Breaking News

Berita NTT

Profesor Intje Picauly Singgung Ekologi Pangan dan Gizi di Wilayah Lahan Kering Kepulauan

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Prof Dr. Intje Picauly, S.Pi.,M.Si dikukuhkan menjadi guru besar.

Penulis: Gordy | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM / GG
ORASI ILMIAH - Profesor Dr Intje Picauly S.Pi.,M.Si saat menyampaikan Orasi Ilmiah pada pengukuhan guru besar di Undana Kupang, NTT, Rabu 22 Januari 2025. 

TRIBUNFLORES.COM, KUPANG - Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Prof Dr. Intje Picauly, S.Pi.,M.Si dikukuhkan menjadi guru besar, Rabu 22 Januari 2025.

Diketahui, Prof Intje dikukuhkan bersama dua dosen lainnya yaitu, Prof. Ir. Marthen Robinson Pellokila,MP.,Ph.D dari Fakultas Pertanian dan Prof. Dr. Chaterina Agusta Paulus, S.Pi, M.Si, CRA, CRP, CRMP dari Fakultas Peternakan, Kelautan dan Perikanan.

Judul orasi ilmiah Prof Intje yaitu : Ekologi Pangan dan Gizi sebagai Aset Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia di Wilayah Lahan Kering Kepulauan.

Prof Intje menerangkan sampai saat ini, tidak ada batas yang jelas, mengenai permulaan ilmu ekologi dikenal, dan digunakan dalam kajian ilmiah. Namun sesungguhnya, pembahasan tentang ekologi, sudah ada sejak proses penciptaan bumi dengan segala isinya. Kemudian pada zaman Yunani kuno, prinsip-prinsip ekologi mulai ditelaah oleh Aristoteles, dan dipublikasi oleh muridnya Theophrastus. 

Baca juga: Profil Guru Besar Undana Kupang NTT, Prof Intje Picauly yang Dikukuhkan Bersama Suami Besok 

Dalam publikasi menjelaskan bahwa, ruang lingkup ekologi, membahas tentang hubungan timbal balik, antara semua organisme termasuk manusia dengan lingkungannya. Pada awal tahun 1866, Ernst Haeckel seorang ekolog menjelaskan ekologi lebih dari sebatas interaksi namun sampai ketahap pertanggungjawaban manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Berawal dari proses penciptaan, kajian akademik Aristoteles, Theophrastus dan Haeckel, kita dapat memaknai bahwa, daya dukung ekologi sangat tergantung pada kemampuan manusia dalam mengelola ekologi dimaksud.  Jika ekologi hidup dalam keseimbangan, pangan tercukupi, asupan gizi terpenuhi sesuai kebutuhan.
  
Ekologi dalam konteks orasi saat ini, tidak saja tergantung pada aspek pembenihan/pembibitan, budidaya, dan produksi pangan, melainkan lebih luas lagi, terkait cara bagaimana kita memberlakukan pangan tersebut, untuk memperoleh kebutuhan dan kecukupan gizi.  

Hal ini berarti bahwa, ekologi terbuka sebagai asset sekaligus ancaman untuk kita.  Hasil penelitian menyatakan bahwa, masalah gizi dan kesehatan adalah, akibat tidak memanfaatkan ekologi sebagai asset, namun secara sadar, kita membiarkan diri kita menjadi korban akibat ketidak seimbangan ekologi yang terbentuk.  

Ia menyebutkan beberapa contoh yang dapat kita simak bersama, antara lain Propinsi NTT sangat kaya dengan budaya. Namun, masih banyak budaya yang mewajibkan masyarakat kelompok berisiko seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan anak bayi/balita untuk memantangi makanan bergizi dengan beragam alasan atau pertimbangan. Selain itu, masyarakat masih sering melakukan kebiasaan pengolahan makanan yang berpengaruh terhadap kandungan gizi makanan.  

Prof. Ir. Marthen Robinson Pellokila,MP.,Ph.D bersama istri Prof Dr. Intje Picauly, Januari 2025.
Prof. Ir. Marthen Robinson Pellokila,MP.,Ph.D bersama istri Prof Dr. Intje Picauly, Januari 2025. (TRIBUNFLORES.COM / HO-INTJE)

Picauly dkk (1999) menyatakan bahwa makanan hasil laut dan sayuran yang diolah dengan panas tinggi secara terbuka banyak mengalami penurunan kandungan gizi vitamin B & C, iodium, zat besi, dan protein dibanding pengolahan secara tertutup.
  
Tanaman kelor atau pohon ajaib  merupakan salah satu daun yang sangat terkenal dan fenomenal di Indonesia dengan ketersediaannya di NTT cukup berlimpah.  

Hasil review pustaka diketahui bahwa kelor mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi termasuk protein. Karena berlimpah dan tinggi kandungan protein dan zat gizi lainnya maka masyarakat seringkali disarankan untuk  mengkonsumsi sayur kelor. 

"Pertanyaannya, apakah kualitas kandungan protein daun kelor sama atau lebih baik dari  protein nabati lainnya seperti tempe dan protein hewani seperti ikan, telur atau daging? jawabannya adalah tidak,"tegas Prof Intje.
 
Prof Intje menyebutjkan Direktorat Gizi Kemenkes RI (1979) dalam Hardinsyah dan Dodik Briawan (1994) menjelaskan bahwa tempe merupakan salah satu jenis pangan nabati yang mempunyai kualitas dan jumlah kandungan gizi protein, kalsium dan zat besi jauh lebih tinggi dari daun kelor dan hampir setara dengan ikan teri segar. 

Tempe dan Daun Kelor sama-sama bahan pangan nabati. Namun, kualitas protein tempe  3x jauh lebih baik dari daun kelor tetapi sedikit lebih rendah dari kualitas protein ikan teri (Direktorat Gizi Kemenkes RI, 1979). Hal ini berarti kualitas protein tempe dan ikan teri adalah hampir sama dan lebih baik dari kelor. Oleh karena itu, anak yang sering mengkonsumsi sayur kelor dan dalam jumlah yang banyak dalam menu makan tidak bisa mencapai standart tinggi anak normal (Stunting).  

Baca juga: Profil Marthen Robinson Pellokila Guru Besar Undana yang Dikukuhkan Hari Ini

Padahal Laut NTT mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk penyediaan protein hewani dari ikan dan dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah.

Ia menyatakan penjelasan ini diharapkan dapat memperjelas peryataan masyarakat bahwa selama ini sayur kelor selalu ada dalam menu makan anak, namun mengalami stunting. 

Dari sudut pandang ekologi pangan dan gizi dan dari podium ini ijinkan kami kembali menghimbau bapak dan ibu sekalian terutama dari pihak pemerintah yang sedang giat-giatnya berpikir dan bekerja untuk menanggulangi atau mencegah stunting agar dalam program makan bergisi gratis “jangan lupa berkiblat pada permenkes RI tahun 2019 tentang anjuran makan bergizi munurut ISI PIRINGKU”.  

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved