Berita NTT

Peneliti Temukan Kondisi Memprihatinkan Nelayan di Pulau Terluar Rote: Rawan Human Trafficking

Nukila Evanty, Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang dan Penyelundupan manusia (Koalisi), serta Direktur Eksekutif Women Working Grou

Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM/HO-IST
Nukila Evanty, Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang dan Penyelundupan manusia (Koalisi), serta Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG) dan Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty melakukan penelitian di pulau Rote, NTT dan menemukan hal-hal yang memprihatinkan di Desa Tanjung Papela, Kecamatan Rote Timur, Rote Ndau. 

TRIBUNFLORES.COM, BA'A-Nukila Evanty, Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang dan Penyelundupan manusia (Koalisi), serta Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG) dan Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty melakukan penelitian di pulau Rote, NTT dan menemukan hal-hal yang memprihatinkan di Desa Tanjung Papela, Kecamatan Rote Timur, Rote Ndau.

Di sela-sela penelitian yang diselenggarakan dari tanggal 9-12 Juni 2024 itu, Nukila berkesempatan merekam dan memotret langsung kehidupan warga yang berada di pulau terluar tersebut.

Nukila melaporkannya kepada Tribun Flores, Jumat, 19 Juni 2024.

Dia bertemu dengan beberapa perempuan yang sedang berkumpul pada Senin, 10 Juni 2024, di antaranya bernama Risni (32 tahun), Ira (35 tahun), Rima (28 tahun), Atiya ( 55 tahun), Suarni (35 tahun), Mentampe (35 tahun) dan Iya (47 tahun). Banyak di antara perempuan-perempuan itu sedang menunggu suami atau saudara laki -laki mereka yang pergi melaut dengan harapan para nelayan itu membawa ikan tangkapan laut. 

“Kadang suami kami tak membawa apa-apa dari laut, karena cuaca yang buruk seperti angin tak menentu saat ini “ ucap Ira sambil memandang kearah laut, menunggu penuh harap. 

 

Baca juga: Cegah Kasus Perdagangan Orang, Pemda Lembata Bentuk Gugus Tugas TPPO

 

 

Perempuan-perempuan tersebut menyebutkan bahwa mereka mengandalkan sang suami atau sang bapak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Karena mereka sendiri tidak bekerja, terbatasnya lapangan pekerjaan dan tidak ada keahlian untuk menunjang ekonomi keluarga. 

Rumah yang mereka tempati sehari-hari pun begitu memprihatinkan dengan kondisi rumah yang seadanya, kayu seadanya dan ada beberapa bagian yang begitu diinjak akan rapuh.  

Mereka masak seadanya, "kadang ada beras dan diusahakan ada beras untuk makan sehari-hari.“ 

“Kami di sini banyak terlilit utang, terutama ketika musim anak-anak mulai sekolah dan kebutuhan mendesak lainnya," ujar Suarni lirih. 

“Anak-anak kami ada yang berhenti sekolah karena lebih baik kerja karena akan membantu orang tua dibanding sekolah,“ ujarnya lagi.

“Ikan-ikan dari laut dijual kepada pengumpul tidak begitu banyak, untuk kebutuhan sehari-hari."

Mereka juga menyebut, orang-orang dinas datang ke tempat mereka, mendata warga, setelah itu hilang tak ada kabar.

"Saat masa kampanye, janji-janji tak kunjung ditepati. Sudah 3 kali pemilu, masih sama nasib kami," Iya mengeluh.

Desa Tanjung Papela dengan jumlah kepala keluarga sekitar 200 orang, umumnya adalah nelayan tradisional yang masih mengandalkan perahu mesin untuk mencari ikan. 

Menurut data Kementrian Kelalutan dan Perikanan (KKP), Pulau Rote adalah salah satu pulau kecil terluar di Indonesia. 

Menurut Nukila Evanty, desa Tanjung Papela mempunyai banyak nelayan dan pelaut ulung. Mereka sudah biasa melaut bahkan ada beberapa yang terdampar di laut yang berbatasan dengan Australia.

Kalau pemerintah tak peduli, bisa jadi nelayan-nelayan ini akan terus membanjiri laut perbatasan Australia untuk mencari teripang yang menurut nelayan lebih bagus dan tumbuh di perairan Australia.

Harga teripang kering 1 kg bisa mencapai 4 jutaan rupiah lebih menurut beberapa situs belanja online. 

Belum lagi kondisi perempuan dan anak-anak yang rawan direkrut untuk pekerjaan tanpa kontrak kerja dan tak jelas. Mereka bisa saja terperangkap perdagangan manusia (human trafficking).

Nukila menyebutkan kondisi nelayan -nelayan yang marjinal tersebut bisa dimanfaatkan untuk mengantar orang-orang yang minta diselundupkan ke Australia.

Jelas nelayan-nelayan tak bisa disalahkan menurutnya. Mereka tak mengerti batas wilayah Indonesia-Australia, tak mengerti hukum internasional, tak mengerti digitalisasi karena kurangnya program pemberdayaan ekonomi .

"Terus menerus pemerintah menyebut daerah 3 T ( tertinggal, terdepan dan terluar ) yang harus ditingkatkan ekonominya termasuk manusia, fasilitas dasar dan layanan dasar. Tetapi ternyata di lapangan tak seindah rencana program pemerintah yang selalu digaungkan. Menyedihkan sekali," ujar Nukila.

"Pemerintah daerah dan pemerintah pusat, cobalah berkunjung ke desa-desa di pulau Rote ini, buat kajian sekaligus menentukan intervensi program apa saja yang pas, rawan sekali dan membahayakan jika dibiarkan terus menerus dari perspektif ketahanan nasional, nelayan-nelayan ini harus diperkuat untuk menjaga perbatasan kita,"  tutup Nukila.

 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved