Kasus Kekerasan di NTT

NTT Urutan 3 Tertinggi Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Indonesia

NTT tiga besar wilayah dengan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi di Indonesia.

Editor: Gordy Donovan
POS-KUPANG.COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL
POSE BERSAMA - Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia melalui Kantor Penghubung Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menggelar ‎Kegiatan bertajuk "Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pengawasan Persidangan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum, Rabu (1/10/2025). ‎ 

Laporan reporter POS-KUPANG.COM, Tari Rahmaniar

TRIBUNFLORES.COM, KUPANG - Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia melalui Kantor Penghubung Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menggelar diskusi penting untuk memastikan proses peradilan berjalan adil bagi kelompok rentan.

‎Kegiatan bertajuk "Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pengawasan Persidangan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum" ini dilaksanakan pada Rabu, 1 Oktober 2025 di Kantor Penghubung KY Wilayah NTT.

‎NTT dipilih menjadi lokasi diskusi karena berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, wilayah ini termasuk dalam tiga besar wilayah dengan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi di Indonesia, bersama Jawa Timur dan Kalimantan Timur, yang juga menjadi lokasi rangkaian diskusi KY sebelumnya.

Baca juga: LBH APIK: 300 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di NTT, Mayoritas Kekerasan Seksual

 

‎Acara ini secara khusus mengundang berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan praktisi yang sehari-hari menjadi pendamping bagi korban dan saksi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

‎Sejumlah LSM yang hadir antara lain Saksi Minor, Bengkel Appek, LSM Bening, LBH Surya NTT, LPA NTT, LBH APIK NTT, LBH Yustisia NTT, Pemuda Katolik NTT, Rumah Harapan GMIT, Rumah Perempuan, dan JPIC Kupang.

‎Eko Riyadi, S.H., M.H., Direktur PUSHAM UII, dalam sambutannya menegaskan tujuan utama kegiatan ini adalah untuk mendengarkan langsung pengalaman para pendamping.

‎"Kami mengundang bapak-ibu sekalian, justru sebetulnya kami ingin mendengar apa yang selama ini telah bapak-ibu lakukan dalam rangka membela hak perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya kalau itu sampai ke proses peradilan," ujar Eko Riyadi, Rabu (1/10/2025). 

‎Diskusi ini bertujuan menggali berbagai praktik baik maupun praktik yang mungkin tidak baik yang ditemui di lapangan, terutama saat melakukan pendampingan pada persidangan yang sifatnya tertutup.

‎"Fokusnya adalah soal bagaimana peradilan, bagaimana perilaku hakim, bagaimana perilaku aparatur peradilan saat menyidangkan perkara-perkara yang terkait dengan perempuan dan anak. Baik mereka sebagai pelaku, sebagai saksi, maupun sebagai korban," ujarnya.

‎Eko Riyadi menambahkan, cerita dan pengalaman yang terkumpul dari para pendamping di NTT ini akan dikompilasi menjadi satu dokumen. Dokumen ini diharapkan menjadi ‘trigger’ bagi Mahkamah Agung (MA) untuk mengeluarkan kebijakan tertentu.

‎"Hasil dari diskusi dengan bapak-ibu ini akan kami rangkum, agar kelak bisa menjadi trigger bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan tertentu. Bisa Peraturan Mahkamah Agung (Perma), bisa Surat Edaran Mahkamah Agung, untuk memastikan proses peradilan yang terkait dengan perempuan dan anak itu dijalankan secara fair dan tidak melanggar hak-hak perempuan dan anak," ungkapnya.

‎Sementara itu, Koordinator Penghubung KY Wilayah NTT, Hendrikus Ara, SH., kepada media menyampaikan apresiasi dan pandangannya.

‎"Saya ucapkan terima kasih kepada NGO, media, dan para pemerhati perempuan dan anak dalam diskusi ini. KY dan AIPJ mendapat perspektif langsung dari para pelaku di lapangan yang selama ini mengadvokasi kasus korban perempuan dan anak di NTT," ujar Hendrikus Ara.

‎Pengalaman lapangan ini, lanjutnya, akan menjadi bahan penting dalam penyusunan dokumen-dokumen terkait pelaksanaan pemantauan persidangan dan penyusunan amicus curae (sahabat pengadilan) untuk membantu proses peradilan yang lebih baik.

‎Kehadiran LSM dan para pemerhati perempuan dan anak dalam diskusi ini menjadi sinyal kuat bahwa pengawasan terhadap integritas peradilan di NTT, khususnya pada kasus kekerasan, harus terus ditingkatkan melalui partisipasi aktif masyarakat. 

Capai 300 Kasus

Sebelumnya, Direktris LBH APIK NTT, Ansy D. Rihi Dara, mengungkapkan bahwa sejak berdiri pada tahun 2011, pihaknya telah menangani lebih dari 300 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Dari jumlah itu, kekerasan seksual terhadap anak menempati posisi tertinggi.

Hal ini disampaikan Ansy saat menjadi pemateri sesi kedua dalam Rapat Koordinasi TP PKK Provinsi NTT 2025 dengan tema Best Practice Peran LBH APIK dalam Advokasi Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di NTT.

“Kasus kekerasan di NTT itu fluktuatif, tapi rata-rata tiap tahun ada sekitar 90-an kasus. Itu artinya hampir setiap minggu ada dua kasus yang dilaporkan ke kami,” ungkap Ansy.

Ia menegaskan, meningkatnya jumlah laporan bukan berarti program perlindungan gagal, melainkan menunjukkan keberanian perempuan untuk bersuara.

 “Dengan banyak regulasi dan dukungan lembaga, perempuan makin sadar haknya dan berani speak up. Ini artinya ada keberhasilan,” jelasnya.

LBH APIK, kata Ansy, tidak hanya memberikan pendampingan litigasi di pengadilan, tetapi juga non-litigasi, investigasi, hingga jemput bola ke desa-desa. Banyak kasus bahkan dilaporkan oleh kader dan paralegal PKK di lapangan.

Lebih jauh, ia menyoroti kasus-kasus ekstrem seperti femisida—pembunuhan perempuan dalam relasi rumah tangga—yang masih terjadi di NTT.

“Ini bukan sekadar pembunuhan biasa, tapi akibat budaya patriarki yang menempatkan perempuan di posisi kelas dua,” tegasnya. 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved