Berita Lembata
Pasar Inklusi Desa Duawutun, Melepas Sekat Kelompok Rentan di Masyarakat
Hadirnya pasar inklusi bukan karena kelompok rentan membutuhkan pertolongan ekstra yang merepotkan, padahal yang dibutuhkan kesetaraan perlakuan.
Laporan Reporter TRIBUN FLORES.COM, Ricko Wawo
TRIBUN FLORES.COM,LEWOLEBA-Wilhelmina Tokan (75) penjual sapu lidi dari Desa Pada, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata. Selama ini dia tak punya gerobak dorong untuk menjajakan dagangannya itu.
Markus Ponggo, penjual ayam potong berdomisili di Kelurahan Selandoro, Kota Lewoleba. Selama ini pria penyandang difabel itu berupaya mendapatkan satu lapak jualan di Pasar Lamahora untuk menjual ayam potong.
Wilhelmina, dan Markus kemudian masuk dalam kelompok dampingan Humanity and Inclusion (HI) dan CIS Timor dalam program ekonomi inklusi dan berkelanjutan. Berkat advokasi dan pendampingan yang dilakukan, Wilhelmina sekarang sudah punya gerobak dorong. Sedangkan, Markus sudah menggelar lapak jualan ayam potong di Pasar Lamahora.
Implementing Program CIS Timor, Ignasius S Laumakiling, menyebutkan banyak orang berpikir para kelompok rentan seperti Wilhelmina dan Markus membutuhkan pertolongan ekstra yang merepotkan.
Baca juga: Diadvokasi HI dan CIS Timor, Lembata Buka Pasar Inklusi
Padahal tidak banyak yang mereka butuhkan untuk bisa hidup seperti orang lain. Wilhelmina hanya butuh gerobak dorong untuk usaha sapu lidinya. Sedangkan, Markus hanya butuh lapak jualan di pasar untuk usaha ayam potong.
Ignasius mengambil contoh kisah Wilhelmina dan Markus saat menjelaskan perihal cara pandang inklusi berhadapan dengan kelompok rentan, di peresmian Pasar Inklusi Desa Duawutun, Kecamatan Nagawutung, Kamis, 9 Desember 2021.
Konsep inklusi menurutnya tergolong hal yang baru tapi dalam kehidupan sehari praktik inklusi itu ada dalam masyarakat seperti budaya tolong-menolong, gotong-royong (gemohing), dan sikap menghargai perbedaan. Masalahnya, praktik inklusi itu tidak nampak diterapkan ketika berhadapan dengan warga yang termasuk kelompok rentan.
“Difabel masih dianggap tidak bisa berbuat lebih dan karenanya mereka tidak punya akses yang setara. Mereka dianggap orang sakit dan perlu diobati. Difabel, orang bisu atau tuli dibiarkan diam hanya karena tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.
Baca juga: Nelayan Diminta Tak Melaut di Sekitar Gunung Ile Werung Lembata
"Saat saya berada di komunitas mereka, saya merasa jadi difabel karena saya tidak paham apa yang mereka bicarakan. Demikian juga sebaliknya,” tambahnya.
Pembukaan pasar inklusi di desa Duawutun seolah meruntuhkan atau membongkar sekat atau tembok pembatas yang memisahkan para kelompok rentan dan masyarakat. Pasar inklusi adalah penanda ketersediaan akses yang setara bagi siapa saja, tanpa membedakan keterbatasan fisik dan mental. Termasuk di dalamnya akses ekonomi.
Ignasius berkata bahwa pada prinsipnya yang punya kapasitas lebih mendukung yang rentan. Jadi, dia mengajak semua yang punya kapasitas lebih untuk memberdayakan mereka yang rentan agar ada keseimbangan, bukannya ketimpangan.
Mayoritas warga dampingan HI dan CIS Timor dalam program ekonomi inklusi berusia 50-79 tahun. Hanya satu orang yang punya ijazah sarjana dan sisanya tidak tamat SD atau tidak pernah mengenyam pendidikan dan punya hambatan fisik. Ignasius belajar kalau setiap orang punya banyak kelebihan dan dapat mengembangkan kelebihan itu.
Baca juga: Polres Lembata Rekonstruksi Pembunuhan Hamdan Hamtete
Penanggung jawab program, HI di Lembata Melki Habel, menerangkan program tersebut bertujuan untuk menumbuhkan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan kepada kelompok rentan perempuan kepala keluarga, penyandang difabel dan masyarakat pra sejahtera. HI dan CIS Timor tentu tidak bekerja sendiri. Mereka bekerja sama dengan beberapa lembaga pemerintah seperti Bappelitbangda, Dinas Koperindag, Dinas PMD dan Sosial, dan Dinas Pertanian. Hasilnya, menurut Melki, sudah banyak muncul nomenklatur baru dalam program pemerintah yang inklusi bagi kelompok rentan. Misalnya, kelompok rentan juga bisa masuk dalam kelompok tani atau penyandang difabel juga punya lapak khusus untuk berjualan di pasar.
“Model pendampingan yang kita lakukan personal atau orang perorangan. Pendampingannya 8 bulan. Ada 75 orang yang didampingi di tiga tempat yakni desa Pada, Duawutun dan Kelurahan Selandoro,” paparnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/flores/foto/bank/originals/Pasar-Inklusi.jpg)