Opini Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda, Kaum Dulu dan Kini

Hidup di bawah penjajah bukanlah sebuah kehidupan yang mudah. Seperti ada ungkapan "hidup enggan, mati pun tak mau", rakyat Indonesia saat itu

Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/HO-IST
Ambros Leonangung Edu, S.Fil.,M.Pd, Dosen Unika Santu Paulus Ruteng 

Ambros Leonangung Edu, S,Fil, M.Pd, Dosen Unika Santu Paulus Ruteng

TRIBUNFLORES.COM, RUTENG-Ketika kita memikirkan masa lalu, sering kali kita terbawa oleh benang merah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, yang menunjukkan bahwa apa yang kita alami saat ini adalah hasil dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Untuk bangsa Indonesia, salah satu benang merah yang paling menonjol adalah masa penjajahan yang panjang, yang dipenuhi dengan kisah duka, penderitaan, dan perjuangan yang tidak pernah kenal kata terakhir.

Hidup di bawah penjajah bukanlah sebuah kehidupan yang mudah. Seperti ada ungkapan "hidup enggan, mati pun tak mau", rakyat Indonesia saat itu berada di antara dua pilihan yang sama-sama sulit. Di suatu cerita, mereka menghadapi kemiskinan, penyakit, dan kelaparan. Pada kisah lain, mereka menghadapi kebrutalan penjajah yang tak kenal belas kasihan. Di balik itu semua, ada semangat yang terpendam, semangat untuk bertahan, bertarung, untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan.

350 tahun dijajah Belanda bukanlah periode singkat. Itu adalah waktu yang sangat lama untuk membentuk sebuah memori kolektif yang buruk. Sebuah ingatan masa lalu yang penuh luka. Namun, jika kita melihat lebih dalam, memori kolektif tersebut bukan hanya tentang penderitaan. Itu juga tentang bagaimana rakyat Indonesia mampu bertahan, berjuang, dan membebaskan diri dari cengkeraman penjajah.

Sejarah penjajahan Indonesia adalah bukti bahwa, meskipun dalam keadaan yang paling sulit sekalipun, semangat bangsa Indonesia, yang membara dalam diri kaum muda, tak pernah padam. Justru di saat-saat sulit itulah, semangat kaum muncul dengan lebih kuat. Para pemuda yang berjuang mati-matian melawan penjajah, para pemuda yang rela mengorbankan masa muda mereka demi kemerdekaan, serta rakyat jelata yang mendukung perjuangan tersebut dengan segala cara, semuanya menunjukkan bahwa semangat bangsa Indonesia tak pernah luntur.

 

Baca juga: Cegah Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, LLDIKTI XV Lakukan Sosialisasikan Permendikbudristek

 

 

 

 

Nasionalisme Kaum Muda Masa Silam
Kaum muda telah selalu menjadi katalisator revolusi sosial dan perubahan sejarah di Indonesia. Mulai dari gerakan Budi Utomo 1908, yang dipelopori oleh para pemuda terpelajar seperti Dr. Soetomo saat masih berusia 20 tahun, tahun 1912 berdiri Indische Partai atas usaha dari 3 sekawan (3 serangkai): Dr Douwes Dekker (Setya Budi) bersama-sama dengan Suwardi Suryanigrat (Ki Hajar Dewantara) dan Dr Tjipto Mangunkusumo. Dewantara berumur 23 tahun dan Cipto masih berumur 25 tahun ketika memimpin IP melawan para penjajah Belanda.

Di luar negeri, terutama di Belanda, para pemuda dan mahasiswa Indonesia juga berjuang mempromosikan ide "Indonesia Merdeka" lewat organisasi seperti Indische Vereeniging, yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia.

Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, dengan gagasannya tentang pendidikan yang bercirikan ke-Indonesiaan, berusaha menentang pendekatan pendidikan Barat yang dianggap materialistik dan individualistik. Dewantara menggagas pendidikan model "tut wuri handayani", menekankan pentingnya peran guru sebagai pendamping generasi muda.

Meskipun menghadapi tantangan dari pemerintah kolonial yang berusaha memecah belah dengan politik "devide et impera", semangat nasionalisme pemuda Indonesia tetap berkobar. Dan, puncak dari semangat persatuan ini adalah lahirnya "Sumpah Pemuda" pada Kongres Pemuda II tahun 1928, di mana para pemuda dari seluruh penjuru Indonesia bersatu dengan satu tekad, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Arti sebuah Sumpah Pemuda

Mohamad Yamin, yang dianggap arsitek di balik Sumpah Pemuda, merupakan satu dari sekian banyak perajut mimpi Indonesia Merdeka. Sumpah Pemuda bukanlah sekadar seruan, tapi jiwa, yang menggelegak dalam dada setiap pemuda Indonesia. Meski terancam oleh senjata Belanda, keberanian mereka tak pernah padam. Mereka bersumpah atas tiga janji suci: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
Bertanah Air Satu

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved