Berita Lembata

Sabtu Besok, Nara Teater Pentaskan 'Ibu Tanah' di Taman Kota Lewoleba Lembata

Nara Teater, Komunitas yang didirikan Silvester Petara Hurit, seorang aktor dan penulis nas

|
Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM/HO-DOK NARA TEATER
LATIHAN-Para aktor Nara Teater sedang berlatih di Kota Larantuka sebelum pentas di Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata pada Sabtu, 19 Juli 2025. 

TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA-Usai tampil di Festival Maumerelogia di Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Mei 2025 yang lalu, Nara Teater, kelompok seni teater asal Larantuka, akan kembali hadir di Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata.

Komunitas yang didirikan Silvester Petara Hurit ini akan mementaskan teater 'Ibu Tanah' di Taman Swaolsa Titen, Kota Lewoleba, Lembata, Sabtu (19/7/2025) malam.

“Karya Pentas ‘Ibu Tanah’ produksi Nara Teater Tahun 2025 dirancang-bangun berdasarkan penelusuran mitologi dan sejarah penguasaan atas tanah. Dalam mitologi Lamaholot, tanah digambarkan sebagai ibu yang melahirkan dan memangku (:memelihara) manusia. Oleh karena itu, dianggap suci, dihormati dan dijaga sebaik-baiknya,” papar Sil, selaku Sutradara, dan Pendiri Nara Teater, dalam keterangan tertulis, Jumat, 18 Juli 2025.

Pada tanah, jelas Sil, ada sekian kehidupan yang saling berinteraksi, saling topang membentuk mata rantai kehidupan (ekosistem). “Saling menjaga dan merawat. Mensifati tanah sebagai ibu yang senantiasa berbagi (:menghidupi) dengan sabar dan penuh kasih,” ungkap dia.

Baca juga: Teater Setali Cahaya di Maumere: Hantu Kapitalisme dan Ancaman Pantai yang Direnggut Pariwisata 

 

 

Ketika kebudayaan manusia berkembang, lanjutnya, lahir feodalisme. “Sistem kekuasaan yang bertumpuh pada raja/tuan tanah. Penguasaan tanah oleh raja/tuan tanah melahirkan dominasi dan penguasaan sumber daya ekonomi yang timpang. Kolonialisme Eropa yang bekerjasama elit lokal melahirkan sistem buruk dan ekploitatif atas tanah. Ekonomi penjajah mendominasi ekonomi masyarakat lokal. Mengubah rakyat sebagai pemilik tanah menjadi buruh atau orang upahan atas tanahnya sendiri,” jelas dia.

Dikatakan, hampir seabad usia kemerdekaan, pengerukan sumber daya produktif dan kekayaan alam terus terjadi. “Sektor vital seperti pertanian, pendidikan, kesehatan tunduk pada permainan pasar. Tanah dikuasai, laut dikafling, tanah dibor atas sekian dalil kesejahteraan. Problem ekologi mengancam kehidupan Masyarakat,” ujarnya, mengingatkan.

“Pada akhirnya kita bertanya: Pembangunan untuk siapa? Pembangunan berlabel premium hanya menguntungkan segelintir elit. Retorika politik yang manis ternyata menyembunyikan ketamakan yang mengangkangi Ibu Tanah sendiri. Migrasi anak tanah keluar dari kampung halamannya menjadi buruh kasar, pembantu rumah tangga di tanah orang sedang investor, institusi-institusi besar datang menguasai tanahnya. Rakyat dan umat makin susah punya akses atas tanah sedang para elit dengan segala kekuasaan yang ada padanya terus menambah kekayaan termasuk kepemilikan atas tanah,” ujarnya.

“Kita hanya memperpanjang sistem buruk warisan kolonial. Distribusi kekayaan tetap saja timpang. Kerjasama elit lokal dengan kepentingan ‘pihak luar’ terus terjadi. Masyarakat terpecah, pro dan kontra, kadang bertikai hanya karena kepentingan pihak luar. Yang kerap memanfaatkan elit setempat dan aparat yang mestinya menjaga dan melindungi masyarakat. Pun agama sebagai kekuatan pembebas dalam sejarah kehadirannya malah berkontribusi menggerus iman masyarakat lokal pada Ibu Tanahnya,” tandasnya.

Baca juga: Mural Wajah Diogo Jota Selesai Dilukis di Dekat Anfield

Pada akhirnya, sambung Sil, “Kita bertanya: Pembangunan untuk siapa? Kampanye politik, pidato pembangunan, sidang di Lembaga Perwakilan Rakyat, kotbah di mimbar-mimbar keagamaan untuk siapa? Siapa sesungguhnya yang kita wakilkan dan perjuangkan?”

“Penjajahan terus hadir dalam bentuk dan model baru yang mengekploitasi, memecah-belah dan menciptakan budaya konsumtif dan ketergantungan masyarakat terhadapnya,” tegasanya.

Pentas “Ibu Tanah”, kata dia, adalah sajian kecil penggalian narasi-narasi minor, sejarah orang-orang kalah serta tokoh-tokoh yang tak terbaca dalam sejarah dominan. “Sejarah selalu diproduksi oleh pemenang, oleh kekuasaan yang kadang mencaplok tanah rakyat, menciptakan rasa inferior, menggerus iman dan secara perlahan (sistemik) mengusir mereka dari tanah leluhurnya,” tandasnya, lagi.

“Pentas ‘Ibu Tanah’ adalah cara kami berbagi kegelisahan. Mengingatkan kita supaya menjaga tanah kita, laut kita, langit kita. Jangan sampai kita terbuai dan tertipu pada segala janji manis kesejahteraan. Ujung-ujungnya hanya meninggalkan luka akibat konflik internal. Dibuat terkotak-kotak, terpecah-belah. Jadi orang upahan, gelandangan atau buronan di Tanah Ibu kita sendiri,” ungkap Sil.

Penasaran dengan teater ‘Ibu Tanah’? Ayo, datang ke Taman Swaolsa Titen, Sabtu (19/7/2025), malam minggu nanti. 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved