Meski mendapat penolakan, Nuri tidak putus asa. Dirinya tetap mengajak beberapa orang untuk menanam sorgum.
"Mereka bilang, mereka mau tanam tapi kupas dimana, mereka tidak mau tumbuk, jadi saya bilang baik, tumbuk itu gampang yang penting kamu tanam dulu, nah karena benih sorgum di Nangapanda ini nyaris tidak ada, saya datangkan dari Larantuka, kebetulan ada teman jadi saya minta mereka punya benih terus saya bagi ke mama-mama PKH di Kerirea, Ondorea Barat dan beberapa desa," tutur Nuri.
Akhirnya, Nuri berhasil mengajak 11 orang dari 46 orang di kelompok ibu-ibu di Desa Ondorea Barat yang dibagikan benih sorgum dari Larantuka untuk ditanam di kebun masing-masing secara tumpang sari karena awal mula hanya sebatas uji coba.
Karena sebatas uji coba, setiap orang hanya mendapat satu genggam benih sorgum. Meski hasil panen sorgum tersebut bagus, namun masyarakat enggan mengkonsumsi, mereka hanya mau menjual hasil panen sorgum tersebut.
Dari 11 orang yang menanam sorgum, hanya enam orang yang berhasil memanen sorgum dengan hasil produksi bervariasi mulai 5 kg sampai 200 kg gabah sorgum.
Baca juga: Diduga Cabuli Anak Kandung, Seorang Ayah di Maumere NTT Terancam 15 Tahun Penjara
Dari hasil panen sorgum itu, mereka mencoba mengolah menjadi makanan dan alhasil diterima oleh anggota keluarga masing-masing karena rasanya enak.
"Kalau di Kerirea itu karena daerah dingin jadi kualitasnya kurang baik jadi saya sarankan untuk hanya untuk makan, saya bilang sorgum ini dulu kita anggap sebagai makanan orang miskin tapi sekarang yang makan sorgum itu orang kaya dan harganya mahal, suatu saat kamu butuh sorgum ini dan kamu tidak bisa beli jadi kamu harus tanam karena kita punya tanah dan punya stok pangan sendiri, untungnya direspon baik oleh pemerintah desa dan masyarakat disana," jelas Nuri penuh semangat.
Sementara itu, keinginan sekelompok ibu-ibu di Desa Ondorea Barat yang berhasil memanen sorgum kemudian ingin menjual hasil panennya selain untuk dikonsumsi.
Sebagai inisiator, Nuri tentu bertanggung jawab atas keinginan kelompok ibu-ibu dengan berusaha mencari pasar dan tempat penggilingan gabah sorgum.
Awalnya, dirinya kebingungan mau diolah jadi apa bahan mentah sorgum tersebut. Namun dengan tekad yang kuat, tanggung jawab sebagai inisiator, mimpi besarnya serta inovasi yang ada dalam dirinya, Nuri membeli sorgum hasil panen ibu-ibu di Desa Ondorea Barat.
Awalnya, untuk menggiling gabah sorgum, Nuri harus berjuang menuju Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, karena semua tempat penggilingan padi di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende tidak mau menerima penggilingan sorgum.
"Akhirnya setelah dikupas, saya mulai berpikir, kalau dijual dalam bentuk beras, siapa mau makan, saya coba bawa masuk ke rumah saja bapak saya tidak mau terima, akhirnya saya mulai berpikir untuk sorgum ini berubah bentuk dan siap saji jadi tidak perlu repot masak," terang Nuril.
Sorgum yang sudah digiling kemudian dimasak, kemudian dihaluskan hingga akhirnya jadilah bubur instan berbahan dasar sorgum yang awalnya belum bermerek.
Baca juga: Berkah Petani Lembata, Panen Sorgum di Tengah Ancaman Kekeringan dan Gagal Panen
Karena Nuri sadar bubur instan berbahan dasar sorgum bagus untuk pencernaan, dirinya mulai menjual ke masyarakat dengan awalnya hanya menggunakan kemasan sederhana yakni plastik kresek secara door to door atau dari rumah ke rumah.
"Awalnya itu saya jual pakai plastik kresek, diukur pakai gelas dari rumah ke rumah keliling di Nangapanda ini, akhirnya mereka terima dan beli lalu, waktu itu belum ada nama saya hanya bilang ini sorgum," kenang Nuril.