapi Salah Dimanfaatkan Eksploitasi Perempuan

Editor: Egy Moa
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Workshop eliminasi harmful, power and conviction diadakan Mensen Met Een Missie, zero human trafficking network dan Migrant Care di Hotel Kristal Kupang 17-21 Oktober 2022

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Irfan Hoi

TRIBUNFLORES.COM,KUPANG-Workshop eliminasi harmful, power and conviction yang berpengaruh terhadap kekerasan berbasis gender dan perdagangan orang membeberkan 13 keyakinan yang berpotensi menghambat migrasi aman dan berujung pada perdagangan manusia di NTT. 

Workshop diadakan Mensen Met Een Missie, zero human trafficking network dan Migrant Care di Hotel Kristal Kupang 17-21 Oktober 2022. Dalam kegiatan Selasa 18 Oktober 2022 dipaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno Agustin, M.Hum, M.Dev.stu, dan Nehik Sri Hidayati. 

Keduanya meneliti tentang analisis kekuasaan dan keyakinan sosial budaya di NTT. Penelitian itu menunjukkan keyakinan tertanam dalam kekerabatan hingga mengarah pada diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk perdagangan manusia.

Hasil penelitian ini disampaikan Romo Agus Duka, SVD. Ia menyebut, keyakinan masyarakat NTT seperti membayar belis merupakan praktik adat positif. Namun hal yang membahayakan adalah mengklaim kepemilikan bahkan sebagai alat untuk justifikasi hingga membenarkan kekerasan.

Baca juga: Target Modal Inti Minimum Rp 3 Triliun di Tahun 2024, Bank NTT Kekurangan Rp 900 Miliar

"Ini yang tidak disetujui. Kita anggap ini biasa, tapi justru sangat membahayakan," sebutnya.  

Dia menerangkan pembayaran siri pinang sebagai praktik adat yang baik sekaligus untuk lambang kekerabatan, bahkan kini menjadi mode gaya hidup. Namun sirih pinang kini disalah gunakan sebagai alat untuk merayu orang tua korban khusus perempuan atau rentan. 

Esensi dari sirih pinang sebagai kekerabatan justru digunakan sebagai alat eksploitasi pada kelompok perempuan. Selain itu, ada juga keyakinan pada kuasa pengambil keputusan berada ditangan suami. 

Hasil penelitian juga menemukan pola keyakinan di NTT menyebutkan bahwa pendapatan dan aset perempuan adalah milik laki-laki. Disamping itu, temuan  mengenai pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh perempuan dan menjadi tabu bagi laki-laki. 

Baca juga: Kepala Desa Boa Ceritakan Kronologi Perahu Tenggelam di Rote Ndao NTT

"Ini konsep gender normatif lama. Ini berdampak juga ke LGBT dan lain sebagainya," imbuhnya. 

Romo Agus Duka menjelaskan, keyakinan di NTT menerangkan bahwa pekerjaan rumah tangga dan pengasuh anak dipandang remeh, maka perempuan yang bekerja keluar negeri dianggap remeh. Sisi lain, regulasi di Indonesia juga belum menempatkan pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang mulia. 

Dalam keyakinan lainnya, diungkapkan mengenai anak perempuan dan perempuan harus disalahkan ketika mereka mengalami korban kekerasan.  Adapun keyakinan berikutnya yakni perempuan memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan seksual laki-laki. 

Selain itu, disebutkan juga bahwa saudara laki-laki selalu lebih dihormati saudara perempuan dan saudara perempuan wajib membantu saudara laki-lakinya. Keyakinan selanjutnya juga menyampaikan kerabat dekat dan kerabat jauh selalu dapat dipercaya, termaksuk sebagai perekrut pekerja migran.

Baca juga: Perahu Tenggelam di Rote Ndao NTT, Baru Berlayar 300 Meter Perahu Oleng, Penumpang Berjatuhan

Konfkisi atau keyakinan berikut, kata Romo Agus Duka, perceraian bukan pilihan yang dapat dipertimbangkan, bahkan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang parah. Pandangan itu sejalan dengan keyakinan agama bahwa pernikahan sekali seumur hidup. 

"Seringkali menggunakan keyakinan agama untuk menindas," sebutnya lagi. 

Dia menegaskan, penelitian juga terungkap bahwa perdagangan manusia dan kekerasan dalam rumah tangga bukanlah prioritas para pemimpin gereja.  

Berita NTT lainnya