TRIBUNFLORES.COM, RUTENG- Liang Bua merupakan salah satu situs gua yang terletak di daerah perbukitan karts di wilayah Kabupaten Manggarai, Flores NTT.
Secara Geografis, lokasinya kurang lebih 15 kilometer di sebelah utara Kota Ruteng, Ibu kota Kabupaten Manggarai. Berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.
Liang bua menjadi tempat wisata andalan di Kabupaten Manggarai. Gua Liang Bua berada di Dusun Golo Manuk, Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai. Nama “Liang Bua” berasal dari Bahasa Manggarai-Flores. “Liang” memiliki arti gua dan “bua” berarti dingin, jadi Liang Bua dapat diartikan “gua yang dingin”.
Dilihat dari morfologinya, Liang Bua memang memiliki ciri sebagai hunian pada masa prasejarah. Hal tersebut terlihat dari ukuran gua yang dalam dan lebar dan atap yang tinggi, serta lantai gua yang luas dan relaif datar.
Baca juga: Wisatawan Inggris Bilang Kampung Adat Wae Rebo Indah, Tempat Wisata Flores Bak Negeri di Atas Awan
Dilansir dari laman web.archive.org menjelaskan bahwa situs Liang Bua merupakan situs peninggalan dari zaman prasejarah. Telah banyak dikunjungi serta dijadikan tempat penelitian oleh peneliti dalam maupun luar negeri.
Situs ini merupakan sebuah goa hunian (okupasi) manusia prasejarah yang memiliki rangkaian atau rentetan “sequence” sangat panjang. Berlangsung sejak kala plestosen hingga helosen yaitu dari budaya Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, sampai dengan budaya Paleometalik.
Tokoh Penemu Situs Liang Buah
Situs Liang Bua pertama kali ditemukan oleh seorang misionaris Belanda yaitu Pastor Theodore Verhoeven pada tahun 1957. Pastor Theodore Verhoeven adalah seorang guru yang pernah mengajar di Seminari Mataloko Kabupaten Manggarai, Flores.
Gua Liang Bua ini digunakan sebagai tempat untuk mengajar murid-muridnya. Merasa tertarik dengan berbagai temuan tinggalan budaya seperti gerabah dan artefak batu yang sangat melimpah di dalam gua.
Baca juga: Menikmati Alam dan Sunset di Tempat Wisata Gua Maria Golo Renda Kuwu
Untuk pertama kalinya pada tahun 1965 Pastor melakukan penelitiannya dengan penggalian secara amatir untuk mengetahui apakah di tempat tersebut dipakai sebagai tempat aktivitas manusia pada masa lalu.
Hal ini ditunjukan dengan adanya bukti-bukti temuan ertefak berupa alat-alat batu, 7 rangka manusia dengan berbagai jenis bekal kuburnya (funeral gift) yang umumnya berasal dari periode Paleoetalik dan Neolitik, selain itu ditemukan juga tulang binatang, sisa-sisa makanan berupa kerang dan ditemukan juga kuburan di dalam gua tersebut.
Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Pastor pihak Puslit Arkenas melakukan penelitian lebih lanjut secara intensif pada tahun 1973 dan tahun 1979.
Dari hasil Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) memperkuat dugaan temuan yang dilakukan sebelumnya oleh Pastor Theodore Verhoeven, bahwa tempat atau gua tersebut telah lama dihuni oleh manusia masa lalu dengan ditemukannya alat-alat dari zaman Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, hingga sampai zaman Maleonatalikum (logam awal).
Baca juga: 6 Tempat Selancar Terbaik Kelas Dunia di Indonesia, Ada Pulau Rote hingga Nihiwatu NTT
Selanjutnya penelitian lebih lanjut dilakukan pada tahun 2001 sampai 2004 oleh Dr. R.P Soejono dan bekerja sama dengan peneliti asing Mike Morwood dari University Of New England (Australia).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh tim gabungan ini menunjukan bahwa di daerah ini juga dulunya pernah ada atau pernah hidup binatang purba jenis gajah purba (Stegodon).
Ditemukan juga jenis fauna endemik seperti jenis pigmy stegodon, komodo, biawak, tikus, burung-burung besar, dan kura-kura pada layer Plestisen (bagian bawah). Selain itu ditemukan juga fosil tulang dari tubuh manusia purba kecil dengan tinggi sekitar 106 cm, dan berjenis kelamin perempuan.
Homo Florosiensis
Fosil manusia purba kerdil ini diberi nama Homo Florosiensis (Manusia Flores). Fosil manusia purba ini diperkirakan berasal dari sekitar 13.000 tahun yang lalu, bersamaan dengan gajah-gajah besar, kadal-kadal raksasa seperti komodo yang sampai saat ini dilindungi di sekitar Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologis yang didapatkan dalam penelitian selama ini telah memprediksikan bahwa Liang Bua merupakan suatu situs gua hunian (okupasi) manusia prasejarah yang terus berlanjut. Sampai saat ini Pusat Penelitian Arkeologi Nasional secara berkelanjutan tetap melakukan penelitian di Situs Liang Bua.
Liang Bua merupakan salah satu gua yang ada di bukit batu kapur di wilayah Manggarai. Liang Bua memiliki ukuran yang sangat besar, yakni dengan panjang 50 meter, lebar 40 meter dan tinggi 25 meter. Dengan ukuran Liang Bua yang sangat besar ini membuat masyarakat pernah memanfaatkannya sebagai tempat ibadah dan sekolah.
Mengamati isi Liang Bua tidak saja menarik bagi para arkeolog, tetapi juga bagi wisatawan pada umumnya. Liang Bua ini berada di Dusun Golo Manuk, Desa Liangbua, Kecamatan Rahang Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Gua ini terletak sekitar 200 meter dari pertemuan antara dua sungai, yakni Wae Racang dan Wae Mulu. Kedua sungai ini merupakan sungai besar yang di dalamnya mengandung temuan artefak batu dan batuan keras.
Nama Liang Bua menjadi terkenal setelah ditemukannya tengkorak kuno yang disebut Homo Floresiensis (manusia Flores) di tempat ini. Tengkorak ini ditemukan pada kedalaman enam meter.
Homo Floresiensis merupakan seorang manusia pendek yang diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu. Namun, bukan hanya tengkorak ini yang ditemukan.
Pada kedalaman 10,7 meter, arkeolog menemukan beberapa tulang binatang purba, di antaranya adalah gajah purba (stegodon), kadal, kura-kura, biawak, dan komodo.
Baca juga: Liburan di Labuan Bajo, Coba Eksplor Keindahan Danau Vulkanik Sano Nggoang
Usia Gua Liang Bua
Gua Liang Bua diperkirakan telah berumur sekitar 190.000 tahun. Menuru perkiraan, gua ini terbentuk dari arus sungai yang mengalir dan membawa bebatuan hingga menembus gundukan bukit. Setelah berlangsung lama dan membutuhkan proses yang sangat panjang, bebatuan itu kemudian menjadi batuan sedimentasi.
Di dalam Liang Bua Ruteng, kita akan menemukan staklatit cantik yang menghias dan menjuntai dari langit-langit gua.Dipercaya bahwa gua ini telah dihuni oleh manusia modern sejak sepuluh ribu tahun silam. Dan, jauh sebelumnya, telah ada manusia kerdil alias Homo Floresiensis yang memiliki tinggi badan 100 cm dan berat badan hanya 25 kilogram.
Mereka menjadikan gua ini sebagai tempat berlindung. Dengan selaksa daya tariknya, gua ini sangat menawan bagi para ilmuwan maupun masyarakat biasa.
