Opini Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda, Kaum Dulu dan Kini

Hidup di bawah penjajah bukanlah sebuah kehidupan yang mudah. Seperti ada ungkapan "hidup enggan, mati pun tak mau", rakyat Indonesia saat itu

Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/HO-IST
Ambros Leonangung Edu, S.Fil.,M.Pd, Dosen Unika Santu Paulus Ruteng 

Bertanah Air Satu meresapi semangat cinta tanah air. Cinta yang tak hanya berarti rasa memiliki, tetapi juga rasa rela berkorban demi kehormatan, dan melindungi harta karun negara ini dari segala ancaman. Tahun 1927, Moh Yamin menciptakan syair berjudul “Tanah Air”-nya Sumatra, namun tahun 1928 dia mengikrarkan dirinya: Tanah Airnya Indonesia.

Berbangsa Satu
Berbangsa Satu mewakili rasa senasib dan sepenanggungan. Bangsa tak terdefinisi oleh agama, ras, atau bahasa, tetapi oleh sejarah dan perasaan bersama. Ketika pemuda dari berbagai suku dan agama bersatu, membangun NKRI dengan semangat pluralisme, maka terciptalah sebuah mosaik yang indah bernama “bangsa” Indonesia.
Bangsa, menurut Ernest Renan, terbentuk bukan karena kesamaan agama, kesamaan konfigurasi geografi, ras-etnik atau pun bahasa. Bangsa itu sebuah prinsip spiritual. Sebuah resultante dari komplikasi mendalam dari sejarah. Suatu keluarga spiritual.

Ada dua hal yang membentuk bangsa: yang satu masa silam, satu lagi masa kini. Masa lalu membentuk perasaan bersama, yang kaya akan kenangan-kenangan. Masa kini membangun kesepakatan aktual, suatu “keinginan untuk hidup bersama” (d’etre ensemble), rasa bersama dalam suka (seperti dialami pada zaman Sriwijaya dan Majapahit), tetapi lebih-lebih lagi dalam duka (seperti di zaman penjajahan), sehingga ini membentuk perasaan senasib-sepenanggungan,sense of belonging (together).

Para mahasiswa Indonesia yang ada di negeri Belanda (Ahmad Subardjo, Hatta, dll) dan yang ada di Indonesia sendiri, dengan gembira setuju dengan teori Renan ini, kecuali Soekarno yang lebih setuju dengan teori Otto Bauer bahwa sebuah bangsa harus dibangun di atas “kesamaan watak” (charaktergemainschaft) yang timbul dari rasa

“senasib-sepenanggungan” (schicksalsgemainschaft), ditambah dengan unsur yang dimiliki bersama dalam keadaan “geopolitik”, misalnya Pancasila.

Kaum muda 1928 membentuk mimpi satu Indonesia di atas perasaan senasib-sepenanggungan. Ada Jong Java, ada orang Sumatera, ada orang Ambon, dsb. Tanpa lihat warna kulit, bahasa, atau agama seseorang, mereka merancang sebuah bangunan bernama NKRI di atas semangat pluralisme, keanekaragaman. Organisasi Jong Jawa (sebelumnya namanya Trikoro Darmo) dengan cabang-cabangnya di Jawa melakukan kongres terakhir tahun 1929,

1 tahun setelah Sumpah Pemuda, berakhir tahun itu namun bergabung dalam sebuah perhimpunan baru, yakni Indonesia Muda, yang terdiri dari ribuan kaum muda dari berbagai daerah. Untuk memperkuat kesatuan itu, mereka membuat kompetisi olahraga untuk kalangan muda. Ada juga majalah yang diterbitkan bersamaan di beberapa tempat: Solo, Magelang, Yogya, di bawah pimpinan redaksi Armin Pane (pelopor Pujangga Baru) dan Amir Hamzah (Pahlawan Nasional).

Patut ditambahkan, waktu kedatangan Jepang tahun 1942, semua organisasi kepemudaan di Indonesia dibubarkan. Namun dengan rasa senasib yang kuat, tetap ada organisasi pemuda yang berdiri bernama Gerakan Indonesia Muda (Gerindom). Ini membuat gerakan massal anti-imperalisme Belanda dan anti-fasisme Jepang. Mereka adalah pendobrak dan pemberani yang mendorong dan mendesak diadakannya proklamasi kemerdekaan. Malah setelah kemerdekaan, gerakan pemuda menjadi tambah besar, namun kekuatan-kekuatan pemuda pecah karena kemelut komunisme sejak 1947 yang mencapai puncak pada pemberontakan PKI 1948 di Madiun, lalu diperparah Agresi Belanda tahun 1948 itu juga, sehingga kekuatan para pemuda kocar-kacir.
Berbahasa Satu

“Pemuda Indonesia” pada deklarasi di Bandung Desember 1927 telah menyepakati Bahasa Indonesia, bahasa asal Melayu ini, sebagai bahasa sehari-hari (voertaal), begitu juga deklarasi dari PNI pada 1927. Malahan pada Kongres Pemuda II, Bahasa Indonesia dijadikan sebagai salah satu isi Sumpah Pemuda 1928.
Berbahasa Satu menjadikan Bahasa Indonesia sebagai jembatan persatuan. Sebuah bahasa yang kini tak hanya menjadi kebanggaan di tanah air, tetapi juga diminati dan diajarkan di berbagai penjuru dunia, dari universitas-universitas ternama hingga lembaga pendidikan di berbagai negara.
Memaknai Sumpah Pemuda

Ketika dunia kini menoleh kepada Indonesia, mempelajari bahasa dan kebudayaannya, pertanyaannya adalah: Apakah kita, sebagai pemuda bangsa, telah benar-benar menghargai dan mencintai tanah air, bangsa, dan bahasa kita seperti yang diamanatkan oleh Sumpah Pemuda?
Kini, kita hidup di era yang berbeda. Era di mana kita bisa menikmati kebebasan, kedamaian, dan kemajuan. Namun, kita tidak boleh melupakan sejarah. Kita harus selalu mengingat bahwa kebebasan yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah penjajahan yang panjang, kita harus memastikan bahwa kita tidak pernah melupakan sejarah tersebut. Kita harus memastikan bahwa generasi muda kita memahami pentingnya sejarah, memahami pentingnya kebebasan.

Sebagai bangsa, kita harus terus menerus membangun, memajukan diri, dan mencari kemajuan. Namun, kita juga harus selalu ingat dari mana kita berasal. Kita harus ingat bahwa kita pernah "lumpuh". Kita pernah merasakan tidak berdaya dan tidak bebas. Namun, kita juga harus ingat bahwa kita mampu bangkit, mampu membebaskan diri, dan mampu memajukan diri.

Dalam perjalanan membangun bangsa, kita akan menghadapi berbagai tantangan dan rintangan. Dengan sejarah yang telah kita lalui, kita mampu menghadapinya. Kita mampu mengambil pelajaran dari masa lalu, menggunakan pengalaman tersebut sebagai bekal untuk menghadapi masa depan, dan terus menerus berjuang untuk memajukan bangsa ini.

Frans Fanon, pencetus teori poskolonial, mengkaji efek kolonialisme terhadap bangsa terjajah. Penjajah, menurut Fanon, mencetak bibit-bibit tak berdaya, lemah, penurut, pada bangsa terjajah. 350 tahun di era Belanda dan rentetan penjajahan setelahnya, membentuk mental budak pada diri orang-orang Indonesia, namun oleh kaum muda disulap menjadi mental pemenang. Puncak kemendangan kaum muda adalah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ini adalah kisah kita, kisah bangsa Indonesia dari sisi kaum muda. Bagaimana dengan kaum muda masa kini?

Beriita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

 

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved