Eks Kapolres Ngada Cabuli Anak

APPA Gelar Diskusi Publik: Seruan Untuk Kawal Putusan Mantan Kapolres Ngada 

Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) Nusa Tenggara Timur menggelar diskusi publik bertajuk “Melawan Banalitas Kekerasan

Editor: Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM/YUAN LULAN 
DISKUSI-Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) Nusa Tenggara Timur menggelar diskusi publik bertajuk “Melawan Banalitas Kekerasan Seksual: Mengawal Putusan Eks Kapolres Ngada”, Jumat (17/10/2025), di Aula Rumah Jabatan Gubernur NTT.   

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Yuan Lulan

POS-KUPANG.COM, KUPANG –Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) Nusa Tenggara Timur menggelar diskusi publik bertajuk “Melawan Banalitas Kekerasan Seksual: Mengawal Putusan Eks Kapolres Ngada”, Jumat (17/10/2025), di Aula Rumah Jabatan Gubernur NTT.

Kegiatan yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, BEM, komunitas, hingga kelompok pemerhati isu perempuan dan anak ini menjadi wadah refleksi dan konsolidasi gerakan melawan kekerasan seksual di NTT.

Diskusi ini menghadirkan Asti Laka Lena, Ketua TP PKK NTT sebagai keynote speaker, serta tiga pembicara: Dr. Simplexius Asa, SH., MH (akademisi hukum Undana ), Ansi Rihi Dara, SH (Direktris LBH APIK NTT), dan RD. Dr. Leonardus Mali (akademisi filsafat).

 

Baca juga: SPPG Hidangkan Makanan Kesukan Presiden Prabowo untuk Menu MBG Hari Ini

 

 

Dalam pengantar diskusinya, Asti Laka Lena menegaskan bahwa kekerasan seksual di NTT sudah berada pada titik yang sangat memprihatinkan dan tidak boleh dianggap hal biasa.

“Kalau hal yang tidak benar ini sudah dianggap biasa, maka kita sedang menormalisasi kekerasan seksual. Ini bahaya besar bagi masa depan NTT dan anak-anak kita,” tegas Asti.

Ia menyoroti fakta bahwa korban kekerasan seksual di NTT kini tak hanya dari kalangan remaja, tetapi juga anak-anak usia SD bahkan balita. Lebih memprihatinkan lagi, pelaku berasal dari berbagai profesi — termasuk yang seharusnya melindungi.

Menurutnya, kasus kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, tidak boleh dipandang secara banal atau biasa saja.

“Kasus ini adalah kejahatan serius. Kita harus tegas berpihak kepada korban, bukan permisif terhadap pelaku,” ujarnya.

Diskusi ini mengambil inspirasi dari pemikiran Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan, yakni kondisi ketika kejahatan berulang diterima sebagai hal lumrah akibat lemahnya sistem hukum dan apatisnya masyarakat.

APPA menilai kondisi tersebut kini nyata di NTT, di mana kekerasan terhadap perempuan dan anak,baik dalam bentuk perdagangan orang maupun kekerasan seksual, cenderung tidak lagi mengguncang nurani publik.

Asti juga menyampaikan perlunya sinergi semua pihak yaitu pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga agama, dan keluarga untuk membangun sistem perlindungan yang nyata.

Ia mencontohkan kasus terbaru di Kota Kupang, di mana delapan SMP dilaporkan murid-muridnya telah terpapar kekerasan seksual berbasis digital. 

Fenomena ini, kata dia, memperlihatkan urgensi pendidikan seksualitas dan parenting di sekolah serta rumah.

“Kami mendorong agar materi tentang kemiskinan ekstrem, stunting, dan kekerasan seksual dimasukkan dalam muatan lokal pendidikan. Edukasi ini harus dimulai dari anak-anak dan juga orang tua,” tutur Asti.

Melalui kegiatan ini, APPA berharap terbangun kesadaran bersama bahwa kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi.
Adapun hasil yang diharapkan antara lain:

1. Terjadi pertukaran informasi dan penguatan jejaring antar lembaga.

2. Terbentuknya konsolidasi gerakan untuk mengawal keadilan bagi korban kekerasan seksual, termasuk dalam kasus eks Kapolres Ngada.

3. Terciptanya komitmen bersama memperluas gerakan perlindungan perempuan dan anak di NTT.

Asti menutup dengan ajakan penuh empati:

“Mari kita kawal proses hukum kasus ini dengan hati nurani, dengan keberpihakan pada korban. Karena jika tiang keluarga  perempuan dan anak rapuh, maka bangunan masyarakat juga akan runtuh.”

Diskusi publik ini menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali bahwa keadilan bagi korban kekerasan seksual bukan sekadar isu hukum, melainkan perjuangan kemanusiaan yang menuntut kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa. (uan)

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved