Berita Sikka
Para Nelayan Ladolaka di Palue Buktikan Ada Alat Tangkap Ikan yang Tak Perlu Rusak Lingkungan
Bahkan, tak perlu menggunakan alat yang yang harganya mahal. Cukup dengan alat tangkap sederhana yang biasa digunakan Nelayan
Oleh : Chois Bhaga, Mahasiswa IFTK Ledalero di Maumere
TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Para Nelayan Ladolaka di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, membuktikan, dalam menangkap ikan tak perlu harus merusak lingkungan laut.
Bahkan, tak perlu menggunakan alat tangkap yang harganya mahal. Cukup dengan alat tangkap sederhana yang biasa digunakan Nelayan Ladolaka, dapat mengatasi potensi kerusakan lingkungan laut.
Alat yang dimaksudkan itu tampak pada gambar di atas. Terlihat, seperti anyaman keranjang yang diberi ruang (lubang) pada sudut tertentu untuk memudahkan ikan masuk ke dalam keranjang atau alat tangkap itu. Alat ini sudah biasa digunakan nelayan Ladolaka sejak dahulu kala.
Alat tangkap yang disebut nelayan Ladolaka dengan nama Bubu ini, dapat menjadi solusi bagi para nelayan di Sikka dan dimana saja terutama dalam mengurangi dan membatasi penangkapan ikan yang berpotensi merusak lingkungan laut. Harga alat ini sangat murah. bahan dasar pembuatannya ramah lingkungan.
Baca juga: Bupati Sikka Kukuhkan Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan
Kilasan Historis
Sejak tahun 80-an, ada banyak nelayan Palue yang rela meninggalkan istri dan anak mencari ikan di luar wilayah perairan pulau Palue. Mereka pergi meninggalkan pulau Palue dari bulan April sampai November, bahkan sampai Desember dalam kurun waktu satu tahun.
Salah seorang nelayan pak Yuven sapaan akrab oleh warga sekitar, adalah sosok nelayan yang baik hati dan ulet dalam bekerja sebagai nelayan. Rumahnya di atas puncak berdekatan dengan gunung Rokatenda, namun ia tetap memilih pergi melaut untuk menghidupi keluarganya. Perlu diketahui, Rokatenda adalah gunung api yang dijaga penduduk Palue. Sebuah tempat yang dipercaya sebagai tempat pertama kali manusia menghuninya.
Lanjut pada aktivitas melautnya Pak Yuven, Pak Yuven menuturkan, biasanya dalam satu buah sampan ikan, bisa menampung 6 hingga 7 orang dengan semua perlengkapan yang disiapkan untuk menangkap ikan.
Sebagai nelayan, Pak Yuven sangat rutin mempersiapkan semua peralatan dengan teliti bersama anggota yang lainnya hingga dinihari sebelum melaut. Ketika mereka mulai berjalan pelan ke perahu, lalu menaikkan semua perbekalannya. Ada tasi sebagai tali pengikat bubu, batu untuk pemberat, dan bekal dalam perjalanan mereka.

Bubu adalah alat penangkap ikan tradisional yang ramah lingkungan. Ia terbuat dari bambu (aur), dalam kerja persiapan sebelum pergi mencari biasanya memakan waktu hingga 4 bulan dalam menyelesaikannya.
Saat penglihatan masih samar-samar, beberapa nelayan yang lainnya ikut berbondong-bondong membelah laut menuju arah laut Barat misalkan ke Riung, Labuan Bajo, Reo, Phota sesuai kesepakatan mereka dimana tempat sebagai pilihan sementara.
Raungan mesin dengan kekuatan 16-28 PK membentuk busa di belakang perahu. Semua bergerak dalam harapan yang besar.
Pak Yuven yang punya nama lengkap Yuvensius Une, mewarisi marga dari Igio Enga itu. “Saya ingat, sejak kecil saya sudah ke laut bersama bapak. Iku menangkap ikan dengan perahu tanpa mesin, masih menggunakna layar dengan sayap kiri kanannya” katanya.
Pak Yuven seperti kebanyakan warga di kampung Ndeo (Ladolaka), tak bisa lepas dari laut. Sejak dulu orang tuanya ingin dia bersekolah dan melanjutkan pendidikan agar bekerja di kantor. Tetapi karena kemendesakan kebutuhan ekonomi keluarga, ia memutuskan untuk ikut bersama sang ayahnya pergi melaut. Sekolah membuatnya bosan, sementara laut selalu memanggil-manggilnya, terutama untuk menangkap ikan dan bisa melihat uang serta mendongkrak kehidupan ekonomi keluarga.
Sekitar tahun 80-an, dalam memorinya bahwa banyak nelayan di kampung hanya menggunakan perahu kecil dengan layar. Mereka mendayung ke tengah laut dan mulai membuang alat penangkap ikan tradisional (bubu). Ikan krapu, ikan kutu, penyu, ikan kaka tua dan jenis ikan dasar lainnya mudah didapatkan. Orang-orang di pesisir yang membutuhkan ikan hanya tinggal mengasoh di bawah naungan pohon, lalu menunggu nelayan dan membeli hasil tangkapan.
Tetapi dalam perjalanan waktu, value production menurun dan value exchange meningkat karena banyak nelayan yang menggunakan bahan peledak (bom) dan racun. Sehingga, banyak terumbu karang sebagai rumah ikan, hancur berantakan.
Tak Tahu Pasar
Hal lain diperparah dengan bingungnya para nelayan untuk menemukan pasar yang cocok. Mereka hanya mampu menjual ke pengepul dengan harga dibawah standar.
Ditambah, program-program pemerintahan dalam kaitan dengan bantuan yang tidak tepat pada sasaran. Misalkan, pemerintahan desa dalam kaitan dengan Badan Usaha Miliki Desa (BUMDES), yang sesuai Undang-undang No. 6 tahun 2014, disebutkan hanya sebatas papan nama.
Ada juga program bantuan anggota DPR yang berporos atas pemenuhan janji, bukan berdasarkan kecerdasan pikiran mereka.
Sehingga para nelayan generasi selanjutnya seperti Bapak Yuven terpaksa mengambil tabungannya atau meminta ke tetangga untuk memperoleh pendanaan pembuatan perahu. “Tak ada pilihan, saya sendiri mengambil langkah ini untuk kebutuhan perawatan perahu dan membeli peralatan tambahan Menabung bagi nelayan agak sulit, karena kami keterbatasan pengetahuan, ungkapnya.
Kerja Keras Jadi 'Kunci Bertahan Hidup Menjauh' dan kurangnya ikan membuat wilayah pencarian ikut terpengaruh. Rata-rata setiap nelayan Bubu selalu nomaden agar bisa menangkap ikan yang banyak.
Dalam sekali jalan dari bulan Mei hingga November dalam kurun waktu 10 bulan lebih, menghabiskan waktu satu sampe dua hari perjalanan. Dan bisa menghabiskan biaya untuk kebutuhan bahan bakar berupa solar antara 700 sampai 900 ribu.
Biaya terbesar membeli bahan bakar solar, di mana harga setiap liternya kini dipatok Rp. 15.000 untuk perjalanan dari Palue menuju tempat tujuan. Perahu mesin 16-28 PK sekali jalan menghabiskan sekitar 50-60 liter.
Nelayan Ndeo (Ladolaka) sudah kerap kali mengeluhkan kelangkaan bahan bakar yang lebih terjangkau, sebab jarak dari Palue menuju kota Kabupaten Sikka sangat jauh, tapi tak ada jalan keluar dari otoritas yang berwenang. Biaya perjalanan lebih mahal ketimbang pendapatan perharinya, ungkapnya.
Terlepas dari persoalan bahan bakar, sebetulnya cara menangkap ikan para nelayan Ndeo (Ladolaka) di Palue, Kecamatan Palue merupakan pola sederhana ramah lingkungan yang layak diberi apresiasi. Model penangkapan ikan mereka tidak menggunakan peralatan modern lainnya. Mereka memakai bambu yang dianyam, tali, dan batu sebagai pemberat. Tanpa harus menggunakan ikan-ikan kecil atau daging lain sebagai umpan. Sekitar tali dililit batu dengan simpul yang kuat lalu batu itu ditenggelamkan bersama bubu ke air laut dengan kedalamanya 30-40 depa.
Lama Menunggu Ikan
Usai melepas bubu dengan kedalaman yang diujur, para nelayan membiarkannya hingga satu minggu untuk mengangkatnya kembali. Bagi nelayan Ladolaka, dalam menangkap ikan dengan berpindah-berpindah tempat dan menggunakan batu sebagai pemberat ini dilakukan ketika bahan bakar mulai mahal.
Sebelumnya, penangkapan yang dilakukan adalah dengan memperhatikan bulan sabit. Dan bintang ini adalah ilmu astronomi sederhana para nelayan. “Tapi sekarang itu minim sekali bisa dilakukan, karena kehabisan waktu menunggu, ungkap Bapak Yuven.
Bagaimanapun, niat dan tindakan baik nelayan tradisional untuk tetap ramah lingkungan membuahkan hasil. Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di Ladolaka, yang sekian tahun terakhir sedikit mendapat perhatian dari pemerintah juga, walapun hasilnya belum maksimal. "Ya kami tetap berterima kasih dan bersyukur," katanya.
Setiap tahun, nelayan tuna akan melakukan perjalanan mencari ikan kurang lebih 7 bulan, mulai dari bulan Mei-November. Dan jika dikalkulasikan keuntungan rata-rata nelayan setiap harinya, berkisar antara Rp. 300.00 ribu hingga Rp. 500.000 ribu. “Tapi keuntungan itu tidak kelihatan langsung setiap harinya. Karena dalam satu waktu, bisa saja tidak dapat ikan. Atau hanya satu ekor. Jadi simpanan awal akan diambil kembali untuk membeli perbekalan,” tutur Bapak Yuven.
Laut Adalah Rumah Nelayan
Bagi nelayan Ladolaka, membicarakan laut adalah diskusi soal halaman mereka bertumbuh dan mencari nafkah.
Laut yang bergelombang serta cuaca yang kurang bersahabat merupakan bagian dari dinamika yang tak bisa diubah. “Jadi kami nelayan hanya mempelajarinya dan terus berjuang. Kami kalo tidak kerja istri makan apa dan anak bagimana bisa sekolah?," katanya.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.