Dilihat dari morfologinya , Liang Bua memang memiliki ciri sebagai hunian pada masa prasejarah. Hal tersebut terlihat dari ukuran gua yang dalam dan lebar dan atap yang tinggi, serta lantai gua yang luas dan relaif datar.
Mulut gua yang menghadap ke timur laut turut mendukung untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup dan sirkulasi udara yang baik. Lokasi gua yang dekat dengan aliran sungai (Sungai Wae Racang dan Wae Mulu), turut mendukung penghuninya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sejak dilakukan penelitian pada tahun 1965 oleh Theodore Verhoven, seorang Pastor dari Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores Tengah, kemudian dilanjutkan oleh Pusat Penelitian Arkeolog Nasional (Pusat Arkenas) tahun 1978-1989.
Berlanjut dengan penelitian kerjasama antara Puslit Arkenas dengan Universitas New England dan Universitas Wollongong, Australia dan tahun 2001 hingga saat ini di Situs Liang Bua, telah banyak menghasilkan temuan arkeolog yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan.
Temuan yang paling spektakuler ditemukan pada 2003 yaitu fosil manusia purba Homo Florensis. Penemuan manusia purba ini sangat menggemparkan dunia arkeologi baik nasional maupun internasional dan cukup mengundang kontroversi.
Ciri Fisik Homo Florosiensis
Kerangkanya ditemukan pada lapisan Pleostosen Akhir di kedalaman 5,9 meter pada lapisan ini, ditemukan kurang lebih 9 individu Homo Florensis, akan tetapi hingga saat ini hanya satu yang ditemukan dalam kondisi hampir utuh (Liang Bua 1/LB1).
Dilihat dari ciri fisiknya, kerangka tersebut berjenis kelamin perempuan, diperkirakan berusian 25-35 tahun, dan memiliki karakteristik fisik yang unik, yaitu tingginya hanya 106 cm, tulang kaki dan tangan sangat kekar.
Bagian tengkorak memiliki ciri-ciri arkaik, seperti tulang kening manonjol dengan dahi miring ke belakang, volume otak 380 cm3 (diukur dengan mustart seed) dan 417 cm3 (diukur secara digital dari data CT scan). Bagian wajah menjorok ke depan (prognat) dengan rahang yang kekar, serta tidak memiliki dagu.
Untuk mengetahui pertanggalan Situs Liang Bua dilakukan serangkaian analisis laboratorium melalui 7 teknik yang berbeda, yaitu: Radiocarbon/C 14, Luminescerene (Thermolumineccerene/TL,Optically-Stimulated Luminescerene/OSL, Infrared-StimulatedLuminescerene/IRSL), Electrn spin, Resonance/ESR, Uranium-Series/ U-series,dan gabungan ESR/U-series.
Hasil analisis yang dilakukan pada tahun 2003 menyatakan bahwa Situs Liang Bua berusia sekitar kurang lebih 13.000 -12.000 tahun yang lalu. Namun, pad tahun 2007-2014 para peneliti Situs Liang Bua dari Pusat Arkenas bekerja sama dengan Universitas Wolongong, Australia dan Program dari Smithsonian Institute melakukan evaluasi terhadap usia tulang Homo Florensis dan sedimen yang mengandung fosil.
Melalui analisis sedimen, didapat bukti stratigafi baru dan kronologi situs Liang Bua. Berdasarkan hasil analisis, diketahui situs Liang Bua berusia antara 60.000 – 100.000 tahun yang lalu, sedangkan alat batu mereka diperkirakan berusia antara 50.000 – 190.000 tahun yang lalu, jauh lebih tua dibandingkan hasil sebelumnya.
Hewan-hewan yang turut punah besert Homo Florensis adalah gajah kecil, burung Marabou raksasa, burung Nazar, dan komodo. Hasil analisa terbaru yang lebih mendetail telah diterbitkan dalam majalah Nature. (Pusat Penelitian Arkelogi Nasional).
Berita TribunFlores.Com lainnya di Google News