Berita NTT

Dialog Aliansi Gerakan Timor Raya dan BKSDA NTT Alot  Bahas TN Mutis Timau

Adapun Aliansi Gerakan Timor Raya itu menggelar demonstrasi ke kantor BKSDA NTT, Rabu 5 Desember 2024 menolak peralihan status Cagar Alam Mutis Timau

Editor: Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI
DIALOG - Dialog Aliansi Gerakan Timor Raya dengan BKSDA NTT mengenai peralihan status Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional.  

TRIBUNFLORES.COM, KUPANG  - Dialog Aliansi Gerakan Timor Raya dan BKSDA NTT berlangsung alot.

Adapun Aliansi Gerakan Timor Raya itu menggelar demonstrasi ke kantor BKSDA NTT, Rabu 5 Desember 2024 menolak peralihan status Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional (TN). 

Setelah berorasi di depan kantor BKSDA NTT, masa aksi diterima pejabat BKSDA. Mereka melakukan dialog yang diawali dengan pemaparan dari BKSDA mengenai tahapan yang dilakukan hingga ada peralihan itu. 

Setelah pemaparan, diberi kesempatan untuk masa aksi untuk menyampaikan pertanyaan maupun berbagai kritik dan saran. 

Sharul, salah satu masa aksi dalam dialog itu mengatakan, harusnya sebelum SK itu lahir baru dilakukan pemetaan zonasi. Dia bilang, kawasan itu sebelum diintervensi BKSDA NTT justru tidak ada masalah apapun. 

Sharul mengatakan, asumsi mengenai ada tambahan pembangunan jika kawasan itu dengan status Taman Nasional, harusnya dibedakan. Sebab itu merupakan dua hal berbeda.

Mestinya pemerintah harus hadir dalam situasi apapun masyarakat. Tidak saja ada sesuatu yang membuat pemerintah mengencangkan pembangunan. Padahal masyarakat sekitar kawasan itu adalah petani. Justru tidak disentuh mengenai kebutuhan yang bisa diakomodir. 

"Masyarakat dihadapkan dengan masalah ini. Kita seolah sebagai dewa dalam hal pembangunan, tapi tidak pernah tanya mau kalian apa. Konsultasi baru dilakukan itu terlambat, kenapa SK sudah ada baru dilakukan, itu soalnya," ujarnya. 

Masa aksi dari Aliansi Gerakan Timor Raya menjelaskan, sumber mata air di kawasan Mutis itu perlu dijaga. Kekhawatiran kehadiran investor akan memberi ancaman baru bagi masyarakat Mutis. Dia mengkritik mengenai kehadiran BKSDA di wilayah itu. 

"Masyarakat tidak diberikan peluang untuk menyampaikan hak mereka. Masyarakat hanya diberi pilihan," katanya. 

Mahasiswa lainnya, Febri mengatakan,  undang-undang pokok agraria menegaskan bahwa ada kepemilikan dan penguasaan. Aturan itu memberi ruang bagi negara untuk menguasai, tapi bukan memiliki.

Sementara itu, ancaman terhadap keberadaan Taman Nasional membuat masyarakat sekitar bisa digusur. Dia mengatakan, dasar pikiran yang digunakan BKSDA justru bertentangan dengan undang-undang 1945.

"Kami mau BKSDA NTT mendukung kami agar Taman Nasional Mutis Timau dikembalikan pengelolaan ke masyarakat. Kami mau pernyataan sikap dari BKSDA NTT," kata dia. 

Kepala Bidang Teknis BKSDA NTT Dadang Suryana menjelaskan, BKSDA NTT tidak bisa memberi pernyataan apapun mengenai penolakan itu. Sebab, pihaknya tidak memiliki kewenangan. 

Dia bilang, perlu ada jalur yang bisa ditempuh agar bisa ada jalan keluar yang terbaik. Dadang menghargai sikap dari mahasiswa. Dia bilang pihaknya tidak mengikuti penolakan seperti yang diminta demonstrasi. 

"Kalau mau proses ini jadi hutan adat, tempuh. Kami tidak memaksa adik-adik untuk ikut kami. Begitu juga adik-adik tidak bisa memaksa kami," ujar dia. 

BKSDA NTT membuka ruang agar mahasiswa bisa melakukan proses terhadap pengalihan Taman Nasional juga ke hutan adat. BKSDA NTT bahkan mengizinkan untuk memberikan syarat-syarat yang perlu dilengkapi untuk memproses itu. 

"BKSDA mengembalikan ke teman-teman. Kami dorong itu," kata dia. 

Dadang bilang pihaknya tetap memberi kesempatan dan menyampaikan tahapan, bila mahasiswa ingin menempuh untuk merubah status Mutis Timau itu menjadi hutan adat. 

Dalam dialog itu mahasiswa tetap meminta agar BKSDA NTT memberikan dukungan kepada masyarakat. Mahasiswa menegaskan tetap akan melakukan penolakan terhadap perubahan status ke Taman Nasional itu. 

Masa aksi ini juga mengkritisi struktur adat yang ada di wilayah itu. Sebab, sejauh ini belum ada kejelasan mengenai hal tersebut. Imbasnya akan ada polemik mengenai struktur adat, terutama keberadaan pemerintah yang ikut dalam bagian ini. 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News


 

 

 

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved