Berita Flores Timur
ITS Surabaya Dorong Hilirisasi Industri Hijau Kelapa dan Mete di Flores Timur NTT
Datang jauh dari Kota Surabaya, Jawa Timur, Institut Teknologi Sepuluh (ITS) Nopember berupaya mendorong hilirasi industri hijau untuk petani.
Penulis: Paul Kabelen | Editor: Hilarius Ninu
"ITS bekerjasama dengan Kementrans berupaya mengoptimalkan potensi komoditas lokal, dan meningkatkan kesejahteraan petani di kawasan transmigrasi," katanya, Jumat, 3 Oktober 2025.
Deti menuturkan, FGD ini menekankan terkait tantangan hilirisasi yang dihadapi para petani, terutama fluktuasi harga komoditas kelapa dan mete, serta dominasi tengkulak melalui sistem ijon yang merugikan petani dan nelayan.
"Salah satu isu utama yang diangkat adalah kecenderungan petani menjual hasil panennya dalam bentuk gelondongan (bahan mentah) ke pengepul besar, dari pada mengolah menjadi produk bernilai tambah," katanya.
Masalanya, berkaca dari Flores Timur, petani membutuhkan uang tunai cepat. Selain hal itu, kurangnya pengetahuan hingga sumber daya untuk melakukan hilirisasi.
Di UPT Tanameang, Desa Adabang, potensi mete dan kelapa cukup bagus, namun petani sering menjualnya dalam bentuk mentah. Tak hanya di tempat itu. Sejujurnya, petani Flores Timur, bahkan NTT umumnya, juga demikian.
"Kami berharap ada ilmu dan teknologi yang bisa diterapkan untuk mengolahnya menjadi produk bernilai tambah seperti VCO, sehingga pendapatan masyarakat bisa meningkat dan menggerakan industri-industri rumahan di kawasan transmigrasi adabang," ujar Kepala Desa Adabang, Damianus Adam Wada.
Kepala bidang (Kabid) Perindustrian pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Flores Timur, Yoseph Arnoldus Pati Hurint, mengaku hilirisasi sudah dilakukan selama sejak lama, tetapi terdapat beberapa tantangan yang menjadikan hilirisasi produk hijau di Kawasan Larantuka masih belum mencapai target yang ditentukan.
"Membangun industri itu tidak mudah,butuh keberlanjutan, mulai dari pendampingan hingga pemasaran. Salah satu kendala utama yang kami hadapi itu keterbatasan anggaran," kata Arnoldus.
Selaim itu, penentuan Harga Pokok Produksi (HPP) yang menjadi dasar dalam menentukan harga jual komoditas unggulan masih belum dipublikasikan secara real time mengingat kondisi geografis Flores Timur yang berbentuk kepulauan.
"Jika HPP terlalu tinggi, harga jual bisa menjadi tidak kompetitif, sehingga berdampak kepada keuntungan petani," katanya.
FGD juga mengidentifikasi beberapa solusi strategis diantaranya penguatan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), wadah yang menampung hasil panen.
Masih dalam identifikasi, dari total 229 desa di Flores Timur, baru 59 BUMDes yang aktif yang menunjukkan adanya peluang besar untuk pengembangan.
Selain itu, pemanfaatan program tol laut Pemerintah Pusat juga dianggap menjadi solusi untuk menekan biaya distribusi dan memperluas jangkauan pasar.
Hasil FGD menyimpulkan bahwa diperlukan adanya praktek nyata serta transformasi teknologi untuk membangun ekosistem industri yang berkelanjutan.
Public-private partneship harus segara digalakkan untuk segera melaksanakan "Lompatan Jauh", sesuai dengan tagline Bupati dan Wakil Bupati. (cbl)
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Gunung Lewotobi 88 Kali Gempa Letusan 85 Kali Gempa Hembusan |
![]() |
---|
Status Waspada, Gunung Iya Ende 5 Kali Gempa Vulkanik Dalam 1 Kali Gempa Tektonik Lokal |
![]() |
---|
Gunung Lewotobi 1 Kali Gempa Guguran 1 Kali Gempa Hembusan 6 Jam Terakhir |
![]() |
---|
Polisi Lacak Pelaku Penikaman Penjual Semangka di Kupang, Kapolsek: Residivis Inisial BA |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.