Kekerasan perempuan di NTT
Tingginya Kekerasan Perempuan dan Anak di NTT: 558 Kasus dalam Lima Bulan
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih
Laporan reporter POS-KUPANG. COM, Tari Rahmaniar
POS-KUPANG.COM, KUPANG – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih tergolong tinggi dan menjadi perhatian serius berbagai pihak.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI mencatat total 558 kasus terjadi di NTT dalam kurun waktu Januari hingga Mei 2025.
Rinciannya, terdapat 230 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa, dengan bentuk kekerasan terbanyak adalah kekerasan psikis sebanyak 134 korban, disusul kekerasan fisik (76 korban) dan kekerasan seksual (30 korban).
Baca juga: Pemkab Kupang Gencarkan Edukasi Vaksinasi HPV untuk Cegah Kanker Serviks
Kelompok usia yang paling banyak menjadi korban adalah usia 25–44 tahun, yakni sebanyak 145 orang.
Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak mencapai 261 kasus dengan jumlah korban sebanyak 297 anak, terdiri dari 103 anak laki-laki dan 194 anak perempuan.
Jenis kekerasan yang paling banyak dialami anak-anak adalah kekerasan seksual (145 korban),diikuti kekerasan psikis (115 korban). Kelompok usia yang paling rentan adalah anak-anak usia 13–17 tahun (138 anak)dan usia 6–12 tahun (103 anak).
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3P2KB) Provinsi NTT Ruth D. Laiskodat menyampaikan bahwa pemicu utama kekerasan adalah persoalan ekonomi.
Dalam rangka menekan angka kekerasan, pemerintah daerah mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan melalui program “One Village One Product (OVO)” yang diinisiasi oleh Gubernur Melki Laka Lena dan Wakil Gubernur Joni Asadoma.
"Sebanyak 113 produk pangan olahan dari kelompok perempuan saat ini sedang dalam proses perizinan Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT), dan 65 produk di antaranya telah mendapatkan izin," ujarnya pada kegiatan Sosialisasi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada Kamis (24/7).
Program ini diharapkan mampu meningkatkan kemandirian ekonomi perempuan dan menurunkan risiko kekerasan dalam rumah tangga.
Baca juga: Bupati TTU Minta Periksa Ulang Pegawai Dinas Komdigi Tersandung Kasus Dugaan Perzinahan
Dalam kegiatan sosialisasi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), para peserta diajak memahami pentingnya sinergi lintas sektor dalam penanganan kasus kekerasan.
Sosialisasi yang menghadirkan dua narasumber ahli ini yaitu AKP Fridinari D. Kameo dan LBH APIK NTT Ansy Damaria Rihi menegaskan bahwa pemahaman masyarakat terhadap UU TPKS serta keberanian korban untuk melapor merupakan kunci utama dalam menekan kekerasan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.