Berita NTT

Gelar Demo Tolak Relokasi, Begini Pernyataan Sikap Warga eks Timor Timur

Sejumlah warga yang tergabung dalam Aliansi Nasional untuk Demokrasi Baru (ANDB) menolak relokasi terhadap warga eks Timor Timur ke perumahan 2.100 di

Editor: Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI
DIALOG - Aliansi Nasional untuk Demokrasi Baru (ANDB) dari warga eks Timor Timur saat berdialog dengan perwakilan Pemerintah Provinsi NTT. Senin (16/6/2025) di Ruang Asisten I Pemerintah Provinsi NTT.   

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG  -Sejumlah warga yang tergabung dalam Aliansi Nasional untuk Demokrasi Baru (ANDB) menolak relokasi terhadap warga eks Timor Timur ke perumahan 2.100 di Desa Kiumase Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang. 

Adapun ADNB merupakan gabungan dari warga eks Timor Timur, AGRA NTT, FMN dan IKIF menggelar demonstrasi di depan Kantor Gubernur NTT, Senin (16/6/2025) dan melanjutkan ke Kejaksaan Tinggi NTT. 

Koordinator Umum ANDB, Henri menjelaskan proses relokasi paksa warga eks Timor Timur dari Naibonat ke Burung Unta di Desa Kuimase bukan sekadar soal pemindahan fisik. 

"Ia adalah bentuk baru dari pengusiran struktural oleh negara terhadap rakyatnya sendiri—sebuah praktik kekerasan birokratik yang melanggengkan pengabaian, perampasan, dan pemiskinan yang sistematis. Ini bukan kebijakan sosial, tetapi politik penyingkiran," ujarnya. 

Baca juga: Lagi-Lagi Kontraktor Serbu Kantor Bupati Ende NTT, Tagih Janji Pemerintah

 

 

Dia berkata, sejak tahun 1999, warga eks-Timor Timur telah membangun kehidupan di tanah re-settlement (pemukiman lain) yang dijanjikan negara sebagai bagian dari tanggung jawab atas sejarah politik yang memaksa mereka menjadi pengungsi. 

"Kini, setelah 27 tahun menetap, tanah itu diklaim sepihak oleh TNI dan pemerintah. Lebih parah lagi, mereka dipaksa pindah ke lokasi yang penuh masalah: perumahan Burung Unta," katanya. 

Henri berkata, relokasi itu sama dengan bagian dari penggusuran. Masyarakat diancam, diintimidasi, dan ditekan untuk meninggalkan tanah yang telah mereka huni dan rawat selama puluhan tahun. 

"Tidak ada proses konsultasi yang transparan, tidak ada jaminan keberlanjutan kehidupan, dan tidak ada kepastian hukum yang memihak rakyat. Semua dikemas dalam retorika program negara," sambung dia. 

Henri berujar, kepemilikan tanah di Naibonat sebetulnya sudah diakui petinggi militer bahwa itu merupakan milik Kementrian Keuangan. Klaim yang selama ini beredar bentuk penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan hukum yang serius.

"Perumahan Burung Unta yang dijadikan 'alternatif relokasi' adalah proyek gagal yang sarat korupsi. Temuan Kejaksaan Tinggi NTT membongkar skema besar manipulasi anggaran dan pelanggaran teknis," ujarnya. 

Baca juga: Ditjen Imigrasi Perbarui Aturan Visa Kunjungan untuk Calon TKA dalam Uji Coba

Henri menjelaskan, proyek itu menyebabkan  67 unit rumah roboh sebelum dihuni, keretakan tembok, plafon jebol, lantai rusak, hingga jalan aspal yang bergelombang, tanah abrasi dan tidak padat, menyebabkan bangunan ambruk dan pekerjaan sistem air dan pengaspalan belum selesai atau fiktif.

"Ini bukan sekadar proyek yang gagal secara teknis, tetapi perampokan uang rakyat oleh BUMN pelaksana, yaitu PT. Adhikarya, PT. Abipraya, dan PT. Nindya Karya. Fakta ini semakin memperjelas bahwa relokasi bukan solusi, tetapi jebakan sistematis untuk membungkam rakyat dan memperkaya elite," ujarnya. 

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved