Berita Lembata

Refleksi Kemerdekaan Nimo Tafa Institut: Jebakan Modernisasi dan Perlunya Pembangunan Alternatif

Unsur yang paling mencolok setelah kemerdekaan bangsa ini adalah komitmen untuk mengisi kemerdekaan.

Editor: Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM/HO-SOMAN LABAONA
NIMO TAFA-Kelas Demokrasi Nimo Tafa Institut yang digelar di Aula Dekenat Lembata, Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata, Senin, 18 Agustus 2025. Kelas ini dihadiri oleh perwakilan komunitas, aktivis, penggiat pemilu, jurnalis, hingga tokoh perempuan. 

TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA-Unsur yang paling mencolok setelah kemerdekaan bangsa ini adalah komitmen untuk mengisi kemerdekaan. Apa yang dibuat setelah Indonesia merdeka? Salah satu term yang sering muncul berkaitan dengan cara untuk mengisi kemerdekaan adalah pembangunan. 

Di Indonesia, sejarah pembangunan setelah kemerdekaan merujuk langsung pada komitmen atau obsesi melangsungkan modernisasi. Masalahnya, modernisasi (kemajuan) diartikan secara sempit hanya sebagai pengantar ke dalam teknologi modern.

Dalam Kelas Demokrasi Nimo Tafa Institut di Aula Dekenat Lewoleba, Kabupaten Lembata, Eman Krova mengulas dengan sangat baik isu penting ini; mendedah kembali catatan-catatan kritisnya mengenai upaya modernisasi berkedok pembangunan yang justru membawa masyarakat pada pelbagai krisis yang tidak main-main.

Hasil dari pembangunan—yang dianggap semata peralihan menuju teknologi modern, kata Eman, ialah terciptanya dualitas matriks sosio-ekonomis-kultural, di mana yang ‘modern’ dan yang lebih kuat menguasai yang lain dalam hal sumber daya alam, finansial dan edukatif dan yang ‘tradisional’ menjadi semakin terdepak ke pinggiran.

 

Baca juga: Kelas Demokrasi Nimo Tafa Institute: Sebuah Upaya Mengaktifkan Rasionalitas Publik di Lembata

 

 

 

“Pembangunan dalam sebuah masyarakat dualistis yang bergantung pada strategi modernisasi, perlahan lahan merampas sumber sumber kelangsungan hidup dari mayoritas rakyat atas nama kesejahteraan umum,” papar Eman dalam forum yang bertajuk, “Bincang Kemerdekaan: Pengetahuan Lokal dan Cetusan Ekspresi Kemerdekaan,” tersebut, Senin 18 Agustus 2025.

Peneliti sosial, budaya dan politik Nimo Tafa Institut ini lebih jauh mengungkapkan, pembangunan dalam sebuah masyarakat dualistis yang bergantung pada strategi modernisasi, perlahan-lahan merampas sumber sumber kelangsungan hidup dari mayoritas rakyat atas nama kesejahteraan umum.

“Ada kecenderungan pendapat rakyat sudah diabaikan sejak dari proses perencanaan yang diserahkan sepenuhnya pada tangan parah ahli dan birokrat maupun NGO/LSM,” kritiknya.

Dampaknya adalah rusaknya basis-basis sumber daya, baik sistem sistem pengetahuan maupun sumber sumber daya alam yang telah tumbuh ribuan tahun. 

Oleh karena itu, menemukan strategi pembangunan alternatif menjadi mendesak. Di sini, Eman Krova menukil pemikiran dari ekofeminis terkemuka, Vandana Shifa, yang mengajarkan, “harus ada ruang ‘penilaian langsung’ dari masyarakat. Harus ada pelibatan atau riset yang partisipatif, berbasis pengetahuan lokal/rakyat. 

Alasannya, pertama; bahwa kalaupun kita menganggap bahwa rakyat bodoh, mereka tetap mengetahui lebih baik daripada para pakar dan merekalah yang mengetahui dengan tepat kesulitan yang menghimpit mereka. 

Kedua; bahwa rakyat ternyata tidak sebodoh yang dianggap para pakar, sekurang kurangnya dalam hal yang terkait secara langsung dengan kegiatan mereka. 
Maka, harus ada ruang penilaian dari masyarakat atau yang disebut JJ. Salomon sebagai ‘keahlian tandingan.’

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved