Opini Mahasiswa Pascasarjana

BELAJAR DENGAN AI: INOVASI CERDAS ATAU ANCAMAN MORAL ?

Jika ditelisik lebih jauh, persoalan utama bukan sekadar pada penggunaan AI, melainkan pada dampak moral yang ditimbulkannya. Dari sisi psikologi

Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/HO.DOK PRIBADI
Theodosia Yosephina Palma, Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Magister Sains Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang 

 

 

Fenomena ini bukan hanya cerita lokal. Di Amerika Serikat, seorang mahasiswi Northeastern University, Ella Stapleton, menuntut kampusnya setelah mengetahui dosennya menggunakan ChatGPT untuk membuat materi, sementara mahasiswa dilarang memakai AI di kelas yang sama. Ia menyebut peristiwa itu sebagai bentuk “kemunafikan institusional” yang meruntuhkan kredibilitas pendidikan tinggi.

Di Indonesia, penelitian Ibnu Ikshan dkk. (2025) menunjukkan bahwa mayoritas siswa SMP Negeri 8 Palangka Raya memanfaatkan AI untuk menyelesaikan tugas hanya dengan menyalin dari internet, tanpa memeriksa kredibilitas sumber. Dua kasus berbeda ini menyiratkan satu hal yang sama: baik pendidik maupun peserta didik masih belum sepenuhnya bijak dalam memanfaatkan teknologi pintar.

Ancaman Moral yang Mengintai

Jika ditelisik lebih jauh, persoalan utama bukan sekadar pada penggunaan AI, melainkan pada dampak moral yang ditimbulkannya. Dari sisi psikologi pendidikan, ketergantungan berlebihan pada AI menimbulkan tiga risiko serius.

Pertama, kemalasan intelektual. Siswa terbiasa mencari jawaban instan tanpa berusaha memahami atau berpikir kritis. Proses belajar yang seharusnya melatih nalar justru dipotong habis oleh satu klik.

Kedua, hilangnya nilai kejujuran. Ketika tugas dikerjakan mesin, bukan hasil jerih payah sendiri, integritas pribadi mulai tergerus. Apa artinya nilai tinggi jika bukan cerminan kemampuan sejati?

Ketiga, tergerusnya karakter belajar. Sikap tekun, ulet, dan tanggung jawab yang menjadi fondasi kesuksesan pelan-pelan terkikis. Padahal, pendidikan tidak hanya soal angka, tetapi juga soal membentuk manusia yang berkarakter.

Lebih jauh lagi, jika guru hanya dilihat sebatas “penyedia materi” yang kalah canggih dari mesin, maka fungsi luhur pendidik sebagai pembimbing moral terancam tergeser. Pertanyaannya, siapa yang akan melatih daya juang, empati, etika, dan moral siswa bila semuanya digantikan algoritma?

Menempatkan AI pada Porsinya

Di sinilah pentingnya kesadaran bersama. AI hanyalah alat, bukan pengganti nilai-nilai manusiawi. Ia tidak tahu mana yang benar atau salah, baik atau buruk. Mesin pintar bisa memproses data, tetapi tidak bisa menanamkan budi pekerti. Maka, tanggung jawab tetap ada di tangan manusia—guru, siswa, dan orang tua.

Ada beberapa langkah penting yang bisa ditempuh. Pertama, mengajarkan literasi digital sejak dini. Siswa perlu dibiasakan menilai kredibilitas sumber, mengolah informasi, dan tidak hanya menyalin mentah-mentah.

Kedua, menekankan proses, bukan sekadar hasil. Guru perlu memberi ruang bagi siswa untuk berdiskusi, berargumentasi, dan melakukan eksplorasi. Tugas tidak hanya dinilai dari jawaban akhir, tetapi juga dari cara berpikir dan langkah yang ditempuh.

Ketiga, menyusun kebijakan yang jelas. Pemerintah bersama lembaga pendidikan harus merumuskan aturan penggunaan AI, bukan untuk melarang sepenuhnya, melainkan untuk mengarahkan agar penggunaannya mendukung proses belajar tanpa merusak integritas akademik.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved