Cerpen Terbaru

Cerpen Romantika Bangku Tua: Di Pantai yang Bisu Part 2, Nostalgia Anak Kampung

Ini adalah part yang kedua. Sebenarnya sudah diposting pada sehari sebelumnya namun karena kendala teknis malam ini baru diposting.Simaklah cerpen

Penulis: Nofri Fuka | Editor: Nofri Fuka
zoom-inlihat foto Cerpen Romantika Bangku Tua: Di Pantai yang Bisu Part 2, Nostalgia Anak Kampung
TRIBUNFLORES.COM/NOFRI FUKA
CERPEN - Romantika Bangku Tua: Di pantai yang bisu Part 2. Cerpen Romantika Bangku Tua: Di Pantai yang Bisu Part 2, Nostalgia Anak Kampung.

Entahkah benar demikian namun bapaknya Lar sangat menikmati lagu itu. Apalagi dengan berkainkan sarung hitam khas Maumere sambil menikmati kopi tumbuk buatan emaknya Lar, rasanya sempurna. Tiap kali mendengar bait reff pada lagu itu kepala bapaknya selalu mendongak ke atas seakan berpikir jauh. Tak lupa, kaki kanannya terangkat dan bertumpu pada pagar teras rumah. Maklumlah bapaknya Lar lebih suka duduk di atas pagar pada pagi hari. Alasannya sederhana, supaya dapat angin segar dan mendapatkan lebih banyak sinar ultarviolin ..eh.. ultraviolet maksudnya.

Sementara itu, emaknya (ibu) Lar sibuk menyiapkan sarapan pagi berupa ubi dan pisang rebus hasil panenan sang ayah kemarin sore di kebun. Ubi dan pisang mentah dipanen setelah sang ayah mendapati hasil padi dan jagung di kebun kurang memuaskan dan rusak separoh lantaran musim penghujan beberapa waktu lalu merusak semuanya.

Memang tahun itu adalah tahun yang sulit bagi para petani ladang di kampungnya Lar. Terkhusus para petani di kampung yang mengandalkan pertanian tradisional yang jauh dari penggunaan pupuk kimia. Sangatlah susah. Semuanya tergantung perhitungan musim hujan dan musim panas. Jika salah hitung maka minta maaf anda belum beruntung, tunggulah musim berikut.

Meski demikian hidup di kampung masih lebih beruntung jika terjadi krisis pangan ketimbang di perkotaan. Di kampung jika tak ada padi dan jagung, masih ada pisang dan ubi. Jadi segala sesuatu bisa diakali. Sedangkan di kota jika makanan di rumah habis, dibeli di toko makanan dan pangan, jika di toko habis maka selesai. Larilah ke kampung, itu jalan terbaik. Di sana ada ubi, pisang, sayuran, jamur dan masih banyak tanaman lokal yang bisa dijadikan makanan.

Mungkin dikarenakan hal itu orang di kampungnya Lar tidak protes jika terjadi inflasi maupun deflasi. Bahkan mereka merasa enjoy saja dan menikmati hidup apa adanya. Untuk mereka, jika ada panenan melimpah itu berarti sebuah keberuntungan yang patut disyukuri dan dipertahankan. Jika panenan gagal itu sebagai kegagalan yang jadi pembelajaran untuk musim berikut.

Kebahagiaan orang di kampung pun tampak dalam diri emaknya Lar. Ditengah krisis pangan yang merebak dari kota ke desa emaknya Lar begitu bersemangat dan sibuk dengan rutinitasnya tiap pagi yakni menyiapkan sarapan pagi.

Sarapan pagi yang disiapkan dengan dimasak ala tradisional memang beda. Bermodalkan tunggu api tradisional, menghasilkan asap pekat yang mengepul dari dapur dan membumbung hingga mencemari udara bahkan memasuki kompleks dan rumah tetangga sebelah. Dan itu sudah biasa terlihat. Bahkan aroma masakan yang numpang di hidung tetangga pun itu hal biasa.

Di kampungnya fenomena itu bukan hal yang asing atau tindakan mencari masalah. Orang di kampung tahu membedakan masalah sosial dan masalah di dapur. Jika ada masalah sosial itu berarti melanggar norma atau hukum publik jika ada masalah dapur itu masalah keluarga atau privasi tak layak jadi persoalan publik.

Demikian nikmatnya hidup di kampung. Tidak kaya amat tidak miskin amat. Yang ada selalu berkecukupan. Cukup ubi dan pisang rebus rutinitas harian bisa dilewati tanpa hambatan.

Kembali pada Lar. Setelah bangun pagi Lar masih saja menerima wejangan penuh makna dan melukai hati dari emaknya.

"Tidur saja terus. Jangan bangun, buat apa bangun. Nanti juga kau kenyang dengan tidur itu. Anak bandel benar," demikian ocehan emaknya yang konsisten bernada tinggi.

Lain hal dengan bapaknya. Cukup satu dua kata sudah menjinakkan omelan ganas emaknya Lar.

"Anak capek kemarin juga kau (emak) marah-marah terus. Tiap hari saja begitu," tegur bapaknya pada emaknya Lar yang terus mengoceh.

Mendengar teguran suaminya dari depan teras rumah, emaknya Lar persis langsung diam dan melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Lar adalah pria yang cuek dan tidak gampang tersinggung. Dia Lebih banyak memendam rasa dan galau sendirian. Apalagi ocehan emaknya semacam sudah jadi habitus. So, Lar tidak tersinggung malahan ia menganggapnya sebagai hal yang lumrah terjadi tiap pagi.

Hanya saja kali ini Lar memang tampak lesu. Kulit sawo matangnya seolah tambah gelap melihat wajahnya yang murung. Pagi ini ia tak langsung melaksanakan tugas harian yang sudah dijadwalkan bapaknya. Usai sikat gigi dan mandi, Lar malah langsung kembali ke kamarnya. Ia juga lupa sarapan.

Halaman
1234
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved