Guru Aniaya Siswa SD di TTS
Tangis di Rumah Rafi, Bocah 10 Tahun Meninggal Akibat Dianiaya Guru SD Inpres One di TTS NTT
Sebelumnya, Rafi memilih diam dan tidak memberitahukan kepada siapa pun tentang kejadian yang menimpanya.
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Kristoforus Bota
TRIBUNFLORES.COM, BETUN - Suasana duka menyelimuti rumah sederhana milik keluarga Rafi To (10) di Desa Poli, Kecamatan Santian, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Bocah Sekolah Dasar (SD) Inpres One itu meninggal dunia secara tragis setelah diduga mengalami penganiayaan oleh guru penjaskesnya sendiri, Yafet Nokas, pada Jumat siang, 26 September 2025, saat apel pulang sekolah.
Peristiwa itu baru diketahui keluarga pada Senin, 29 September 2025, setelah Rafi mengeluh sakit kepala hebat dan demam tinggi.
Sebelumnya, Rafi memilih diam dan tidak memberitahukan kepada siapa pun tentang kejadian yang menimpanya.
Ia tinggal bersama bainya (kakek) Marten Toh, neneknya Termutis Tahun, serta mama besarnya, Sarlisa Toh. Orang tuanya telah berpisah sejak Rafi masih kecil, dan ibunya kini merantau di Surabaya.
Baca juga: Tak Ikut Gladi Upacara, Siswa SD Dipukul Guru hingga Tewas di TTS NTT
Saat diwawancarai POS-KUPANG.COM, Mama besar Rafi, Sarlisa Toh, menceritakan secara rinci awal mula mereka mengetahui bahwa ponakannya menjadi korban kekerasan di sekolah.
“Kami baru tahu hari Seninnya, waktu Rafi minta saya urut kepalanya karena panas tinggi dan sakit sekali. Saat saya pijit bagian depan dan belakang kepalanya, dia langsung teriak kesakitan. Di situ saya mulai curiga dan tanya kenapa sakit, baru dia ceritakan semuanya,” ungkap Sarlisa dengan suara parau menahan tangis, Rabu (15/10/2025).
Rafi mengaku kepada mama besarnya bahwa ia dipukul oleh guru penjaskes menggunakan batu sebanyak empat kali di bagian depan dan belakang kepala.
Alasannya, karena Rafi dan sembilan temannya tidak ikut dalam latihan upacara bendera dan sekolah minggu.
“Saya sempat tanya, kenapa pakai batu, bukan rotan? Rafi bilang, waktu itu tidak ada kayu, jadi guru langsung ambil batu dan pukul mereka. Saya hanya bisa terdiam waktu dengar itu,” tutur Sarlisa.
Usai menceritakan kejadian itu, kondisi Rafi makin memburuk. Ia mulai mengeluhkan rasa sakit di kepala dan demam tinggi. Keluarga sempat mengira hanya bengkak biasa sehingga tidak segera membawanya ke fasilitas kesehatan.
“Kami pikir cuma benjol biasa. Tapi hari Selasa sore dia mulai aneh, tidak suka cahaya, tidak mau ribut, bahkan minta lampu dimatikan supaya bisa tidur,” jelas Sarlisa.
Pada Rabu pagi, 1 Oktober 2025, keluarga memutuskan membawa Rafi ke Puskesmas menggunakan sepeda motor.
Namun di tengah perjalanan, di daerah Naifatu, Rafi tiba-tiba melompat turun dan menolak melanjutkan perjalanan.
“Saya rayu dia supaya tahan sedikit lagi, tapi dia bilang sudah tidak kuat dan mau tidur saja. Kami lalu berhenti di rumah warga untuk istirahat. Malam itu kami menginap di sana karena tidak ada mobil ke puskesmas, dan dari puskesmas juga bilang ambulans sedang dipakai pelayanan lain,” kenang Sarlisa.
Keesokan paginya, Kamis 2 Oktober 2025, mereka berjalan kaki pulang ke rumah sejauh sekitar satu kilometer. Dalam perjalanan pulang, Rafi tampak tenang, namun setibanya di rumah, ia kembali mengeluh sakit hebat di kepala dan mulai berteriak-teriak ketakutan.
“Dia sempat bilang takut, terus teriak kesakitan. Kami tidak tahu harus buat apa lagi. Tidak lama kemudian, sekitar pukul enam sore, dia mengembuskan napas terakhirnya,” tutur Sarlisa lirih.
Rafi merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Sehari-hari, ia dikenal sebagai anak pendiam dan penurut.
Rumah tempat ia tinggal bersama bainya adalah bangunan sederhana dari bebak dan papan, dengan sebagian dinding bawah disemen permanen.
Atap seng yang sudah berkarat tampak menambah kesan rumah lama dan sederhana itu.
Di depan rumah terdapat teras kecil dengan tiang-tiang kayu penyangga. Tanah di sekitar halaman tampak kering dan berdebu, khas wilayah pedesaan di musim panas.
Beberapa tanaman hias tertata di depan rumah, memberi sedikit warna di tengah suasana duka mendalam yang menyelimuti keluarga.
Kini, rumah itu menjadi saksi bisu kehilangan besar bagi keluarga Toh. Raut wajah nenek dan kakek Rafi juga masih menunjukan ekspresi duka mereka mengenang cucu kesayangan yang telah pergi untuk selamanya akibat tindakan yang tidak manusiawi.
Keluarga mengaku sangat menyesal tidak segera membawa Rafi ke rumah sakit.
“Kami tidak sangka lukanya seberat itu. Kami cuma pikir nanti juga sembuh sendiri. Tapi Tuhan berkehendak lain,” ujar Sarlisa.
Keluarga kini hanya berharap agar kasus itu bisa diusut tuntas oleh pihak berwenang, dan pelaku mendapat hukuman setimpal.
“Kami tidak mau ada anak lain yang alami hal sama. Cukup sudah Rafi. Kami cuma minta keadilan untuk dia,” tegas Sarlisa.
Kasus dugaan penganiayaan yang berujung kematian terhadap Rafi To kini menjadi perhatian luas masyarakat Timor Tengah Selatan. Banyak pihak mengecam keras tindakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah sebagau tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman bagi peserta didik untuk tumbuh dan belajar. (ito).
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google New
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/flores/foto/bank/originals/KORBAN-PENGANIAYAAN-Keluarga-korban-penganiayaan-hingga-meninggal.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.