Berita Manggarai

Terinspirasi Kisah W Z Johannes, Komunitas Seni Teater Saja Ruteng Gelar Pementasan X-Ray Mission 

Pementasan ini terinspirasi dari kisah hidup Wilhelmus Zakharia Johannes, seorang pahlawan nasional di bidang kesehatan yang berasal dari Nusa Tenggar

Penulis: Robert Ropo | Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM/HO-IST
Komunitas Seni Teater Saja Ruteng Sukses Gelar Pementasan Teater ‘X-Ray Mission.  

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Robert Ropo

TRIBUNFLORES.COM, RUTENG-Komunitas Seni Teater Saja Ruteng sukses menggelar sebuah pementasan Teater ‘X-Ray Mission yang berlangsung di Aula Efata, St Aloysius Ruteng, Sabtu 14 Desember 2024 malam. 

Pementasan ini terinspirasi dari kisah hidup Wilhelmus Zakharia Johannes, seorang pahlawan nasional di bidang kesehatan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. 

Ketua Komunitas Teater Saja Retha Janu, dalam rilis yang diberikan Lolik Apung, anggota tim produksi pementasan X-Ray Mission, kepada TRIBUNFLORES.COM, Minggu 15 Desember 2024 menerangkan, pementasan ini dibuat dengan dukungan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Program Teater Kepahlawanan Nasional. 

"Kami merasa dukungan ini membantu kami menggelar sebuah pementasan dengan model yang berbeda dari model pementasan sebelumnya," ujarnya. 

Teater Saja Ruteng sudah cukup sering menggelar pementasan teater. Didirikan pada tahun 2018, komunitas yang beranggotakan akademisi, ASN, guru, dan orang-orang muda di Ruteng ini sudah menghasilkan beragam karya di bidang kesenian. 

Di antaranya adalah 2 pentas teater, 8 episode video storytelling, 13 seri kelas teater, 7 bioskop Teater Saja, 2 lagu orisinal, 1 monolog, 2 kali menjadi komunitas kolaborator pada Flores Writers Festival, dan 1 sinema mikro dan ‘pameran memori personal keluarga tentang pakaian’. 

Menutup tahun 2024 ini, mereka menggelar pementasan lain yang diberi judul ‘Teater Kepahlawan X-Ray Mission’ terinspirasi dari W.Z. Johannes. 

W.Z Johannes adalah seorang pelopor radiologi di Indonesia. Ia lahir di Pulau Rote, NTT, pada 16 Juli 1895. Ketika kecil, ia mulai bersekolah di Sekolah Melayu, lalu melanjutkan pendidikannya di Europese Lagere School (ELS) Kupang. 

Sekolah ini memberikan kesempatan kepada anak-anak pribumi yang berprestasi.

Kedua orang tuanya menginginkannya menjadi seorang dokter, sehingga W.Z Johannes menempuh pendidikan lanjutan ke Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) di Batavia. 

Di Stovia, ia menyelesaikan pendidikan dalam waktu 8 tahun dari 9 tahun yang ditentukan. 

Pada tahun 1920, setelah lulus dari Stovia, ia memperoleh gelar dokter dan mulai mengabdikan dirinya di dunia kedokteran.

Ia ditugaskan pertama kali di Bengkulu.

Kemudian menjalani berbagai penugasan di sejumlah kota di Sumatera Selatan, seperti Muara Aman, Kayu Agung, dan Palembang hingga tahun 1930 saat penyakit lumpuh kaki kanan memaksanya harus dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (dulu dikenal sebagai Centrale Burgelijke Ziekenhuis [CBZ]) di Batavia. 

Selama perawatan itu, ia mulai mengenal dan tertarik pada teknologi radiologi. 
Di CBZ Batavia, ia menjadi asisten Prof. B.J. Van der Plaats.

Dari Van der Plaats, W.Z. Johannes banyak belajar soal radiologi, meski dalam kondisi fisik yang terbatas. Pada tahun 1935, W.Z Johannes mendapat penugasan di Rumah Sakit Umum Pusat di Semarang sebagai asisten ahli di bidang radiologi. Rumah sakit tersebut kini dikenal sebagai Rumah Sakit dr. Karyadi. 

Kemudian pada 1936, ia dipindahkan kembali ke CBZ di Batavia sebagai kepala bagian radiologi, menjadikannya sebagai ahli radiologi pertama di Indonesia.

Pada 1949, ia diangkat menjadi guru besar pertama di Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia, yang kelak menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). 

Di tahun 1951, ia sudah menjadi Rektor Universitas Indonesia dan berperan dalam mengembangkan kampus yang terlantar akibat Perang Kemerdekaan.

W.Z. Johannes kemudian diberangkatkan ke Belanda pada tahun 1952 untuk mempelajari perkembangan ilmu radiologi dan manajemen rumah sakit di beberapa negara Eropa.

Namun, selama perjalanan tersebut, ia mengalami serangan jantung dan meninggal dunia pada 4 September 1952 di Belanda. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia kedokteran Indonesia. 

Namanya kemudian diabadikan sebagai nama ruang radiologi di Rumah Sakit dr. Karyadi, Semarang dan nama RSUD Kupang, NTT. 

Bercerita tentang pengalaman personal, menurut Marcelus Ungkang, penulis naskah dan sutradara pementasan, teater ini berusaha mengangkat kisah-kisah personal yang dialami hampir oleh semua orang.

"Teater ini bercerita tentang tentang dunia orang sakit dan keluarga yang mengurusi orang-orang sakit,"ungkap Marcellus. 

Adegan berlatar situasi harian di rumah sakit. Secara singkat, kemudian terjadi konflik antara orang sakit dan keluarga yang mengurusinya. Selain itu, terjadi juga konflik internal di dalam keluarga yang mengurusi orang sakit.

Salah seorang aktor pementasan, Elgi Ramut, yang berperan sebagai orang sakit mengungkapkan jika pengalaman sakit cukup sering dialaminya.

"Kalau sakit, saya sering tidak memikirkannya. Hal itu kadang membuat saya cepat sembuh,"ujarnya.

Aktor lain, Rini Temala, yang berperan sebagai keluarga dari orang sakit mengungkapkan peran yang diembannya pernah dialaminya dalam dunia nyata.

"Naskah menemukan aktornya sendiri. Naskah ini seperti menceritakan diri saya," ucapnya. 

Penonton yang hadir pada malam itu, juga tidak kalah terkesan dengan adegan demi adegan yang ditampilkan. Kisah-kisah dan dialog-dialog di atas panggung membawa makna yang mendalam. Beberapa peserta juga larut dalam emosi dan refleksinya sendiri.

Dian, siswi SMK St. Aloysius Ruteng, mengatakan, jika pementasan ini membuatnya teringat akan ayahnya. 

"Saya jadi terbawa kembali ke memori terberat dalam hidup bersama ayah saya di tahun 2018,"tuturnya. 

Ilan, penonton yang mewakili Forum Anak Kabupatan Manggarai (FAKAM), jadi teringat akan ibunya yang berprofesi sebagai perawat. 

"Saya sering mendengar cerita-cerita mama setiap pulang kerja, dan itu membuat saya merasa menjadi perawat tidak pernah mudah,"katanya.

Arsy Juwandy, penonton yang berasal dari Kisol, Manggarai Timur menyatakan jika kisah ini membuatnya teringat akan hidupnya sendiri. 

"Saya merawat om saya hampir sepanjang tahun 2018, dan hal itu menjadi pengalaman yang mungkin akan saya ingat seumur hidup,"ungkapnya. 

Kisah personal yang dipentaskan Teater Saja ini dipadu dengan penataan lampu, musik, desain panggung, soundsystem yang memadai, dan penggunaan multimedia yang lain. 

"Saya ingin agar orang datang untuk menonton diri mereka sendiri di atas panggung,” tutup Marcelus Ungkang

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved