Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Irfan Hoi
TRIBUNFLORES.COM, KUPANG-Peran keluarga membantu kesembuhan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menjadi sangat penting. Kendala yang dialami petugas kesehatan karena ada stigma masyarakat. Banyak orang menilai mendatangi klinik kejiwaan merupakan kategori gila.
"Untuk melihat ini kita harus melihat pasien secara holistik. Dalam penanggulangan gangguan jiwa, diagnosis yakni dengan wawancara secara menyeluruh kepada pasien maupun keluarganya. Jadi dengan ini maka kita akan dapatkan gejala atau tanda, baru kita rencanakan pengobatan," ujar Penanggung jawab Klinik Utama Jiwa Dewanta Mental Healthcare atau DMH, dr. D.A.P. Shinta Widari, Sp.KJ.,MARS, Kamis 19 Januari 2023.
Menurut Shinta, merencanakan pengobatan tidak terpaku dengan obat yang dikonsumsi. Sisi lain yang mesti ada konseling kepada pasien maupun keluarga, sehingga keterlibatan keluarga akan sangat penting.
"Tidak ada artinya kalau kita hanya menangani pasien saja. Karena pasien jiwa itu selain kita terapi dengan obat-obatan, di rumahnya yang notabene dengan keluarga, harus mendapat situasi yang lebih nyaman dan aman dan tentunya dukungan," jelas dia.
Baca juga: Kronologi Pemuda di NTT Ludahi Polisi yang Sedang Atur Lalu Lintas
Dukungan keluarga itu menurut dia akan sangat berdampak. Ia bermaksud dukungan itu bisa memberi ruang bagi pemenuhan keinginan sesuai minat dari pasien seperti memasak ataupun menanam. Ia mengaku banyak pasiennya sering dihambat beraktivitas.
Keluarga beralasan kalau pasiennya itu dalam keadaan sakit. Padahal keluarga bisa membantu rehabilitasi dengan memberi ia aktivitas sesuai kesukaan. Kalau di kliniknya, ia mempersiapkan ruang melukis atau bermain alat musik ataupun menyanyi.
Ia mengatakan upaya itu semata ingin agar pasien itu mendapat kesempatan yang sama, dalam kondisi pemulihan. Dokter Shinta berujar banyak orang juga masih alergi datang ke psikiater atau klinik kejiwaan. Akhirnya banyak sekali pasien masih 'banyak' ditengah masyarakat.
"Bukan hanya HIV Aids yang seperti fenim gunung es, gangguan jiwa juga seperti itu. Yang datang ke permukaan itu baru presentasinya sangat sedikit," sebut dia.
Baca juga: Bulog NTT Siapkan 5.000 Ton Beras Medium untuk Stabilisasi Harga Pangan
Sebelum pandemi Covid-19, sebut dia, pihaknya sering turun ke lapangan melihat secara langsung pasien. Kerja sama dilakukan dengan Dinas Kesehatan menyasar hingga ke sekolah-sekolah guna melakukan screening maupun edukasi.
Waktu itu pihaknya sempat menemukan satu kasus di Kota Kupang yang mana pasien dipasung selama 25 tahun. Pasien itu ditempatkan dalam ruang tertutup dan keluarga sangat tidak berdaya, meski keinginan kuat keluarga agar pasien itu sembuh.
Alasan keuangan menjadi tantangan paling besar saat itu. Dokter Shinta kemudian membawa pasien ke kliniknya dan merawat pasien tersebut. Lebih dari satu tahun dirawat kini pasien itu telah sembuh, minimal kini pasien sudah bisa melayani dirinya sendiri bahkan bisa membantu keluarganya.
Shinta mengingin agar pasien semacam ini bisa ada keterbukaan dari keluarga agar melakukan penyembuhan. Peran penting keluaraga dan medis menjadi fondasi kuat menyembuhkan pasien dengan gangguan jiwa ini.
Baca juga: Polisi Amankan 6 Orang Imigran Asal India di Rote Ndao NTT
"Kadang dukungan keluarga setengah-setengah," ucap dia.
Sisi lain, kendala yang dialaminya adalah jarak pasien dengan fasilitas kesehatan seperti kliniknya. Apalagi NTT memiliki daerah kepulauan yang membutuhkan waktu dan biaya besar. Disamping itu dokter spesialis yang menangani kejiwaan juga masih minim. Hal ini jelas menjadi tantangan besar.
Di Kota Kupang khususnya, menurut Shinta, penanganan orang dengan gangguan jiwa dilakukan secara standar seperti diagnosa lalu pengobatan hingga edukasi. Ia juga membentuk kelompok dengan keluarga pasien untuk melakukan evaluasi rutin hampir tiap bulan.
Baginya akan sangat penting bilamana kolaborasi dari keluarga dan para medis untuk mengejar satu biar yakni kesembuhan pasien gangguan kejiwaan.
Di Klinik Utama Jiwa Dewanta Mental Healthcare, ujar dia, ada dua dokter psikiater, dua orang dokter umum, lima orang perawat, dua orang tenaga administrasi, dua orang pada bagian keuangan, satu orang apoteker, dan asisten apoteker tiga orang, gizi dan rekam medis masing-masing satu orang.
Baca juga: Perihal Bantuan Ternak Babi, Kepala BPTU-HPT Denpasar: Ternak itu Murni dari NTT dan Bersertifikat
Selanjutnya, laboratorium satu orang, cleaning servis dan satpam masing-masing dua orang. Untuk psikolog, menurut dia sejauh ini belum ada. Pihaknya kesulitan mendapat SDM berupa psikolog klinis yang sudah bisa praktek. Ia berharap agar beberapa waktu kedapan tenaga psikolog bisa diperoleh sehingga ruang lingkup layanan bisa diperluas.
Dia berpesan agar tidak menganggap remeh tentang gangguan jiwa. Tidak boleh melihat gangguan jiwa itu sebagai orang gila sehingga enggan datang ke psikiater. Mendatangi psikiater ataupun klinik kejiwaan merupakan upaya mencegah gangguan jiwa yang lebih parah.
Shinta juga mengaku di klinik yang ia pimpin dalam sehari lebih dari dua orang datang untuk melakukan konsultasi ataupun berobat tentang kejiwaan. Selain itu, pihaknya juga rutin melakukan pemantauan ke pasien yang sudah mulai membaik dan berada di rumah. *
Berita TRIBUNFLORES.COM lainnya di Google News