Opini
Peran Kearifan Lokal dalam Rancangan Kebijakan Pariwisata Sebagai Penguat Ekonomi Daerah
Kebijakan yang lahir dari aspirasi dan partisipasi masyarakat lokal akan menghasilkan produk pariwisata yang kuat identitasnya, berdaya saing tinggi.
Oleh: Yosefina Daku, SH.,MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Nipa
TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE- Terbentuknya masyarakat Indonesia sejak awalnya adalah bersamaan dengan adanya kearifan lokal. Para ahli menyoroti bahwa pengenalan kearifan lokal dari generasi ke generasi memiliki peran penting dalam membentuk identitas sosial, memelihara keseimbangan ekologis, dan menjadi solusi adaptif terhadap tantangan lingkungan dan sosial.
Di mana keberadaan kearifan lokal (local wisdom) merupakan pengetahuan, kepandaian, kecerdikan, dan kebijaksanaan, yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat yang terhimpun dari pengalaman panjang secara berkesinambungan, yang dipergunakan untuk menanggulangi suatu masalah.
Grenier mengatakan bahwa istilah kearifan lokal merupakan padanan dari indigenous knowledge yang dalam studi Antropologi merupakan padanan dari local knowledge, yakni pengetahuan lokal yang unik yang bersumber dari kebudayaan masyarakat. Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya (Gelgel, 2021).
Baca juga: Teater Setali Cahaya di Maumere: Hantu Kapitalisme dan Ancaman Pantai yang Direnggut Pariwisata
Dalam kehidupan sehari-hari kearifan lokal dapat dilihat prakteknya melalui bentuk-bentuk sebagai berikut (Gelgel, 2021):
1. Kontrol sosial atau pengendalian sosial
2. Jaringan sosial yakni jaringan kekeluargaan yang berdampak pada pemusatan kekuasaan
3. Kualifikasi dan kuantifikasi atas kualitas dan jumlah daripada kekayaan sumber daya alam atau kebudayaan material, misalnya bagaimana konsep suatu komunitas kebudayaan atas pengelompokan tumbuhan, binatang, hutan, tanah, air, musim, termasuk metode lokal untuk menghitung jumlah barang.
4. Sistem pengajaran yakni metode masyarakat lokal untuk menyebar luaskan pengetahuan melalui inovasi dan divisi yang berbasis kebudayaan.
5. Sistem penggembalaan dalam bidang peternakan, misalnya mengatur tugas dan fungsi gembala.
6. Sistem pertanian, yakni mengatur bagaimana sebuah komunitas mengelola sistem pertanian, monokultur, intensifikasi, difersikasi, dan lain-lain.
7. Hutan dan perkebunan, pengelolaan hutan, tumbuh-tumbuhan, perkebunan, serta bagaimana pengetahuan lokal tentang hubungan manusia dengan hutan, tanaman (pangan, hortikultura, perkebunan,dll).
8. Pengelolaan air tradisional yang mampu mngelola sumber dan aliran air teknik-teknik tradisional di bidang irigasi, konservasi air, dll.
9. Bagimana manusia memenfaatkan tanah, penguasaan, perlindungan atas tanah, memanfaatkan tumbuhan sebagai makanan ternak, penggunaaan untuk parfum, sabun, obat-obatan, kehidupan dan perkembangan, termasuk prilaku binatang.
10. Pandangan dunia yakni pandangan menyeluruh dari satu komunitas tentang hakekat kemanusiaan, hubungan manusia dengan alam, mitos, kepercayaan dan adat istiadat.
Baca juga: Festival Uwi Kaju 2025, Merawat Tradisi, Menumbuhkan Harapan dari Ubi Kayu Ende
Ada dua faktor yang dinilai dapat memengaruhi perubahan nilai sosialkultural, yakni faktor eksternal, karena adanya pengaruh globalisasi, deideologisasi politik, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, neokapitalisme dan neoliberalisme yang makin memacu gaya hidup pragmatis, konsumtif, dan individual. Serta faktor internal dimana nilai-nilai tradisi dan nilai- nilai lokal (termasuk di dalamnya kearifan lokal) mulai luntur yang mungkin juga dapat terjadi karena faktor eksternal (Abd. Choliq, 2020).
Kearifan lokal mengacu pada pengetahuan, kebijaksanaan, dan kecerdasan yang berakar kuat dalam suatu komunitas atau budaya tertentu. Di era modern, sangat penting untuk menemukan cara untuk mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal di tengah-tengah arus globalisasi dan homogenisasi budaya yang cepat (Handayani dkk., 2018).
Globalisasi dan arus informasi yang deras seringkali mengancam keberlangsungan nilai-nilai tradisional dan praktik-praktik unik yang diwariskan turun-temurun. Pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal adalah salah satu strategi efektif untuk memberi nilai ekonomis pada tradisi, memperkenalkan kekayaan budaya ini kepada dunia sehingga kearifan lokal tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga aset berharga yang relevan dan berkelanjutan di masa depan.
Pengetahuan asli adalah pengetahuan komprehensif yang menggabungkan teknologi dan praktik-praktik yang telah digunakan oleh masyarakat adat untuk kelangsungan hidup mereka, bertahan hidup, dan beradaptasi dalam perubahan lingkungan (Kasanda dkk., 2005; Onwu & Mosimege, 2004). Battiste (2002, h. 2) menekankan sifat holistik dari pengetahuan asli dan mengusulkan bahwa pengetahuan asli harus berisi serangkaian teknologi kompleks yang ditingkatkan dan dipertahankan oleh masyarakat adat.
Ogawa (1995) mendefinisikan pengetahuan asli sebagai "persepsi intelektual kolektif yang bergantung pada budaya tentang realitas" di mana kolektif berarti dimiliki dalam bentuk yang cukup mirip oleh orang-orang untuk menyediakan komunikasi yang efektif, tetapi tidak bergantung pada pikiran tertentu. Semua orang yang terlibat dalam pengetahuan lokal dari tingkat sedang hingga tinggi dalam suatu komunitas adalah ahli. Mereka adalah aktor dari pengetahuan mereka.
Pengetahuan masyarakat adat dimanifestasikan dalam praktik-praktik dan dikomunikasikan secara lisan, dan terkadang melalui penyalinan, ilustrasi, lukisan, dan artefak lainnya (Zinyeka et al., 2016). Pola pengetahuan adat seperti pemikiran kolektif suatu tempat atau wilayah berdasarkan fenomena alam yang menggabungkan integrasi pemikiran manusia dan non-manusia, seperti pengetahuan ilmiah yang berakar pada budaya lokal (Alessa et al., 2016). Pengetahuan adat berkaitan dengan warisan kognitif dan kearifan masyarakat sebagai konsekuensi dari interaksi mereka dengan alam di wilayah yang sama (Hart, 2010).
Peran Kearifan Lokal Dalam Rancangan Kebijakan di Bidang Pariwisata
Pengembangan pariwisata yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menekankan dalam Pasal 5 bahwa penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan prinsip:
a. Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;
b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
c. Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas
d. Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
e. Memberdayakan masyarakat setempat;
f. Menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan;
g. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan
h. Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kearifan lokal tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang kuno dan tidak sejalan dengan perkembangan zaman, namun terdapat beberapa alasan pentingnya kearifan lokal dalam,dapat dikatakan, era disrupsi teknologi seperti saat ini.
Pertama, kearifan lokal dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan krisis pangan.
Kedua, kearifan lokal juga dapat menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran bagi generasi muda. Ketiga, kearifan lokal juga dapat memperkuat identitas budaya dan komunitas lokal (Irwan Abdullah, 2024).
Pengelolaan pariwisata dilaksanakan dengan menjunjung tinggi kearifan lokal yang menjadi identitas bahwa masyarakat sebelumnya. Kearifan lokal merupakan pengetahuan, nilai, dan praktik yang berkembang dalam suatu masyarakat dan diwariskan berkelanjutan dari generasi ke generasi di mana masyarakatnya belajar untuk bekerjasama dalam kekeluargaan dan mencintai alam melalui upacara adat dan ritual, sistem kekerabatan dan hal lain yang bersifat tradisional.
Melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan juga dapat dilihat sebagai proses pemberdayaan (Community Empowerment). Ini bukan hanya tentang memberi suara, tetapi juga tentang meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengidentifikasi masalah mereka sendiri, merumuskan solusi, dan berpartisipasi dalam implementasinya.
Dalam konteks kearifan lokal, pemberdayaan melalui kebijakan berarti memberikan pengakuan, perlindungan, dan dukungan bagi masyarakat untuk mengelola dan melestarikan warisan mereka. Hal ini mendorong kemandirian, inovasi lokal, dan pengembangan berkelanjutan yang sejalan dengan nilai-nilai komunitas. Peran aktif masyarakat dalam penyusunan kebijakan daerah, khususnya terkait kearifan lokal, adalah fondasi untuk menciptakan hukum yang relevan, legitimatif, dan berkelanjutan.
Dari penelitian Asnita Ode Samili dkk dapat dirumuskan bahwa keterlibatan kearifan lokal dari masyarakat yang menghidupi nilai-nilai tersebut, membawa pengaruh terhadap pariwisata seperti semangat gotong-royong masyarakat untuk memberikan good service kepada wisatawan serta tersedianya forum pertemuan untuk berdiskusi dan menyalurkan aspirasi.
Namun, hal ini juga memiliki tantangan dimana pengelolaan pariwisata dapat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan aksesibilitas yang belum memedai serta masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal (Asnita Ode Samili, 2023). Tanpa keterlibatan masyarakat, potensi konflik kepentingan dapat muncul, di mana masyarakat merasa terpinggirkan dari manfaat ekonomi atau merasa budayanya dieksploitasi.
Wisatawan masa kini semakin mencari pengalaman yang mendalam dan bermakna, bukan sekadar kunjungan biasa. Pengalaman otentik ini hanya bisa ditawarkan jika kearifan lokal dikelola dan dipertahankan dengan baik oleh pemilik aslinya. Kebijakan yang lahir dari aspirasi dan partisipasi masyarakat lokal akan menghasilkan produk pariwisata yang kuat identitasnya, berdaya saing tinggi, serta mampu memberikan dampak positif jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat dan pelestarian warisan budaya mereka.
Dasar pertimbangan dimasukannya kearifan lokal ke dalam rancangan kebijakan di bidang pariwisata, bahwa:
a. Secara filosofis, pengaturan kepariwisataan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dikaitkan dengan isi Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
b. Secara yuridis, merujuk pada Pasal 30 UU No.10/2009, menyebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota memiliki wewenang mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya. Pengelolaan kepariwisataan diselenggarakan melalui suatu kebijakan daerah hendaknya berprinsip menjunjung tinggi kearifan lokal.
c. Secara sosiologis, pada hakekatnya setiap daerah memiliki warisan nilai-nilai kearifan lokal yang memiliki kaitan dengan pengaturan kepariwisataan.
Pariwisata Sebagai Penguatan Ekonomi Daerah
Kearifan lokal menjadi suatu ciri khas masing-masing daerah yang berpotensi untuk mendukung pengembangan suatu daerah. Pariwisata memiliki peran yang besar dalam pembangunan karena dampak yang diberikannya terhadap kehidupan perekonomian sehingga sektor pariwisata sampai saat ini masih menjadi penghasil devisa yang handal untuk membangun perekonomian suatu wilayah.
Kehadiran wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, secara langsung maupun tidak langsung akan menggerakkan berbagai sektor ekonomi lainnya. Mulai dari akomodasi, kuliner, transportasi, hingga kerajinan tangan lokal, semuanya merasakan dampak positif dari aktivitas pariwisata. Dana yang dibelanjakan wisatawan tidak hanya masuk ke kantong penyedia jasa, tetapi juga berputar dalam perekonomian lokal, menciptakan efek berganda yang signifikan dan membantu mengentaskan kemiskinan di daerah tujuan wisata.
Tujuan penyelenggaraan kepariwisataan harus sejalan dengan amanah Pasal 4 UU No.10/2009 yaitu bahwa kepariwisataan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran.
Artinya bahwa pengelolaan pariwisata tidak hanya sekadar peningkatan pendapatan, tapi lebih dari itu bahwa pengembangan pariwisata juga berimplikasi pada penciptaan lapangan kerja. Dari pemandu wisata, staf hotel, juru masak, hingga pedagang cenderamata, banyak penduduk lokal yang mendapatkan mata pencarian baru. Ini tidak hanya mengurangi angka pengangguran tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pendapatan yang stabil.
Selain itu, investasi dalam infrastruktur pariwisata seperti jalan, bandara, atau pelabuhan juga akan memfasilitasi aktivitas ekonomi secara lebih luas, bukan hanya untuk sektor pariwisata tetapi juga untuk perdagangan dan industri lainnya, sehingga semakin mengukuhkan fondasi ekonomi daerah. Dengan partisipasi aktif, manfaat ekonomi dari pariwisata dapat terdistribusi lebih merata, sehingga mencegah kesenjangan sosial dan ekonomi yang dapat merusak tatanan komunitas.
Namun, potensi besar ini perlu dikelola dengan bijak. Keberlanjutan adalah kunci agar pariwisata dapat terus menjadi penggerak ekonomi jangka panjang. Eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan atau budaya lokal demi keuntungan sesaat justru akan merusak daya tarik pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang berimbang antara pengembangan pariwisata dengan pelestarian alam dan budaya.
Pelibatan masyarakat lokal dalam setiap tahap pengembangan juga esensial, memastikan bahwa mereka tidak hanya menjadi penonton tetapi juga merasakan langsung manfaat ekonomi dan memiliki rasa kepemilikan terhadap pariwisata di daerahnya. Salah satu contoh dari pendekatan partisipatif dalam pengembangan pariwisata adalah Community Based Tourism (CBT), yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam pengembangan dan manajemen pariwisata yang mana hal ini sesuai dengan pandangan Häusler yang menyoroti peran penduduk lokal dalam mengembangkan pedesaan wisata yang mengutamakan kearifan lokal (Lao, Kabu, & Nazarudin, 2024).
Dengan demikian, pariwisata bukanlah sekadar kegiatan rekreasi, melainkan sebuah instrumen strategis untuk penguatan ekonomi daerah. Melalui pengelolaan yang berkelanjutan, inovasi dalam penawaran wisata, dan dukungan penuh dari pemerintah serta masyarakat, sektor pariwisata mampu menjadi lokomotif pembangunan yang kuat, menciptakan kesejahteraan, dan memperkokoh kemandirian ekonomi daerah secara menyeluruh.
Berita TribunFlores.Com Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.