FEATURE Gunung Lewotobi di Flores Timur

Sepenggal Rasa di Lembah Gunung Lewotobi di Flores Timur NTT

Sejak letusan besar 23 Desember 2023, hingga letusan dahsyat yang datang kembali pada tanggal 3 November 2024, hidup kami tak lagi sama.

|
Penulis: Paul Kabelen | Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/PAUL KABELEN
PENYINTAS-Seorang penyinyas korban erupsi Gunung Lewotobi sedang memikul kayu. Dia saat itu pulang ke rumahnya di Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur, Kamis (23/10/25). 

 

 

 

 

Di sana berdiri SMAS Seminari San Dominggo Hokeng milik Keuskupan Larantuka, tempat para calon imam ditempa dan Biara Kongregasi SSpS yang menjadi pelita iman dan pengharapan.

Saya lahir dan tumbuh di tanah itu menyaksikan bagaimana tangan-tangan petani menanam mimpi di ladang yang kini terkubur abu. Semua berubah sejak erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. 
Pohon-pohon yang dulu rindang kini tinggal arang. Jalanan desa tertutup pasir dan batu menyisakan sunyi yang menusuk.

Pulang ke Rumah yang Tak Lagi Sama

Pagi itu, Kamis, 23 Oktober 2025, saya kembali menjejakkan kaki di Hokeng Jaya. Rumah-rumah yang dulu berwarna kini pudar, sebagian roboh sebagian berdiri goyah. Di halaman, beberapa warga bekerja dalam diam. Salah satunya Oni Huar, tetangga saya. Ia memikul kayu, menenteng jeriken berisi air bersih, lalu menaikkannya ke bak mobil pickup.

Setiap kali ingin pulang ke rumah, Oni harus menempuh 20 kilometer dari Huntara III di Desa Konga, Kecamatan Titehena. Sekali jalan, ia mengeluarkan Rp 20.000, harga rindu yang harus dibayar mahal.

"Kalau tidak pulang, siapa yang urus ternak?" katanya lirih.

Ia tahu, rumahnya sudah porak-poranda, tapi di situlah sebagian hatinya masih tertinggal.

Kampung yang Ditelan Sunyi

Dari kejauhan, Gunung Lewotobi Laki-laki berdiri angkuh seolah mengawasi setiap langkah kami. Desa Hokeng Jaya, Klatanlo, Nawokote dan Dulipali kini ditetapkan sebagai zona merah. Desa-desa ini hanya empat kilometer dari puncak gunung. Tak ada lagi riuh tawa anak-anak sekolah, tak ada lagi deru sepeda motor bersahutan. Hanya angin yang berdesir membawa aroma debu vulkanik.

Namun, di antara puing dan abu, masih ada sisa kehidupan. Beberapa warga datang memetik kelapa, memanen sayur, atau sekadar menengok ternak yang ditinggalkan. Mereka pulang menjelang sore, atau lebih cepat bila gunung kembali bergemuruh.

Hokeng yang dulu sejuk, kini panas dan kering. Rumput menutupi jalan beraspal yang tertimbun material vulkanik. Alam seperti ikut berduka, kehilangan rona hijaunya.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved