Berita Lembata

Tiga Desa di Lembata Tetapkan Perdes Muro Lare Munung, Kearifan Lokal Jaga Kawasan Laut

Penulis: Ricko Wawo
Editor: Cristin Adal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KONSERVASI- Penetapan Muro Lare Munung dalam perdesdi Kantor Desa Lamawolo, 4 September 2023 dan dihadiri langsung oleh Staf Bagian Hukum Setda Lembata, pemerintah desa, BPD, organisasi pengelola Muro, Distrik Fasilitator VCA Koalisi Adaptasi - LSM Barakat dan sejumlah perwakilan masyarakat.

Laporan Reporter Tribun Flores.Com, Ricko Wawo

TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA- Kepala Desa Lamawolo, Antonius Ngaji menjelaskan Muro merupakan model konservasi lokal yang berkembang dalam budaya Lamaholot. Muro sendiri berarti larangan, yang menjadi bagian dari hukum adat melalui musyawarah kampung yang ditandai dengan darah hewan.

Desa Lamawolo di Kecamatan Ile Ape Timur menjadi desa ketiga di Kabupaten Lembata yang menetapkan peraturan desa (perdes) tentang Muro, sebuah kearifan lokal untuk menjaga kawasan laut dari eksploitasi yang berlebihan. Lamawolo mengikuti jejak desa Kolontobo dan Tapobaran yang sebelumnya juga sudah menetapkan Muro dalam perdes.

Penetapan Muro Lare Munung dalam perdes dilangsungkan di Kantor Desa Lamawolo, 4 September 2023. Hadir langsung oleh Staf Bagian Hukum Setda Lembata Emilianus Laba, pemerintah desa, BPD, organisasi pengelola Muro, Distrik Fasilitator VCA Koalisi Adaptasi - LSM Barakat dan sejumlah perwakilan masyarakat.

Distrik Fasilitator VCA Koalisi Adaptasi - LSM Barakat, Gani Amuntoda, berujar Muro adalah salah satu bentuk konservasi di laut ataupun di darat berdasarkan hukum dan sanksi adat yang dikelola oleh masyarakat adat yang disebut Kabelen Lewo.

Baca juga: Lima Desa Pesisir di Lembata Kantongi SK Bupati Konservasi Laut Muro

 

 

"Diharapkan dengan adanya Perdes ini maka akan memperkuat proses pengelolaan dan pengawasan Muro," katanya.

Kesepakatan ini dilakukan di Namang, tempat bertemunya tiga elemen utama yaitu tanah langun atau leluhur, tanah lolon atau manusia yang hidup dan kowa lolon atau sang pencipta. Masyarakat adat di Lamaholot mengenal Muro sejak zaman dahulu. Namun, belakangan ini Muro tidak lagi dilaksanakan.

Muro yang sebagai manifestasi kedaulatan rakyat dalam menentukan pengelolaan sumber daya alamnya, harus dijalankan sebab menjadi salah satu cara yang cukup ampuh untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Di Lembata, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Barakat sejak tahun 2016 mengadvokasi sejumlah desa pesisir di Kecamatan Ile Ape, Ile Ape Timur dan Lebatukan untuk menghidupkan kembali warisan leluhur tersebut.

Beberapa desa itu yakni Dikesare, Tapobaran, Lamawolo, Kolontobo, dan Lamatokan. Dengan pendampingan yang berkelanjutan, masyarakat adat di kelima desa ini telah menggelar ritual adat dan menerapkan Muro di kawasan laut, tempat mereka menggantungkan hidup.

Baca juga: Pemda Lembata Akan Buat Perbup Tentang Pangan Lokal

Direktur LSM Barakat, Benediktus Bedil, menjelaskan, Muro dipahami secara harafiah sebagai pembagian suatu kawasan yang dilakukan secara adat atau penutupan suatu kawasan dengan ritual adat.

"Muro sudah dikenal sejak dulu kala di wilayah pesisir Kabupaten Lembata. Masyarakat adat akan menggelar ritual di tengah kampung, kemudian dengan perahu memasang balela (batas) pada areal laut yang akan ditutup selama waktu tertentu dari aktivitas apa pun," katanya.

Masyarakat mengenal pembagian tiga zonasi Muro yakni zona pertama disebut Tahi Tubere (Jiwa Laut) yang merupakan zona inti sebagai tempat ikan bermain dan berkembangbiak. Zona ini sama sekali dijauhkan dari aktivias manusia dalam bentuk apa pun.

Zona kedua disebut Ikan Berewae (Ikan Perempuan) yang dianggap sebagai zona penyangga. Perempuan dan anak-anak diprioritaskan menangkap ikan di wilayah ini tapi hanya boleh dengan alat tangkap pancing tradisional, bukan dengan pukat.

Zona ketiga disebut Ikan Ribu Ratu atau ikan untuk umum sebagai zona pemanfaatan. Lokasi ini dibuka dan ditutup untuk umum sesuai kesepakatan. Bisa setahun sekali atau tiga sampai lima kali setahun. Pada saat kawasan ini dibuka, masyarakat akan beramai-ramai turun ke laut menangkap ikan yang ada di sekitar pesisir.

Dahulu kala, praktik pembukaan kawasan Ikan Ribu Ratu sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan masyarakat pesisir dan masyarakat di pegunungan.

Masyarakat dari gunung akan diundang untuk menangkap ikan di pantai. Sebaliknya mereka akan membawa hasil kebun seperti jagung, beras dan kacang-kacangan untuk diberikan kepada saudara-saudari mereka yang bermukim di pesisir.

Ketiga zonasi di laut ini diawasi langsung oleh kelompok masyarakat adat yang disebut Kapitan Sari Lewa. Mereka adalah suku-suku tertentu dalam kampung yang memang secara turun temurun bertugas sekaligus punya wewenang menjaga dan mengawasi wilayah laut. LSM Barakat kemudian memperkuat Kapitan Sari Lewa dengan pelatihan, advokasi dan sejumlah fasilitas pendukung untuk melaksanakan tugas pengawasan tersebut.

Masyarakat adat tak berjalan sendiri. Dan memang tak bisa berjalan sendiri. Barakat kemudian berupaya supaya Muro dan keseluruhan tatanan masyarakat yang menyokongnya bisa diakui negara.

Berita TribunFlores.Com lainnya di Google News