TRIBUNFLORES.COM,ENDE-Terletak di kaki Gunung Kelimutu yang terkenal dengan Danau Tri Warna, Desa Waturaka di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi NTT akan selalu dilintasi oleh siapapun yang hendak menyaksikan panorama danau di puncak Gunung Kelimutu.
Dibelah ruas jalan hotmix, Waturaka menjadi gerbang dari pertigaan Jalan Trans Flores dari Ende ke Maumere, Kabupaten Sikka sejauh 50an Km menuju Danau Kelimutu. Sawah bertingkat didominasi tanaman padi sawah dan holikultura melengkapi keindahan wilayah Waturaka yang menempel di ‘dinding’ Gunung Kelimutu berketinggian 1.639 meter.
Berbatasan di sebelah utara dengan Taman Nasional Kelimutu di selatan dengan Desa Koanara, sebelah barat dengan Desa Woloara dan di bagian timur dengan Desa Nuamuri Barat. Dari gerbang plang bertuliskan Danau Kelimutu sejauh 3 Km dan masih 9 Km lagi untuk sampai di puncak danau.
Dihuni 685 jiwa dari 182 kepala keluarga mendiami wilayah seluas 75 ribu meter persegi, wilayah Waturaka mencakup tiga dusun. Dusun Raterengga, Dusun Nua Guta dan Dusun Liro punya potensi dominan pertanian. Lahan sawah betingkat menjadi ciri khas desa ini.
Baca juga: PT Pelindo Bangun 36 Lapak Pedagang Asongan di Pelabuhan Ende dan Ippi
Beberapa tahun silam, para warganya menanami padi sawah dua kali setahun di keseluruhan lahan seluas 40 ha. Tapi, beberapa tahun belakangan, sebagian petani sudah beralih menanami tanaman holtikultura. Bahkan sekitar 8 Ha beralih fungsi menjadi lahan holtikultura ditanami berbagai jenis sayuran, cabe, tomat juga strawery tumbuh subur.
Menjadi wilayah peyangga destinasi wisata alam Danau Kelimutu, warga Desa Waturaka turut menikamati lembaran rupiah dari wisatawan asing dan domestik yang datang menyaksikan keindahan danau yang pertama kali ditemukan warga berkebangsaan Belanda, Van SuchTelen pada tahun 1915.
Kepala Desa Waturaka,Yoseph Alexander Wawo tak menampik masyarakat di wilayahnya menjadi penikmati pariwisata Danau Kelimutu. Mengusung pariwisata berbasis rakyat melalui satu pintu oleh kelompok sadar wisata (pokdarwis), kehidupan warganya juga turut berubah.
Paket pariwisata yang tak dimiliki oleh semua tempat di berbagai daerah disesuaikan dengan keseharian warganya. Air terjun, agrowisata, uap panas dan permandian air panas.
Baca juga: Pesona Tebing Tiwu Kea, Tempat Wisata yang Instagramable dan Aesthetic di Kabupaten Ende
“Semuanya jadi satu paket wisata yang disesuaikan dengan musimnya. Kalau wisatawan datang pada musim pengolahan lahan, maka dia akan ikut mengolah lahan, musim tanam dan musim panen. Kemudian proses pengolahan tanaman pangan untuk dikonsumsi wisatawan di home stay milik warga ditempatinya,” kata Yoseph kepada TribunFlores.com, Rabu siang 25 Januari 2023 di Kantor Desa Waturaka.
Bila siang hari wisatawan berpeluh keringat mengikuti keseharinan warga di sawah, malam hari menikmati dinginya udara kawasan Kelimutu dan sajian sangar seni di kampung.Musik dan tarian tradisional seperti ‘melegakan’ setelah seharian beraktivitas. Salah satunya,Sato, biola tradisional memiliki sebuah dawai yang bisa didengarkan berbagai nada.
Menyediakan 15 home stay dari keseluruhan 22 home stay, Waturaka tampil beda dengan desa tetangga Koanara yang punya puluhan penginapan, restoran dan café untuk menjamu kunjungan wisatawan menikmati keunikan Danau Kelimutu dan panorama alamnya.
Yoseph membeberkan selama tahun 2016-2019 atau sebelum pandemi virus Corona (Covid-19), Waturaka dikunjungi 945 wisatawan asing dan domestik dari berbagai grup. Ini jumlah yang tercatat di desa, meski Yoseph perkirakan jumlah itu lebih dari 1.000 orang karena pemilik homestay menerima juga wisatawan secara inidvidu.
Baca juga: Jasa Raharja Ende Jamin Korban Penumpang KLM Tiana Live Board Labuan Bajo
Rata-rata menginap sekitar dua malam dalam sekali kunjungan dengan tarif Rp 150.000 perorang permalam, wisatawan yang datang ke Waturaka selalu memberi kesan positif. Menikmati keindahahan Kelimuu menjadi tujuan utama, tapi jaminan paket wisata berbasis warga Waturaka membuat wisatawan ingin tinggal lebih lama. Bahkan ada wisawatan yang menghabiskan waktu hingga seminggu.
Penerimaan apa adanya turut memengaruhi wisatawan lebih betah dan berlama-lama di Waturaka.Tak hanya keindahan yang didapat wisatawan dibawa pulang tapi menyelami keseharian warga, makan dan minum bersama dari bahan pangan yang dipanen di sawah dan ladang. Keseharian yang tidak ditemukan dan dirasakan di daerah asal wisawatan.
“Mereka mendapatkan hal-hal unik yang tidak ada di daerahnya. Ini yang membuat terkesan dan punya respon posiitif. Pariwisata kini mulai bangkit lagi setelah pandemi Covid-19,” harap Yoseph.