TERAS dari Seminari San Dominggo

Melukis Dunia yang Terlupakan: Sebuah Sisipan untuk Lakon ‘Melukis Dunia’ karya TERAS

Melukis Dunia bukan hanya cerita. Ia adalah jeritan lembut, tentang harapan yang ingin kembali. Tentang remaja

Editor: Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM / HO-FR Elmich SVD
FOTO - Sesi Latihan persiapan Pentas Teater Melukis Dunia yang akan ditampilkan pada 19 September 2025 malam di Taman Kota Felix Fernandez larantuka. Digagas oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Flores Timur. 

Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge dari Bengkel Teater Atma Reksa Ende (AREK)

TRIBUNFLORES.COM, LARANTUKA - Di tengah riuh teknologi, di antara gelombang digital yang tak henti, teater Melukis Dunia hadir. Karya TERAS dari Seminari San Dominggo, dipentaskan oleh SMAS San Dominggo Hokeng, di Festival Seni Remaja, Taman Kota Felix Fernandez, Larantuka. Ia bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah cermin. Cermin yang retak, memantulkan wajah remaja hari ini. 

Anton berdiri di tengah panggung. Remaja yang tumbuh tanpa pelukan ibu. Yang hidup dalam bayang dingin sang ayah. Ia mencari suara, di tengah sunyi yang panjang.

Teater ini bersuara. Tentang luka yang tak terlihat. Tentang jiwa muda yang kehilangan arah. Tentang spiritualitas yang nyaris tenggelam di lautan notifikasi dan layar biru.

Melukis Dunia bukan hanya cerita. Ia adalah jeritan lembut, tentang harapan yang ingin kembali. Tentang remaja yang ingin dikenal, didengar dan diselamatkan.

 

Baca juga: Sabtu Besok, Nara Teater Pentaskan Ibu Tanah di Taman Kota Lewoleba Lembata

 

 

Anton bukan sekadar karakter fiktif. Ia adalah representasi dari ribuan remaja yang tumbuh dalam kekosongan emosional, kehilangan figur kasih sayang dan akhirnya mencari pelarian dalam dunia maya. 

Dalam perspektif sosiologi agama, keluarga adalah institusi primer dalam pewarisan nilai-nilai transenden. Ketika fungsi ini melemah, remaja seperti Anton menjadi rentan terhadap alienasi spiritual. Terputus dari makna, komunitas, dan arah hidup yang lebih dalam.

Teater ini juga menyuguhkan kritik sosial yang tajam melalui adegan pertemuan antara sekelompok remaja dan sosok “orang tidak waras.” Ironisnya, justru tokoh yang dianggap gila itu memiliki kesadaran akan kemanusiaannya, sementara para remaja larut dalam pencarian followers, game online dan judi digital. 

Ini adalah potret sekularisasi yang merembes ke dalam jiwa muda: ketika nilai-nilai religius dan etis tergantikan oleh popularitas dan kenikmatan instan.

Namun, “Melukis Dunia” tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan harapan. Di akhir cerita, Anton dan teman-temannya mengalami titik balik. Mereka menyadari bahwa pelarian mereka ke dunia maya telah merugikan masa depan mereka. 

Kesadaran ini menjadi momen spiritual: titik di mana nilai-nilai dasar keluarga, pendidikan karakter, dan harapan bangsa kembali menemukan tempatnya.

Dalam konteks Indonesia yang plural dan religius, teater ini menjadi seruan untuk membangun kembali fondasi spiritual dalam keluarga dan masyarakat. Remaja bukan hanya pelukis dunia dalam arti teknologis, tetapi juga pelukis nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved