Berita NTT

Akses ARV adalah Hak, ODHIV NTT Butuh Jaminan Pengobatan dan Bebas dari Diskriminasi

Editor: Ricko Wawo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ridho R. Heerewila, Ketua IMoF NTT. 

Laporan reporter POS-KUPANG. COM, Tari Rahmaniar Ismail

POS-KUPANG. COM, KUPANG — Ridho R. Heerewila, Ketua Independent Men of Flobamora (IMoF NTT), menyuarakan harapan utama bagi teman-teman penyintas HIV kepada pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat. 

Dalam wawancaranya, Ridho menekankan pentingnya jaminan akses pengobatan antiretroviral (ARV) yang berkelanjutan dan merata sebagai hak dasar, bukan sekadar fasilitas tambahan.

“ARV bukan obat biasa ini adalah obat esensial penyelamat nyawa,” tegas Ridho, Senin, (4/8).

Ia berharap pemerintah segera menetapkan sistem distribusi ARV yang stabil hingga tingkat kabupaten dan desa, dengan dukungan anggaran yang memadai serta koordinasi lintas sektor.

“Ketersediaan ARV seharusnya tidak bergantung pada program donor atau situasi darurat. Kami juga mendesak pemerintah untuk melibatkan populasi kunci dan organisasi pendukung dalam pemantauan distribusi obat, agar tidak ada pasokan yang terputus,” ujarnya.

 

Baca juga: BGN Janji Beri Sanksi Penyedia Jika Terbukti Jadi Penyebab Keracunan Massal MBG di Kupang

 

 

Ridho mengungkapkan bahwa akses terhadap ARV di NTT, terutama di daerah pedalaman dan kabupaten, masih menghadapi tantangan besar.

Ia menyebutkan bahwa stok obat di fasilitas layanan sering kali terbatas, dan banyak ODHIV harus menempuh jarak jauh hanya untuk mengambil obat ke kota atau ibukota kabupaten.

“Sistem komunikasi antar fasilitas juga belum optimal, sehingga pasien sering kali tidak tahu apakah obat tersedia sebelum datang ke fasilitas,” katanya.

Kekosongan stok ARV, menurut Ridho, masih sering terjadi dengan durasi yang bervariasi, baik di kota maupun di kabupaten. Beberapa penyebab utama meliputi keterlambatan distribusi dari pusat ke daerah, lemahnya koordinasi antar fasilitas layanan kesehatan, serta belum efektifnya sistem pengelolaan stok.

Ketika pasokan obat terganggu, dampaknya bisa sangat fatal. Ridho menjelaskan, “Terputusnya konsumsi ARV dapat memicu resistensi obat, penurunan imunitas, hingga kematian. Secara mental, ODHIV juga akan mengalami kecemasan dan kehilangan rasa aman.” 

Baca juga: Pemerintah Sampaikan Permintaan Maaf Atas Insiden Keracunan Makan Bergizi Gratis di Kupang

Ia menekankan bahwa ini bukan hanya isu medis, tetapi juga hak asasi manusia.

Gangguan distribusi ARV juga berdampak pada target nasional untuk mencapai Three Zeros pada tahun 2030: nol infeksi baru, nol kematian akibat HIV, dan nol diskriminasi.

Selain tantangan akses obat, Ridho juga menyoroti masih maraknya diskriminasi terhadap ODHIV di NTT. 

“Di layanan kesehatan, masih ada tenaga medis yang menghakimi, terutama terhadap teman-teman dari komunitas gay dan waria. Di masyarakat, ODHIV sering dijauhi. Bahkan dalam dunia kerja, banyak yang ditolak atau dihambat karena status HIV mereka,” ujarnya prihatin.

Melalui jaringan komunitas IMoF NTT, Ridho mengajak masyarakat untuk melihat HIV sebagai isu kesehatan masyarakat, bukan sebagai aib moral. 

“Dengan ARV yang rutin dan dukungan sosial, ODHIV bisa hidup sehat dan produktif,” tegasnya.

“Akses ARV adalah hak, bukan fasilitas. Stigma dan diskriminasi adalah hambatan nyata bagi kesehatan publik. Kami meminta pemerintah menjamin ARV tersedia tanpa putus, dan masyarakat berhenti melihat HIV sebagai stigma. Dukungan, bukan diskriminasi, yang akan membawa NTT menuju target 3 Zero di 2030.” ungkapnya. (IAR) 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News