Penjual Periuk Tanah di Maumere

Antonius, Penjual 'Unu Tana Wolokoli': Dulu Pikul Keliling, Kini Bertahan di Tengah Badai Peminat

Di tengah hiruk pikuk Pasar Wairkoja, Desa Wairkoja, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, tampak seorang pria paruh baya bernama Antonius

Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/STEVANI THRESIA
JUAL PERIUK TANAH - Antonius Hermenegeldus (57) pria paruh baya asal Dusun Wu'u Desa Wolokoli yang berjualan Gerabah/periuk tanah di Pasar Wairkoja, Desa Wairkoja, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jumat (31/10/2025) ​ 

 

Ringkasan Berita:
  • Penjual Tanah di Pasar Wairkoja, Desa Wairkoja, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka.
  • Antonius Hermenegeldus (57), yang akrab disapa Dusmenjajakan Gerabah atau Periuk Tanah (Unu Tana Wolokoli).
  • Ia adalah salah satu penjaga tradisi yang kini menghadapi tantangan berat: menurunnya minat pembeli dan kekhawatiran akan hilangnya warisan leluhur.
 

 

Laporan Reporter Magang TRIBUNFLORES.COM Stevani Thresia

​TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE – Di tengah hiruk pikuk Pasar Wairkoja, Desa Wairkoja, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, Jumat, 31 Oktober 2025 tampak seorang pria paruh baya bernama Antonius Hermenegeldus (57) yang akrab disapa Dus.

Ia sibuk menjajakan Gerabah atau Periuk Tanah (Unu Tana Wolokoli). Ia adalah salah satu penjaga tradisi yang kini menghadapi tantangan berat menurunnya minat pembeli dan kekhawatiran akan hilangnya warisan leluhur.

​Bagi Dus, periuk tanah bukan sekadar mata pencaharian, melainkan sebuah warisan budaya. Sejak belia, ia sudah ikut berjualan.

"Saya jual saat umur masih belasan tahun," kenangnya. Dahulu, ia memikul gerabah dan berjalan keliling dari kampung ke kampung, bahkan langsung ke lokasi produksi moke, karena angkutan umum belum banyak.

 

 

Baca juga: Simak Harga Barang di Pasar Baru Labuan Bajo Manggarai Barat, Tempat Strategis dan Harga Ekonomis  

 

 

 

 

​Kini, karena faktor usia, ia memilih berjualan di satu tempat yakni Pasar Wairkoja. Untuk berdagang, Dus harus berangkat dari Wolokoli sejak hari Kamis, menginap di pasar, dan mulai mempersiapkan dagangannya sejak pukul 2 dini hari dengan biaya transportasi sebesar Rp 15.000.

​Pembuatan periuk tanah di Desa Wolokoli secara tradisional didominasi oleh perempuan-sebuah tradisi turun temurun yang harus dipatuhi.

"Hanya boleh kaum perempuan, yang laki-laki hanya bisa untuk mengumpulkan kayu bakar," tutur Dus.

Oleh karena itu, sang istri dan saudari perempuannya yang bertugas membuat gerabah, sementara ia menjualnya. Bahkan ada pantangan wilayah, bahan baku tanah liat hanya boleh diambil dari daerah Wolokoli sendiri. 

​Harga periuk tanah telah melonjak drastis. Jika dahulu dihargai Rp 2.500, kini harganya berkisar antara Rp 350.000 hingga Rp 400.000 untuk ukuran besar yang biasa digunakan memasak moke. Dalam sekali produksi, ia bisa menghasilkan 3 hingga 4 buah gerabah dalam waktu 3 hari, termasuk proses pembakaran.


​Namun, ayah dari enam anak ini mengaku penjualan kian sulit. Ia mengeluhkan peralihan para petani moke yang kini mulai meninggalkan periuk tanah dan beralih menggunakan alat masak lain seperti dandang atau drum. "Kalau dulu semata-mata menggunakan periuk tanah, sekarang kekurangan peminat," keluhnya.

​Dus mengaku kecewa atas penurunan minat ini. Ia juga khawatir terhadap masa depan kerajinan ini. "Anak muda sekarang sudah jarang sekali ada yang punya niat untuk mempelajari pembuatan periuk tanah," ujarnya cemas, khawatir warisan leluhur ini sewaktu-waktu akan hilang.

​Pusat Produksi yang Kian Menciut


​Kekhawatiran Dus semakin beralasan mengingat sentra penghasil periuk tanah di Desa Wolokoli telah menyusut. Awalnya ada tiga dusun yang memproduksi gerabah, namun kini hanya tersisa satu dusun yaitu Dusun Wu’u, dengan hanya beberapa orang yang masih bertahan sebagai pengrajin.

Menurunnya daya beli masyarakat menjadi faktor utama yang membuat banyak orang memilih meninggalkan pekerjaan ini.

​Meski menghadapi tantangan, usaha berjualan periuk tanah ini tetap menjadi tumpuan hidup Dus. "Kami orang Wolokoli berharap dari pembuatan periuk tanah. kalau macam saya hanya berharap dari membuat periuk tanah saja," katanya.

Bagi Dus, hasil penjualan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk membantu biaya sekolah anak dan keperluan lainnya.

​Ia berharap, tradisi pembuatan periuk tanah yang telah menghidupi banyak keluarga di Wolokoli dapat terus lestari dan mendapat perhatian, agar cerita dan keterampilan yang diturunkan oleh leluhur tidak terhenti pada generasi ini.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved