Berita NTT

Pemulangan PMI asal NTT Bukan Kesuksesan Tetapi Malapetaka

Kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang menimpa Pekerja Migran Indonesia asal Provinsi Nusa Tenggara Timur sudah masuk kategori darurat.

|
Penulis: Berto Kalu | Editor: Egy Moa
POS-KUPANG.COM/BERTO KALU
Komisioner Komnas HAM Putu Elvina di Labuan Bajo, Kamis 27 Juni 2024. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Berto Kalu

POS-KUPANG.COM,LABUAN BAJO- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan masalah tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masuk kategori darurat. Banyaknya pemulangan tenag kerja bukan karena kesuksesan tetapi malapetaka.

"Permasalahan TPPO di NTT kategori darurat, NTT sebagai daerah pengirim itu memang melihat makin rentannya masyarakat jadi korban, dan mayoritas PMI pergi bekerja melalui jalur non prosedural," ujar Komisioner Komnas HAM Putu Elvina di Labuan Bajo, Kamis 27 Juni 2024.

Banyaknya PMI asal NTT yang berangkat secara non prosedural, kata Putu, menggambarkan lemahnya upaya pencegahan secara administratif. 

Data BP2MI NTT mencatat 120 PMI asal NTT dipulangkan kembali dalam kondisi meninggal dunia di tahun 2022. Sementara hingga 25 Mei 2024, sudah 54 jenazah dipulangkan melalui Bandara El Tari Kupang.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Kasus TPPO di NTT Masuk Kategori Darurat

 

"Banyaknya pemulangan bukan karena kesuksesan tetapi malapetaka. Ini mengindikasikan upaya perlindungan baik dari asal daerah sampai tempat tujuan bekerja, ternyata regulasi yang mendukung perlindungan PMI baik resmi maupun non prosedural bermasalah," ungkap Putu. 

Faktor Kemiskinan

Putu menyampaikan, masalah TPPO di NTT tidak terlepas dari tingkat kemiskinan dan rendahnya pendidikan masyarakat di daerah itu. Selama ini pola migrasi di NTT tidak bersifat langsung, tetapi melalui wilayah transit, seperti Batam, Entikong, Nunukan, Medan, Jakarta, Natuna, dan Surabaya.

"Akibat kemiskinan dan rendah pendidikan, ini menjadi hal yang validasinya kuat. Rata-rata PMI NTT yang pergi bekerja di luar negeri itu pasti bicara tentang kelangkaan ruang atau lapangan kerja di daerah asal. 

"Mereka berada dalam kondisi kemiskinan yang terus menerus hingga kemudian kalau berbicara soal HAM mereka berada dalam kondisi tidak layak sebagai manusia. Sehingga upaya yang mereka lakukan adalah bagaimana iming-iming bekerja di luar negeri adalah hal yang fantastis buat mereka untuk sekedar menyambung hidup," ungkapnya.

Baca juga: NTT Tertinggi Kasus TTPO, Pemprov dan Pemerintah Kabupaten Belum Mampu Sediakan Lapangan Kerja

Pemerintah Provinsi NTT, kata Putu, memiliki regulasi pencegahan dan penanganan TPPO melalui Perda Nomor 7 Tahun 2016 serta peraturan pembentukan satgas. Hanya saja kerja-kerja satgas itu menurutunya belum maksimal, kasus TPPO di NTT terus meningkat setiap tahun. 

"Apa yang sudah dilakukan tidak menunjukkan implementasi yang membahagiakan. Ini dibuktikan dengan angka masyarakat NTT yang memilih bekerja ke luar NTT melalui jalur non prosedural semakin tinggi," katanya. 

Lebih lanjut dikatakan, dari aspek pencegahan belum ada koordinasi intensif antar OPD yang menjadi penanggung jawab gugus tugas. Putu tak yakin satgas yang sudah dibentuk rutin melakukan pertemuan membicarakan upaya pencegahan dan penanganan TPPO di NTT

"Kebanyakan gugus tugas yang kami tahu rapat-rapat evaluasi paling banyak dilakukan setahun sekali, itupun kalau ada."

"Pada saat rapat koordinasi bukan membicarakan peluang tantangan atau solusi, tapi hanya membicarakan mendata apa yang sudah dilakukan masing-masing dinas tanpa upaya evaluasi apakah perannya optimal atau tidak. Ini yang perlu dilihat kembali," tandasnya. *

Berita TRIBUNFLORES.COM lainnya di Google News

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved