Berita Sikka
Sanggar Bliran Sina: Warisan Budaya dari Watublapi untuk Dunia
Semua aktivitas dalam Sanggar Bliran Sina wajib melibatkan anak kecil dan remaja supaya mereka sadar kalau apa yang ada di
Sanggar Bliran Sina, secara performatif, berhasil mematahkan kepercayaan kolonial bahwa pengetahuan berasal dari Barat atau bersifat Eropa-sentris. Pengetahuan juga berasal dari Timur, dan kemudian menyebar ke Barat. Sejarah, pengetahuan, dan tradisi yang ada di Watublapi juga mampu menjelaskan nilai-nilai universal, terutama tentang gaya hidup selaras alam, kolektivisme dan keugaharian.
Di ujung pertemuan, sebelum kembali ke Maumere dan bertolak ke kota tujuan selanjutnya, para wisatawan yang sudah menelusuri jejak peradaban di Watublapi mulai membeli kain tenun dan suvenir khas yang tersedia di ruang galeri Bliran Sina. Transaksi jual beli dilakukan langsung dengan para penenun. Para wisawatan meninggalkan Sanggar Bliran Sina dengan kekaguman.
Sangar budaya Bliran Sina adalah ‘kebun’ kedua bagi para penenun, tempat di mana karya tangan yang sudah disemai di rumah bisa ‘dipanen’ dan dijual untuk siapa saja yang tertarik. Selain hidup dari tanaman-tanaman komoditi dari kebun di belakang rumah, para penenun juga menjadikan sanggar sebagai wadah untuk bisa menghasilkan uang dan menghidupi keluarga, yang tentu sejalan dengan misi dari mendiang Romanus Rego, pendiri Bliran Sina.
Apa yang membuat Bliran Sina berbeda? Rahasianya tentu kualitas. Ya, mereka menawarkan kualitas.
Bliran Sina sangat ketat mengkurasi kain-kain tenun yang bisa dipamerkan untuk para tamu. Syarat mutlaknya; kain harus ditenun dengan pewarna dari alam. Misalnya, warna hitam atau biru dari tumbuhan nila (tarum), warna merah dari kulit akar mengkudu, warna cokelat dari kulit pohon mahoni, warna kuning dari kunyit dan kulit kayu pohon nangka dan mangga, warna hijau dari daun nila dan daun mangga. Ini dilakukan untuk menjaga kelestarian tenun yang bersejarah dan kualitas kain dari Watublapi yang melegenda. Selain itu, penggunaan warna alami memungkinkan mereka tetap menjaga tumbuh-tumbuhan ini tetap lestari di belakang rumah mereka. Kebiasaan ini membuat para penenun tetap terkoneksi dengan alam; menjaga dan merawatnya sebagai Ibu yang memberi kehidupan.
Keindahan motif kain-kain yang dipamerkan di Sanggar Bliran Sina tak lepas dari kerja keras, komitmen dan kesetiaan para penenun dalam menjaga tradisi ini secara turun temurun. Menenun bukanlah aktivitas sekali jadi dalam waktu satu-dua hari. Butuh waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk menghasilkan sehelai kain tenun. Prosesnya butuh ketekunan, dan tentu pengetahuan yang mendalam. Selama bertahun-tahun, kemampuan menenun, yang merupakan sisa dari jejak kebudayaan Austronesia ini, diwariskan secara turun temurun sampai sekarang.
Tenun memiliki makna penting bagi masyarakat setempat, terutama perempuan. Menenun bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi juga merupakan identitas, penanda kedewasaan, dan sarana ekspresi kreativitas. Setiap motif tenun memiliki makna simbolik yang berkaitan dengan energi, spirit, dan daya hidup yang menggerakkan masyarakat setiap hari. Kain tenun punya nilai dalam upacara kematian dan dalam ritual pernikahan—sebagai bagian dari belis atau mas kawin. Tenun juga selalu dipakai dalam ritus-ritus adat yang digelar di kampung. Oleh karena itu, terdapat cerita di balik setiap helai kain yang dihasilkan. Ada narasi di baliknya yang membuat kain tenun bernilai bagi masyarakat setempat.
1. Pupu/Huwe Kapa (Petik Kapas)
Biasanya pohon kapas ditanam di kebun atau di pekarangan rumah. Pohon ini menghasilkan buah selama satu musim saja, yaitu di musim kemarau. Jika sudah tidak berbuah lagi, pohon itu akan kering dan mati. Para penenun akan mengeluarkan kapas putih dari kelopak atau cangkangnya.
2. Wori Kapa (Jemur kapas)
Kapas putih yang masih banyak bijinya tadi dijemur di bawah sinar matahari. Jika kapas sudah kering dan ringan, maka akan dilanjutkan dengan mengeluarkan biji kapas.
3. Ngeung Kapa (Memisahkan serat kapas dari bijinya)
Untuk memisahkan biji dari kapas dipakai alat tradisional yang bernama ngeung. Pekerjaan ini membutuhkan kesabaran dan ketenangan.
4. Weting Kapa (Menghaluskan kapas)
Serat kapas yang sudah dipisahkan dari bijinya tidak serta merta sudah bersih. Masih ada kotoran yang menempel. Untuk itu, kapas dijemur dan dibentangkan lagi di atas tikar lalu dipukul-pukul dengan kayu supaya seratnya menjadi halus dan kotorannya mudah dibersihkan.
Sanggar Bliran Sina Watublapi
Sanggar Budaya Bliran Sina
Sanggar Budaya Bliran Sina Watublapi
TribunFlores.com
Peletakan Batu Pertama Jalan Yos Sudarso, Perkuat Akses Vital ke Pelabuhan Tenau Kupang |
![]() |
---|
Diinterogasi Polisi Soal Kasus Penipuan, Oknum Pengacara di Flores Timur Akui Terima Uang |
![]() |
---|
Sudah 6 Warga Manggarai Tewas Karena Lakalantas Tahun 2025, Polisi Minta Warga Tertib Lalu Lintas |
![]() |
---|
Jurnalis Televisi di Belu Bagikan Bendera Merah Putih untuk Warga Perbatasan RI-Timor Leste |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.