Gunung Lewotobi Meletus

Kisah Bripka Vinsen Bersama Istri dan Anak Bantu Korban Erupsi Gunung Lewotobi di Flores Timur 

Bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Kabupaten Flores Timur yang menelan puluhan korban jiwa dan ribuan warga mulai dari lansia, orang dewasa.

Penulis: Albert Aquinaldo | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM/HO-VINSEN
SALURKAN BANTUAN - Bripka Vinsensius M. Nurak, anggota Intelmob Kompi 1 Batalyon B Pelopor Maumere, Satuan Brimob Polda NTT dan Maria Sherly Hilene, S.Pd, M.Tesol, guru Bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka saat menyalurkan bantuan di beberapa kamp pengungsian mandiri. 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Albert Aquinaldo

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Kabupaten Flores Timur yang menelan puluhan korban jiwa dan ribuan warga mulai dari lansia, orang dewasa hingga ibu hamil yang memaksa mereka harus tinggal di kamp pengungsian menimbulkan rasa empati dari berbagai kalangan. 

Pemerintah dari berbagai daerah khususnya di NTT bersama komunitas masyarakat, lembaga serta NGO bahkan masyarakat secara perseorangan bergotong royong membantu meringakan beban mereka yang terpaksa tinggal di kamp pengungsian baik kamp pengungsian yang difasilitasi pemerintah maupun kamp pengungsian mandiri yang berada di rumah-rumah warga yang dianggap lebih aman. 

Bahkan, ada sebagian besar korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki yang harus mengungsi hingga ke beberapa wilayah Kabupaten Sikka. 

Baca juga: Gunung Iya Ende Status Siaga, Ada Peningkatan Tekanan, Waspadai Ancaman Erupsi dan Tsunami

 

Mirisnya kondisi para pengungsi korban "amukan" Gunung Lewotobi Laki-Laki menggugah pasangan suami istri, Bripka Vinsensius M. Nurak, anggota Intelmob Kompi 1 Batalyon B Pelopor Maumere, Satuan Brimob Polda NTT dan Maria Sherly Hilene, S.Pd, M.Tesol, guru Bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka untuk ikut membantu meringakan beban para pengungsi dengan merogoh kocek pribadi. 

Menariknya, Bripka Vinsen dan Maria Sherly mengajak sang buah hati, Santisima untuk ikut bergerak menyalurkan bantuan bagi para korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. 

"Ada yang di Koting, Gere, di posko utama di Boru, terus ada pengungsi mandiri, terus kalau di Konga itu kami bantu air minum bersih, mereka mungkin kenal atau apa mereka minta lewat ibu punya teman, memang kami tidak pernah ketemu hanya kita sumbang air bersih disana karena mereka kekurangan air bersih. Ini inisiatif dari kami berdua suami istri sama anak, sumber dana dari kami sendiri sebagian dan ada sebagian dari teman-teman juga bantu," ujar Bripka Vinsen memulai percakapan saat diwawancarai TribunFlores.com, Senin, 2 Desember 2024 malam. 

Dia bersama sang istri sengaja mengajak si kecil Santisima agar mulai belajar sejak dini untuk hidup saling membantu sesama apalagi di tengah kondisi bencana. 

Sejak pertama kali terjadi erupsi dahsyat, Bripka Vinsen mendengar ada ratusan warga yang bahkan mengungsi hingga ke wilayah Kabupaten Sikka. 

"Jadi saya dan ibu tergerak hati untuk ikut membantu, jadi saya bilang ke ibu waktu itu, kita usahakan sembako atau apa yang ada kita usaha dulu supaya bisa membantu kita punya keluarga dan saudara-saudara yang mengungsi mandiri ini, dan kami tiga mulai dari pergi belanja, pengepakan sampai distribusi itu kami tiga sendiri jadi kami cari waktu kosong baru kami sepakat untuk jalan sama-sama," tambah alumni SMK Sint Gabriel ini. 

Untuk distribusi ke posko Boru dan posko Konga, Bripka Vinsen dan Maria Sherly hanya menitipkan sembako melalui teman-temannya yang juga sedang bertugas di kedua posko utama itu. 

"Kalau ke Boru tidak kami tidak langsung kesana, kami hanya titip sembako kebetulan ada teman dan ibu punya teman ada disana, ada teman-teman anggota Brimob punya keluarga disana mereka minta tolong, kita upayakan, tidak banyak tapi sedikit kita berusaha untuk bantu mereka," ujar pendiri rumah belajar Santisima ini. 

Selain membantu para pengungsi, Bripka Vinsen dan Maria Sherly juga membantu sembako beberapa mahasiswa STFK Ledalero yang orang tuanya terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. 

Hingga saat ini, pasangan suami istri ini dibantu beberapa donatur lainnya masih terus menyalurkan bantuan bagi para pengungsi erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Ada beberapa lokasi pengungsian yang tidak bisa dijangkau karena alasan kesibukan pekerjaan keduanya, mereka menyalurkan bantuan berupa uang tunai kepada teman dan kenalan kemudian disalurkan kepada para pengungsi yang membutuhkan. 

"Bantuan ini ada beberapa yang lewat ibu punya teman, ada yang butuh air bersih lagi di Konga, alamatnya kita belum tahu pasti jadi kita lewat ibu punya teman, kebetulan dokter tugas di sana jadi kita drop air bersih, kita kirim uang kesana nanti ibu dokter di sana yang bantu pengadaan air bersih," ujar dia. 

Menurut dia, kondisi ribuan pengungsi yang kehilangan tempat tinggal dengan kondisi yang memprihatinkan, ribuan anak kehilangan tempat belajar menjadikan dia dan sang istri tergerak untuk ikut membantu.

"Kebetulan kami juga dengar satu sekolah yang namanya Santisima, mirip nama anak jadi kami tergerak untuk membantu sampai ajak dengan anak juga ikut," tambah Bripka Vinsen. 

Menurut Maria Sherly Hilene, istri Bripka Vinsensius M. Nurak, dengan mengajak si kecil Santisima untuk turut terlibat dalam aksi kemanusiaan membantu para korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, keduanya mau mengajarkan kepada sang buah hati tentang kasih dan pelayanan sejak dini. 

"Supaya kalau dia tumbuh besar dan dia tinggal di tempat lain dia bisa belajar memberi dari apa yang dia punya, karena yang namanya bencana itu momen untuk kita belajar berbagi, jadi nona masih kecil jadi kita ajak dia belajar sejak dini," tutur guru Bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka ini.

Bagi Maria Sherly Hilene yang juga merupakan penyintas saat gempa dan tsunami Jogja beberapa waktu lalu, dia sangat memahami kondisi keterbatasan para pengungsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. 

"Pas kuliah di Jogja kan ada bencana gempa dan tsunami, terus saya juga pernah jadi pengungsi jadi saya pernah merasakan sendiri, tidak punya keluarga, makan sangat sederhana dan segala macam keterbatasan jadi berangkat pengalaman itu, saya juga pernah merasakan apa yang mereka rasakan saat ini," tambah dia.

Awalnya, tutur Maria Sherly, dia bersama sang suami merogoh kocek pribadi untuk membantu para pengungsi di Baganatar. Dalam perjalanan, beberapa teman-teman mereka di luar Pulau Flores dan Pulau Flores bahkan Belgia ikut bergabung bersama Bripka Vinsen dan Maria Sherly untuk menyalurkan bantuan baik berupa sembako maupun kebutuhan lainnya. 

Selama turun membantu dan melihat langsung kondisi para pengungsi baik yang ada di Boru, Konga dan wilayah Kabupaten Sikka, Maria mengaku sedih dan prihatin terutama melihat langsung kondisi para lansia dan anak-anak.

"Itu sedih sekali, ada cerita yang sangat memilukan, ada mama tua yang sampai sekarang dia tidak tahu suaminya ada dimana, mama itu sekarang ada di Talibura, dia mengungsi mandiri jadi dia terpisah dengan suaminya saat malam erupsi kedua, jadi dia lari dia tidak tahu suaminya ada dimana sekarang, jadi dia hanya bilang dia berharap suaminya baik-baik saja, kalau dilihat dari cara dia berbicara itu seperti mama tua mengalami trauma berat dan mengalami kebingungan," tutur Maria Sherly dengan nada sedih.

Selain itu, ada beberapa anak-anak yang ditemui Maria Sherly di kamp pengungsian mandiri yang juga mengalami trauma berat.

"Jadi ketika kami ketemu mereka dan ngobrol, kebetulan ada suara musik besar, mereka lari terus mereka tanya, mama ibu tidak lari kah, mama ibu tidak takut kah, itu bunyi gunung, jadi saya bilang itu bukan bunyi gunung meletus, itu bunyi musik, terus mereka balik tanya, kita amankah disini, saya bilang kita aman disini. Jadi kita bayangkan, anak-anak usia TK mengalami trauma yang cukup berat," tutur Maria Sherly.

Bahkan, kata dia, ada beberapa ibu-ibu yang tinggal di kamp pengungsian mandiri yang merasa malu harus terpaksa meminta segelas beras dari rumah ke rumah.

"Jadi mereka sampai bilang biar mereka lapar juga mereka tahan saja, jadi yang ada di pikiran saya itu, pengungsi mandiri itu ada banyak di sekitar kita, tinggal bagaimana kita punya hati terketuk dan terbuka untuk mencari tahu mereka ada dimana dan kehidupan mereka sekarang seperti apa karena rata-rata mereka kesulitan sekali," ujar dia. 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved