Berita Belu

Ai Uhik Kukus dan Ut Moru, Cita Rasa Tradisi Belu di NTT yang Tak Lekang oleh Waktu

Kedua pangan ini bukan sekadar makanan, melainkan warisan kuliner yang menyimpan nilai sejarah, kearifan lokal Belu NTT.

Editor: Gordy Donovan
POS-KUPANG.COM/AGUS TANGGUR
PAMER PANGAN LOKAL - Kelompok UMKM Srikandi dari PKK Kecamatan Atambua Barat, Kabupaten Belu saat mengikuti Lomba Pesta Pangan Lokal “Fila Ba Abut” 2025, yang digelar oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI NTT bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Belu, pada 30 Oktober hingga 1 November 2025 lalu. 
Ringkasan Berita:
  • Ai Uhik Kukus & Ut Moru, pangan tradisional Belu yang menyimpan nilai budaya dan identitas lokal.
  • Pelestarian & Ketahanan Pangan, festival lokal mendukung kelestarian kuliner dan ekonomi kreatif berbasis budaya.
  • Generasi Muda & Kebanggaan Daerah, anak muda diharapkan bangga dan melestarikan warisan kuliner leluhur.

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Agustinus Tanggur

TRIBUNFLORES.COM, ATAMBUA- Asap tipis mengepul dari tungku tradisional di salah satu stand di lapangan umum Kota Atambua Kabupaten Belu, (1/11/2025) malam. Diatas kuali tanah liat yang hangat, aroma wangi kelapa parut, gula merah yang di sangrai perlahan menguar. 

Dua pangan lokal khas Kabupaten Belu Ai Uhik Kukus dan Ut Moru, kembali diolah dengan cara tradisional, sebagaimana dilakukan para leluhur dulu. 

Kedua pangan ini bukan sekadar makanan, melainkan warisan kuliner yang menyimpan nilai sejarah, kearifan lokal dan filosofi hidup masyarakat Belu.

Di tengah banyaknya kuliner modern dan makanan cepat saji, cita rasa sederhana dari bahan alami seperti ubi kayu, jagung, kelapa, dan gula merah tetap menjadi simbol ketahanan budaya masyarakat perbatasan.

Baca juga: Asa Perempuan Sanggar Dala Mawarani Lestarikan Lekun, Kue Tradisional Maumere di NTT

 

Hal ini disampaikan Kornelia Elisabet S, Ketua Kelompok UMKM Srikandi dari PKK Kecamatan Atambua Barat, saat mengikuti Lomba Pesta Pangan Lokal “Fila Ba Abut” 2025, yang digelar oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI NTT bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Belu, pada 30 Oktober hingga 1 November 2025 lalu.

"Ai Uhik Kukus dan Ut Moru ini bukan hanya makanan, tapi warisan budaya. Di dalamnya ada nilai-nilai, ada identitas, dan ada kebanggaan sebagai orang Belu,” tutur Kornelia. 

Warisan Leluhur

Menurut Kornelia, resep dan cara pengolahan kedua pangan ini diwariskan secara turun-temurun. Para ibu di kampung biasanya memasak di atas tungku kayu dengan menggunakan kuali tanah liat. Cara tradisional itu dipercaya memberi aroma dan cita rasa yang lebih khas dibanding alat modern.

Ai Uhik Kukus dibuat dari campuran tepung ubi kayu, kelapa parut, gula merah, dan sedikit garam. Adonan itu dikukus di atas uap mendidih hingga lembut dan harum. Teksturnya legit, manis gurih, dan menghadirkan rasa nostalgia bagi siapa pun yang mencicipinya.

Sementara Ut Moru dibuat dari tepung jagung dan kelapa parut yang disangrai di atas bara api kecil dalam kuali tanah liat. Proses sangrai ini menuntut kesabaran karena harus dilakukan perlahan agar tidak gosong, menghasilkan cita rasa gurih alami dan aroma yang menggoda.

“Nilai gizinya juga tinggi. Ubi dan gula memberi karbohidrat, kelapa menyumbang lemak sehat dan protein nabati. Ini pangan sederhana, tapi menyehatkan,” jelas Kornelia.

Ia berharap generasi muda tidak melupakan pangan lokal yang menjadi identitas Kabupaten Belu.

"Anak-anak muda harus bangga dengan kuliner daerahnya. Dari pangan lokal, kita belajar tentang kesederhanaan, ketekunan, dan cinta tanah sendiri,” ujarnya.

Sementara, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Belu, Januaria Nona Alo, menyampaikan apresiasi tinggi kepada seluruh peserta dan pelaku UMKM yang telah menampilkan kekayaan pangan tradisional daerah.

“Kegiatan ini bukan sekadar lomba, tapi gerakan bersama untuk menjaga dan mencintai pangan lokal kita. Dari dapur sederhana dengan tungku tradisional dan kuali tanah, lahirlah karya yang memperkenalkan identitas Belu,” ujar Januaria.

Ia menegaskan, Pemerintah Kabupaten Belu terus berkomitmen menjadikan Atambua sebagai kota perbatasan yang berkarakter budaya, festival, dan wisata kuliner lokal.

“Mari kita dukung terus pelestarian pangan tradisional sebagai bagian dari pengembangan pariwisata berbasis budaya. Dengan begitu, Belu bukan hanya dikenal karena keindahannya, tapi juga karena cita rasa khasnya,” tandasnya.

Sebelumnya, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI NTT, Haris Budiharto, S.S., M.Hum., saat pembukaan kegiatan mengatakan ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas nasional yang harus dijaga melalui kolaborasi lintas sektor.

"Apa yang kita lakukan hari ini adalah bagian dari upaya kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Setiap kementerian, lembaga, dan organisasi, termasuk yang di luar pemerintahan, memiliki peran penting dalam mendukung hal ini,” ujarnya.

Menurut Haris, pangan lokal tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga memiliki makna budaya yang dalam karena merupakan warisan leluhur.

“Pangan lokal adalah cerminan perjalanan panjang masyarakat kita. Melalui acara ini, kami ingin generasi muda kembali mengenal dan bangga terhadap makanan tradisional daerahnya,” jelasnya.

Ia menyebutkan, Balai Pelestarian Wilayah XVI akan mendorong sejumlah kuliner khas Belu untuk diusulkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, agar dikenal lebih luas di tingkat nasional.

"Kami berharap kuliner-kuliner khas Belu dapat diterima dan dikenal di seluruh Nusantara. Belu memiliki karakteristik geografis yang unik dan potensi budaya yang kaya,” tambahnya.

Haris juga menegaskan pentingnya sinergi antara bidang kebudayaan, pertanian, dan industri kreatif dalam mengembangkan potensi pangan lokal.

"Tema pangan lokal ini menjadi langkah awal untuk mendukung kebijakan pangan nasional dan menggerakkan ekonomi kreatif berbasis budaya,” tutupnya. (gus) 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved