Berita Lembata

Denda Adat 3 Ekor Babi Jika Langgar Muro, Ikhtiar Jaga Alam di Tapobaran Lembata

Jika ada yang melanggar muro maka akan mendapatkan Denda Adat berupa 3 Ekor Babi. Muro merupakan Ikhtiar Jaga Alam di Tapobaran Lembata NTT.

Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM / RICKO WAWO
RITUAL MURO - Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid, turut menyaksikan langsung proses pemasangan balela (batas) Muro bersama masyarakat desa Tapobaran di Teluk Nuhanera, Minggu, 27 Maret 2022 silam. 

“Kita lakukan ini dalam rangka memuji kebesaran Tuhan. Kita nikmati alam dan seisinya tapi bukan untuk kita kuasai. Kita harus lestarikan ini untuk generasi masa depan dan anak cucu kita,” tandasnya.

Sekretaris Dinas Perikanan Lembata Lambertus Lengari mengenang kembali masa kecilnya tinggal di Lewoleba. Dia berkisah saat itu, Teluk Lewoleba kaya akan hasil laut yang luar biasa. Bahkan, kala itu, dia menjadi saksi mata ikan duyung atau dugong sering berkeliaran di Teluk Lewoleba dan ditangkap warga.

Menurut dia, biota laut di Teluk Lewoleba sudah berkurang drastis akibat perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Terumbu karang rusak dan lamun lenyap.

Muro, kata dia, merupakan salah satu kearifan lokal warisan leluhur yan sebenarnya punya spirit melestarikan alam. Maka, dia sangat mendukung kearifan lokal itu diperkuat dalam bentuk peraturan desa (perdes).

Apa itu Muro?

Muro dipahami secara harafiah sebagai pembagian suatu kawasan yang dilakukan secara adat atau penutupan suatu kawasan dengan ritual adat. Muro sudah dikenal sejak dulu kala di wilayah pesisir Kabupaten Lembata. Masyarakat adat akan menggelar ritual di tengah kampung, kemudian dengan perahu memasang balela (batas) pada areal laut yang akan ditutup selama waktu tertentu dari aktivitas apa pun.

Masyarakat mengenal pembagian tiga zonasi Muro yakni zona pertama disebut Tahi Tubere (Jiwa Laut) yang merupakan zona inti sebagai tempat ikan bermain dan berkembangbiak. Zona ini sama sekali dijauhkan dari aktivias manusia dalam bentuk apa pun.

Zona kedua disebut Ikan Berewae (Ikan Perempuan) yang dianggap sebagai zona penyangga. Perempuan dan anak-anak diprioritaskan menangkap ikan di wilayah ini tapi hanya boleh dengan alat tangkap pancing tradisional, bukan dengan pukat.

Zona ketiga disebut Ikan Ribu Ratu atau ikan untuk umum sebagai zona pemanfaatan. Lokasi ini dibuka dan ditutup untuk umum sesuai kesepakatan. Bisa setahun sekali atau tiga sampai lima kali setahun. Pada saat kawasan ini dibuka, masyarakat akan beramai-ramai turun ke laut menangkap ikan yang ada di sekitar pesisir.

Dahulu kala, praktik pembukaan kawasan Ikan Ribu Ratu sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan masyarakat pesisir dan masyarakat di pegunungan.

Masyarakat dari gunung akan diundang untuk menangkap ikan di pantai. Sebaliknya mereka akan membawa hasil kebun seperti jagung, beras dan kacang-kacangan untuk diberikan kepada saudara-saudari mereka yang bermukim di pesisir.

Ketiga zonasi di laut ini diawasi langsung oleh kelompok masyarakat adat yang disebut Kapitan Sari Lewa. Mereka adalah suku-suku tertentu dalam kampung yang memang secara turun temurun bertugas sekaligus punya wewenang menjaga dan mengawasi wilayah laut. LSM Barakat kemudian memperkuat Kapitan Sari Lewa dengan pelatihan, advokasi dan sejumlah fasilitas pendukung untuk melaksanakan tugas pengawasan tersebut.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved