Gempa Flores 1992
Kisah Korban Gempa dan Tsunami 1992 di Flores
Masih terekam dengan jelas dalam ingatan tragedi tahun 92 itu, sebuah peristiwa yang mengubah peradaban hidup orang Maumere.
"Bayangkan saja, dalam tempo lima menit saja ada gempa, dan beberapa menit kemudian lagi tsunami, susah bagi saya untuk selamatkan barang-barang, bahkan ada anak saya yang terakhir itu diselamatkan oleh adik kandung saya. Saya hanya bisa selamatkan ijazah milik suami dan anak-anak," ungkapnya.
Faujia melihat dengan sangat jelas, ombak yang menghitam menggulung begitu tinggi diujung pulau besar.
"Saya lihat dengan sangat jelas, pas habis gempa, air laut tiba-tiba surut, sampai ke Pulau Besar, dan menumpuk menghitam, dengan awan yang juga mendung di atasnya, begitu menyeramkan, hanya hitungan menit ombak berlari ke sini dan mengubur semua yang berada di pinggir pantai, saya dari jauh hanya bisa meratap," kata Faujia.
Baca juga: Teganya Kakek DG, Anak TKK Dimasukkan ke Kandang Kambing
Kesaksian Faujia, saat ombak tiba di pinggir pantai, rumah tenggelam, mobil mengapung, hewan-hewan peliharaan menghilang, pohon-pohon tercabut dari akarnya. Air itu bercampur dengan lumpur, yang dipinggir pantai habis tak tersisa, yang ada hanya bentukan kolam besar di pemukiman warga.
Rumahnya beserta isinya ikut tenggelam, tak ada sisa, beruntung sekeluarga selamat dari kejadian itu.
Dirinya beruntung selamat, dan hanya memandang jauh dari tempat pengungsian.
"Untuk saya itu karya Tuhan, sebab saya biasanya cari ikan dipinggir pantai hanya pas hari itu saya tidak jadi ke pantai, jadi saya sangat bersyukur bisa selamat," pungkasnya.
Namun, derita masih tetap berlanjut, menjadi warga yang mengungsi, untuk Faujia, itu sangat tidak mengenakkan sebab tak ada kenyamanan disana yang ada hanyalah, berusaha untuk merasa nyaman dengan keadaan yang ada.
"Kami waktu itu mengungsi di bandara Waioti, susah benar kita di pengungsian, tiap hari kita mengharapkan makanan dari orang lain, kita juga biasa lihat pesawat yang pulang pergi, tak lupa juga kita berteriak, minta makan, maupun bantuan berupa barang lainnya," pungkasnya.
Faujia dan anak-anaknya serta suami dan keluarga, mengungsi di Bandara, kejadian tersebut membuat mereka mau tidak mau harus membuka lembaran hidup yang baru dengan rumah yang baru, lingkungan yang baru dan pola hidup yang baru.
"Setelah kejadian kita harus mulai baru lagi, lingkungan yang baru dan rumah yang baru,"ungkapnya.
Faujia dan sekeluarga hingga kini, masih trauma, bahkan gempa sekecil apapun akan meninggalkan kecemasan dan ketakutan yang mendalam sebab takut terjadi tsunami lagi.
Baca juga: Perjuangan Nakes Puskesmas Feondari, Merangkak Naik Bukit demi Pelayanan Pusling di Pedalaman NTT
"Sampai sekarang kami masih takut dan cemas kalau ada gempa, bahkan ada sedikit gempa saja saya bisa ketakutan berhari-hari bahkan baru-baru saja saya lari dengan menangis karena takut,"ujarnya.
Sedangkan warga lainnya, Mariani Yanti (50) menceritakan bahwa waktu itu ia masih bujang, meskipun demikian gempa dan tsunami membuat ia rela kehilangan segala harta miliknya.
"Saya waktu itu belum menikah, pas gempa itu tidak bisa lari, karena goncangannya itu sangat besar, kita seperti dipermainkan di ayunan dan setelah beberapa saat tsunami itu semua barang dan rumah habis,"ungkapnya.