TRIBUNFLORES.COM,MAUMERE-Dua tahun berturut, 2020 dan 2021, Logu Senhor tradisi memperingati kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus pada Hari Jumat Agung ditiadakan perayaannya oleh umat Katolik Keuskupan Maumere di Kampung Sikka, Kecamatan Lela di sebelah selatan Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Provinsi NTT.
Logu Senhor artinya berjalan menunduk di bawah Salib Yesus yang diletakkan di atas sebuah tandu diusung empat petugas pengusung. Pada saat melakukan tradisi ini, setiap umat membawa lilin bernyala menyampaikan doa dan intensi pribadi dalam hati, berharap permohonannya dikabulkan Yesus Kristus yang menderita dan wafat di salib.
Menurut sejarahnya, Salib Yesus ini dibawa pada tahun 1600 dari Portugis oleh Raja Sikka,Don Alexius Ximenes da Silva yang lebih akrab dipanggil Don Alesu. Salib berukuran mini sepanjang 75 centimeter selama ini disimpan di Kapela Senhor yang letaknya sebelah kiri Gereja Sikka.
Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam Kapela Senhor, kecuali turunan Darabogar yang disebut-sebut sebagai pengawal raja. Jauh sebelum dibangun Kapela Senhor pada 1997, Salib Yesus tersebut disimpan di sakristi.
Baca juga: Diskusi Soal Sinergitas, Karutan Maumere Bertemu Kapolres Sikka
Tradisi Logu Senhor disatukan dengan drama penyaliban Yesus dari armida ke armada dimulai dari Gereja Sikka yang sekarang sudah berumur 123 tahun.
Bagi umat Katolik di Kampung Sikka dan umat Katolik di Kabupaten Sikka umumnya, Logu Senhor adalah penghayatan iman akan kematian Tuhan Yesus. Berjalan menunduk di bawah Salib Yesus, kita menaruhkan harapan, keluh kesah,permasalahan dan segala derita akan dilebur dalam Salib Kristus.
Perjalanan sejarah Logu Seinhor bermula dari abad ke-15 sampai abad ke-16 ketika wilayah Sikka dipimpin Moang Baga Ngang. Ia memiliki tiga orang putra, Moang Lesu, Moang Korung dan Moang Keu.
Dari ketiga anak ini, Moang Lesu lebih menonjol dalam wawasan dan kehidupan masyarakat Sikka mulai dari kelahiran, kehidupan seperti dalam syair Bahasa Sikka.
Baca juga: Resmikan SLB Karya Ilahi, Presiden Direktur Henkel Ikut Bermain Musik Tradisional Khas Sikka
"Niang ei Beta Mate Tanah ei Herong Potat Mate Due Rate Rua Potat Due Leda Telu
Blutuk Niu Nurak di Mate Blupur Odo Korak di Potat Teri di Mate, Era di Potat"
Dua kalimat ungkapan ini menggambarkan bahwa dunia tidak kekal abadi. Setiap ada kehidupan pasti ada kematian. Kematian tidak dibatasi umur. Bayi bisa mati, tua renta pun mati. Kapan saja kematian itu pasti ada.
Moang Lesu memikirkan dan mencari kemungkinan adakah tempat lain yang tidak ada penderitaan dan kematian di dunia ini. Dia memutuskan mengembara mencari tanah tersebut, dalam Bahasa Sikka dikenal dengan "Tanah Moret".
Moang Lesu berjalan menuju wilayah utara di Pelabuhan Waidoko, Maumere. Pelabuhan ini merupakan persinggahan kapal-kapal dagang dari Bugis, Buton, Makassar, Bonerate dan Portugis yang datang dari Tanah Malaka.
Baca juga: Polisi Amankan 5 Terduga Pelaku Penganiayaan Pria di Sikka, 1 Anak Dibawa Umur
Di Pelabuhan Waidoko, Moang Lesu bertemu Dzogo Worilla, anak buah kapal dagang milik Portugis. Kepada Dzogo Worila, Moang Lesus menanyakan apakah di tempat tinggalnya tidak ada kematian.
Worila mengatakan bahwa di dunia ini manusia yang lahir dan hidup, pasti berakhir dengan kematian.