Opini Mahasiswa Pascasarjana
BELAJAR DENGAN AI: INOVASI CERDAS ATAU ANCAMAN MORAL ?
Jika ditelisik lebih jauh, persoalan utama bukan sekadar pada penggunaan AI, melainkan pada dampak moral yang ditimbulkannya. Dari sisi psikologi
Theodosia Yosephina Palma, Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Magister Sains Psikologi
Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang
Email:agustatheodosia@gmail.com
Era Baru Pendidikan
Artificial Intelligence (AI) kini menjadi bagian dari denyut kehidupan sehari-hari. Hampir semua aspek tersentuh teknologi ini: mulai dari belanja, transportasi, kesehatan, hingga pendidikan. Dalam ruang kelas modern, AI hadir dengan janji besar: menghadirkan pembelajaran yang lebih personal, efisien, dan cepat beradaptasi dengan kebutuhan siswa.
Fitur seperti simulasi interaktif, chatbot pembelajaran, hingga game edukasi membantu siswa memahami materi dengan cara yang lebih menyenangkan. AI juga membantu guru menganalisis hasil ujian, menyusun soal, bahkan menyiapkan rencana pembelajaran hanya dalam hitungan menit. Singkatnya, AI bisa menjadi rekan cerdas dalam proses belajar. Namun, di balik manfaat itu muncul pertanyaan: apakah semua benar-benar berjalan sesuai harapan? Ataukah ada sisi gelap yang justru luput dari perhatian kita?
Antara Manfaat dan Penyalahgunaan
Di lapangan, kenyataannya tidak selalu seindah promosi teknologi. Guru memang terbantu dalam mencari materi ajar atau inspirasi soal, tetapi sebagian siswa justru memanfaatkan AI untuk jalan pintas. Tugas dikerjakan secara instan, jawaban disalin bulat-bulat, dan nilai yang muncul sekadar angka di rapor, bukan cermin pemahaman.
Baca juga: Tingkatkan Literasi, Mahasiswa KKN Unika Ruteng Dampingi Siswa SMA St Maria Iteng Menulis Opini
Fenomena ini bukan hanya cerita lokal. Di Amerika Serikat, seorang mahasiswi Northeastern University, Ella Stapleton, menuntut kampusnya setelah mengetahui dosennya menggunakan ChatGPT untuk membuat materi, sementara mahasiswa dilarang memakai AI di kelas yang sama. Ia menyebut peristiwa itu sebagai bentuk “kemunafikan institusional” yang meruntuhkan kredibilitas pendidikan tinggi.
Di Indonesia, penelitian Ibnu Ikshan dkk. (2025) menunjukkan bahwa mayoritas siswa SMP Negeri 8 Palangka Raya memanfaatkan AI untuk menyelesaikan tugas hanya dengan menyalin dari internet, tanpa memeriksa kredibilitas sumber. Dua kasus berbeda ini menyiratkan satu hal yang sama: baik pendidik maupun peserta didik masih belum sepenuhnya bijak dalam memanfaatkan teknologi pintar.
Ancaman Moral yang Mengintai
Jika ditelisik lebih jauh, persoalan utama bukan sekadar pada penggunaan AI, melainkan pada dampak moral yang ditimbulkannya. Dari sisi psikologi pendidikan, ketergantungan berlebihan pada AI menimbulkan tiga risiko serius.
Pertama, kemalasan intelektual. Siswa terbiasa mencari jawaban instan tanpa berusaha memahami atau berpikir kritis. Proses belajar yang seharusnya melatih nalar justru dipotong habis oleh satu klik.
Kedua, hilangnya nilai kejujuran. Ketika tugas dikerjakan mesin, bukan hasil jerih payah sendiri, integritas pribadi mulai tergerus. Apa artinya nilai tinggi jika bukan cerminan kemampuan sejati?
Ketiga, tergerusnya karakter belajar. Sikap tekun, ulet, dan tanggung jawab yang menjadi fondasi kesuksesan pelan-pelan terkikis. Padahal, pendidikan tidak hanya soal angka, tetapi juga soal membentuk manusia yang berkarakter.
Lebih jauh lagi, jika guru hanya dilihat sebatas “penyedia materi” yang kalah canggih dari mesin, maka fungsi luhur pendidik sebagai pembimbing moral terancam tergeser. Pertanyaannya, siapa yang akan melatih daya juang, empati, etika, dan moral siswa bila semuanya digantikan algoritma?
Menempatkan AI pada Porsinya
Di sinilah pentingnya kesadaran bersama. AI hanyalah alat, bukan pengganti nilai-nilai manusiawi. Ia tidak tahu mana yang benar atau salah, baik atau buruk. Mesin pintar bisa memproses data, tetapi tidak bisa menanamkan budi pekerti. Maka, tanggung jawab tetap ada di tangan manusia—guru, siswa, dan orang tua.
Ada beberapa langkah penting yang bisa ditempuh. Pertama, mengajarkan literasi digital sejak dini. Siswa perlu dibiasakan menilai kredibilitas sumber, mengolah informasi, dan tidak hanya menyalin mentah-mentah.
Kedua, menekankan proses, bukan sekadar hasil. Guru perlu memberi ruang bagi siswa untuk berdiskusi, berargumentasi, dan melakukan eksplorasi. Tugas tidak hanya dinilai dari jawaban akhir, tetapi juga dari cara berpikir dan langkah yang ditempuh.
Ketiga, menyusun kebijakan yang jelas. Pemerintah bersama lembaga pendidikan harus merumuskan aturan penggunaan AI, bukan untuk melarang sepenuhnya, melainkan untuk mengarahkan agar penggunaannya mendukung proses belajar tanpa merusak integritas akademik.
Cerdas Teknologi, Cerdas Moral
Teknologi seperti AI tidak bisa dihentikan, sama seperti matahari yang pasti terbit setiap pagi. Yang bisa kita lakukan hanyalah bersiap hidup berdampingan dengannya secara bijaksana. Belajar dengan bantuan AI bisa menjadi inovasi cerdas yang mempercepat kemajuan pendidikan, jika digunakan pada porsinya. Namun jika salah arah, AI justru berubah menjadi ancaman moral yang meruntuhkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan karakter.
Pendidikan sejati bukan hanya melahirkan generasi yang pintar secara intelektual, tetapi juga yang kuat secara moral dan utuh sebagai manusia. Mari bersama-sama mewujudkan generasi yang cakap memanfaatkan teknologi, tetapi tetap berpijak pada nilai kejujuran, kerja keras, dan kemanusiaan. Karena pada akhirnya, bukan AI yang menentukan arah peradaban, melainkan kita sendiri—manusia yang memilih apakah teknologi akan menjadi sahabat cerdas atau musuh diam-diam bagi masa depan kita.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/flores/foto/bank/originals/THEODOSIA.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.