Berita Flores Timur

Masyarakat Flores Timur Dialog Perubahan Iklim, Curhat Gagal Tanam dan Panen

Dialog perubahan iklim ini melibatkan 30 peserta dari Desa Hewa dan Hokeng Jaya dan berlangsung di Kantor Yayasan Ayu Tani Mandiri

Penulis: Paul Kabelen | Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/PAUL KABELEN
Dialog perubahan iklim di Kantor Yayasan Ayu Tani Mandiri, Desa Persiapan Padang Pasir, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Paul Kabelen


TRIBUNFLORES.COM, LARANTUKA-Yayasan Ayu Tani Mandiri di Desa Persiapan Padang Pasir, Desa Induk Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, menggelar dialog perubahan iklim bersama masyarakat.


Dialog perubahan iklim ini melibatkan 30 peserta dari Desa Hewa dan Hokeng Jaya dan berlangsung di Kantor Yayasan Ayu Tani Mandiri, Selasa, 30 Juli 2024 pagi.


Direktur Yayasan Ayu Tani Mandiri, Thomas Uran, mengatakan perubahan iklim sebagai isu global memerlukan kerjasama dan komitmen dari semua pihak. 


Thomas menerangkan, perubahan iklim tak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga sosial dan ekonomi. Penanganannya harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan. 

 

 

 

Baca juga: Angin Kencang Landa Kota Kupang dan Sekitarnya, Waspada Hingga 5 Agustus 2024

 

 

 


Menurutnya, salah satu aspek penting dalam penanganan perubahan iklim adalah peran masyarakat. 


Masyarakat memiliki potensi besar dalam upaya mitigasi dan adaptasi baik melalui perilaku, inisiatif, maupun partisipasi. 


Contoh nyata, jelas Thomas, melakukan budidaya pertanian yang ramah lingkungan, membuka lahan tanpa bakar, memanfaatkan pupuk organik dan pestisida mengembangkan biogas dari limbah peternakan, merehabilitasi dan menghijaukan lahan kritis. 


"Masyarakat dapat menunjukkan komitmennya dengan berperan sebagai agen perubahan menginisiasi dan mendukung gerakan pengendalian perubahan iklim berbasis komunitas," kata Thomas. 

 

 

Baca juga: Bertemu 50 Ribu Pelayan Altar Internasional, Paus Fransiskus: Saling Mengasihi

 


Meski begitu, kata Thomas, peran masyarakat dalam penanganan perubahan tidak dapat dipisahkan dari dukungan pemerintah. 


Pemerintah harus memberikan dukungan berupa kebijakan dan bantuan teknisi yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim. 


Selain itu pembentuk juga harus berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk saling bersinergi dan berkolaborasi dalam penanganan perubahan iklim. 


"Atas dasar itulah kami sebagai bagian dari Koalisi Pangan Baik bersama para lokal champion dampingan dari Desa Hewa dan Hokeng Jaya menyelenggarakan forum diskusi bersama masyarakat," kata dia. 

 

 

Baca juga: Jatuh dari Pohon Lontar, Warga Oebou Rote Barat Daya Tewas

 


Thomas berharap diskusi tersebut bisa menghasilkan rencana tindak lanjut untuk melakukan aksi nyata baik di tingkat kampung, desa, dan kecamatan agar lebih tangkap terhadap perubahan iklim. 


Salah satu peserta yang juga local champion Desa Hokeng Jaya, Rosalia Ocha mengatakan dampak perubahan iklim kian terasa.


Di desanya, ungkap Ocha, banyak petani gagal tanam dan panen akibat curah hujan yang tak menentu dan sulit diprediksi. Ekonomi warga semakin memburuk akibat dampak perubahan iklim.


"Misalnya tanaman kakao yang terserang hama. Ini terjadi hampir lima tahun terakhir," katanya.

 

 

 

Baca juga: Parapuar Jadi Destinasi Wisata Alternatif di Labuan Bajo, Groundbreaking 8 Agustus 2024

 


Ocha melanjutkan, penggerak lokal bersama Pemerintah Desa Hokeng Jaya terus melakukan berbagai upaya, salah satunya penanaman pucuk merah di sepanjang jalan.


Mereka juga memanfaatkan pangan lokal seperti keladi dan pisang untuk diolah menjadi kripik. 


"Pakai sini yang kami manfaatkan sehingga bisa sedikit membantu peningkatan ekonomi," ucap dia. 


Ketua BPBD Hewa Gabriel Doler berujar, gagal panen juga terjadi di desanya akibat curah hujan yang tidak menentu. 


Paling parah, ungkap Gabriel, terjadi pada 2023. Banyak petani ladang mengeluh gagal tanam. 


"Karena curah hujan yang tidak menentu ada petani yang lima gagal tanam. Semua pada mengeluh," ujar dia. 


Gabriel menerangkan gagal panen juga dialami para petani sawah. Las lahan sawah di Desa Hewa mencapai 37 hektare.


Hanya saja setiap musim kemarau debit air berkurang, sehingga tidak semua areal sawah terairi. 


"Kondisi ini diperparah karena bendungan yang ada tidak berfungsi secara optimal. Kita sudah usulkan ke kabupaten dan provinsi tapi belum terealisasi," katanya.

 

Berita TRIBUNFLORES.COM lainnya di Google News


 
 
 

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved