Berita Flores Timur
Simak Isi Memorandum Keadaan Fiskal NTT Saat Seminar para Kepala Daerah
Kebijakan Fiskal Nasional adalah cermin Ideologi Bangsa. Ia harus mengalir dari jiwa yang kuat untuk
Penulis: Paul Kabelen | Editor: Nofri Fuka
Ringkasan Berita:
- Para kepala daerah Bupati dan Wakil Bupati se-Provinsi NTT menggelar seminar terkait keadilan fiskal Nasional di Hotel Asa Larantuka
- Dalam seminar ini ada memorandum yang kemudian dibahas para kepala daerah untuk dibawa ke Pemerintah Pusat di Jakarta
- Sejumlah narasumber hadir membawakan materi, diantaranya Kemendagri dan Kementerian Keuangan RI.
- Poin utama yang dikupas adalah kebijakan fiskal nasional yang merupakan cermin Ideologi bangsa
Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Paul Kabelen
TRIBUNFLORES.COM, LARANTUKA - Para kepala daerah Bupati dan Wakil Bupati se-Provinsi NTT menggelar seminar terkait keadilan fiskal Nasional di Hotel Asa Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Kamis, 6 November 2025.
Hadir dalam seminar Bupati Flores Timur, Sikka, Lembata, Malaka, Wabup Sumba Tengah, Wabup Sumba Barat Daya, Wabup Kupang, Wabup TTS, Asisten 1 Setda Ende dan Asisten 3 Setda Nagekeo, Kepala keuangan di NTT dan pejabat di Flores Timur. Seminar ini dibuka Ketua APKASI, Bursah Zarnubi.
Dalam seminar ini ada memorandum yang kemudian dibahas para kepala daerah untuk dibawa ke Pemerintah Pusat di Jakarta.
Berikut gambaran memorandumnya yang diperoleh TRIBUNFLORES.COM. Memorandum ini akan dibahas setelah sejumlah narasumber membawakan materi, diantaranya Kemendagri dan Kementerian Keuangan RI.
Baca juga: BREAKING NEWS: Seminar Keadilan Fiskal Bupati se-NTT Dibuka Ketua APKASI
Kebijakan Fiskal Nasional adalah cermin Ideologi Bangsa. Ia harus mengalir dari jiwa yang kuat untuk maju bersama, semangat yang terarah untuk berbagi dalam kebersamaan dan kegotongroyongan, tekad yang kuat untuk menghimpun dan membangun kekuatan nasional, rasa saling percaya yang terus dibangun di antara penyelenggara pemerintahan di berbagai tingkatan, dan komitmen bersama untuk mempertanggung jawabkan setiap tugas dan kepercayaan di bawah suatu "Sistem Pengendalian" yang handal, dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam bingkai NKRI sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.
Karena itu, tidak boleh berujung pada konsolidasi kesenjangan alamiah kapasitas fiskal antar daerah karena perbedaan karunia sumber daya yang dimiliki antara daerah-daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dan daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah, atau membuat daerah dengan kapasitas fiskal tinggi melesat jauh meninggalkan daerah dengan kapasitas fiskal rendah.
Sebaliknya, kebijakan fiskal nasional harus bisa mengatur agar daerah kapasitas fiskal rendah boleh menikmati pelayanan-pelayanan dasar minimal dan mempunyai peluang maju dengan mendayagunakan sumber daya terbatas di Daerah.
Lebih lanjut, daerah dengan kapasitas fiskal tinggi boleh terus berbagi, dan makin berkemampuan berbagi, karena modal kelimpahan sumber daya yang dimiliki sudah dapat dikelola dengan baik untuk keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Fakta menunjukkan bahwa prinsip berbagi dalam bingkai NKRI, dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kapasitas fiskal yang beraneka ragam di antara berbagai daerah di Indonesia, telah diingkari dan dicederasi dalam dalam waktu lama dan makin menonjol beberapa tahun terakhir.
Dengan perubahan regulasi terkait Dana Perimbangan yang berubah menjadi Transfer Ke Daerah (TKD), menghilangkan jiwa ideologis dan prinsip-prinsip dasar otonomi, yang landasannya diletakkan cukup kuat melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Dari 22 kabupaten/kota di NTT dan 28 kabupaten/kota sampel dengan kapasitas fiskal kuat dan sangat kuat di Indonesia, menunjukkan total Dana Alokasi Umum (DAU) daerah-daerah kapasitas fiskal lemah seperti NTT dan daerah-daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi relatif sama atau tidak berbeda secara signifikan.
Hal demikian tidak boleh dianggap sepele, karena DAU adalah wahana ideologis untuk memastikan keadilan dan keberimbangan pembiayaan pembangunan sebagaimana amanat awal yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 1999.
Sehubungan dengan temuan DAU di atas dan fakta lain terkait Dana Perimbangan dan/atau Transfer ke Daerah (TKD), para kepala daerah se-NTT menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Dana Alokasi Umum (DAU) sejatinya tetap diperlakukan sebagai alat ideologis untuk memastikan keadilan dan keberimbangan pengelolaan pembiayaan pembangunan daerah-daerah di Indonesia dalam bingkai NKRI.
Kabupaten-kabupaten se-NTT berhak mendapat porsi yang lebih proporsional dibanding kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi.
NTT adalah daerah dengan sumber DBH paling terbatas dibandingkan dengan daerah lain, masih terbatas dalam capaian PAD, dan tidak mendapat perhatian afirmatif berupa dana Otonomi Khusus.
Dengan mempertimbangkan regulasi eksisting yang sedang dijadikan rujukan, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan penerapan regulasi tersebut yang sudah terlanjur menjadi fakta yang tercermin dalam proses penganggaran Tahun 2026, maka NTT berharap ada dana afirmasi keberimbangan fiskal sejumlah Rp 100 miliar per daerah di NTT pada Tahun 2026.
Untuk mengkompensasi fakta ketidakberimbangan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun selama ini, sambil menunggu adanya audit Kebijakan dan atau praktek kebijakan dan/atau penerjemahan kebijakan berbentuk formula-formula penghitungan yang menimbulkan adanya ketidakberimbangan tersebut.
Mengusulkan agar dilakukan kaji ulang dan AUDIT secara serius atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah aerah yang telah mengubah secara mendasar filosofi dan prinsip-prinsip pengelolaan kebijakan transfer ke daerah, yang berkonsekuensi pada pengaturan alokasi Dana Bagi Hasil, DAU, dan DAK yang tidak lagi mengindahkan asas keadilan dan keberimbangan dalam bingkai NKRI.
Pengaturan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Penghasilan dan DBH Sumber Daya Alam (khususnya Mineral, Minyak Bumi, dan Gas Bumi) secara proporsional terlalu berpihak pada Daerah Penghasil sehingga menghasilkan kenyataan bahwa daerah-daerah penghasil sangat berkelimpahan DBH, sementara daerah-daerah bukan penghasil mendapat porsi yang terlalu kecil.
Pada saat yang sama, daerah-daerah penghasil masih mendapat porsi DAU yang sama, dan lebih miris lagi, terus mendapat kucuran bantuan pembangunan fisik Pemerintah Pusat melalui Dana yang dikuasai Kementerian.
Dengan kelonggaran dan kapasitas fiskal yang ada, daerah-daerah dengan DBH tinggi cenderung memperlihatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi pula, sehingga menghasilkan kesenjangan yang makin lebar dalam kapasitas fiskal antara daerah dengan kelimpahan DBH dan daerah miskin DBH.
Bahwa daerah-daerah dengan DBH dan PAD tinggi ini masih mendapat porsi DAU yang sama dengan daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah seperti NTT, dan masih terus mendapat perhatian sangat besar dari Pemerintah Pusat untuk kebutuhan pembangunan fisik dan non fisik mereka.
Sejalan dengan perubahan dalam filosofi dan prinsip, redefinisi dan reformulasi penghitungan DAU dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tengah menciptakan mala petaka besar bagi daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah seperti NTT.
Penghilangan komponen Alokasi Dasar (yang dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan belanja pegawai) dalam penghitungan DAU menurut UU Nomor 1 Tahun 2022, telah membuat DAU secara total di Tahun 2026 hanya mampu menjawab kebutuhan belanja pegawai, apalagi belanja pegawai ini harus ditambah dengan belanja gaji P3K dan Tunjangan Peningkatan Penghasilan (TPP) sebagai kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Kondisi ini tentu sangat mengganggu kinerja pembangunan dan pelayanan-pelayanan di daerah-daerah kapasitas fiskal rendah karena hanya mengandalkan PAD dan DBH yang sangat terbatas.
Kondisi ini tentu juga tidak menyediakan modal yang cukup bagi daerah-daerah kapasitas fiskal rendah untuk mengambil langkah besar dalam peningkatan PAD, terutama di bawah Kepemimpinan Baru yang dihasilkan Pilkada serentak Tahun 2024 yang merencanakan langkah-langkah signifikan untuk peningkatan PAD.
Redefinisi dan reformulasi DAU adalah kebutuhan mendasar yang sangat perlu mendapat perhatian, dan sehubungan dengan itu, beberapa usulan hasil pencermatan di bawah ini dapat dipertimbangkan, alokasi Dasar untuk menjawab kebutuhan belanja pegawai tidak dihilangkan.
Kebutuhan fiskal dihitung dengan menggunakan varibel nyata, dan bukan variabel indikatif. Varibel nyata tersebut adalah kebutuhan biaya untuk mencapai target Standar Pelayanan Minimal (SPM) di 7 Bidang Pelayanan Dasar.
Kebutuhan fiskal untuk mencapai target SPM di 7 Bidang Pelayanan Dasar ini harus jelas untuk setiap daerah, dengan angka nominal, dan bukan indeks yang sering mengaburkan angka kebutuhan nyata.
Satuan biaya untuk setiap Bidang dan setiap urusan dalam Bidang harus jelas untuk setiap daerah.
Pelayanan infrastruktur jalan merupakan kebutuhan sangat penting, dan karena itu perlu masuk sebagai salah satu urusan dalam SPM bidang Infrastruktur; dengan satuan biaya yang customized dengan keadaan daerah. Dengan cara ini, maka indeks kemahalan konstruksi tidak perlu lagi menjadi variabel tersendiri.
Pengentasan kemiskinan perlu dimasukkan dalam urusan SPM Bidang Sosial, dengan satuan biaya pengentasan kemiskinan setiap daerah yang jelas.
Variabel-variabel indikatif seperti luas wilayah dan jumlah penduduk tidak perlu lagi dimasukkan dalam perhitungan. Apalagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 memberikan arahan yang kabur mengenai kedua variabel ini, yakni dengan menggunakan kata mempertimbangkan tanpa ada kejelasan metodologis.
Variabel luas wilayah semestinya sudah dapat dicerminkan melalui variabel kebutuhan infrastruktur jalan sebagai bagian dari SPM Bidang Infrastruktur, atau variabel konkret lain yang berkaitan.
Demikian pula variabel jumlah penduduk semestinya sudah dicerminkan melalui variabel pelayanan kependudukan, atau variabel konkret lain.
Urusan-urusan di luar urusan wajib Pemerintah Daerah sebaiknya diperhitungkan dengan proporsi tertentu yang jelas dalam penghitungan Dana Alokasi Umum, termasuk di dalamnya urusan ekonomi yang sangat penting bagi kemajuan daerah.
Konsisten per definisi, semestinya Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak masuk dalam perhitungan kemampuan fiskal daerah.
Kedudukan Dana Alokasi Khusus (DAK), dan perbedaan kategorisnya dengan DAU, sudah saatnya diperjelas.
Semua urusan yang berkaitan dengan pencapaian SPM sebaiknya masuk dalam DAU, kecuali berkaitan dengan program nasional yang sungguh-sungguh merupakan TOP-UP melampaui Standar Pelayanan Minimal.
Kenyataan sejauh ini, DAK masih semata berurusan dengan Standar Pelayanan Minimal khususnya Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur; dan karena itu terkesan, bersama DAU Specific Grant, merupakan wahana resentralisasi keuangan daerah.
Program-Program Strategis Unggulan Pemerintah Pusat adalah program yang sangat besar kemanfaatannya buat Daerah dan membutuhkan anggaran besar. Program MBG tengah menunjukkan diri sebagai mesin besar pertumbuhan ekonomi daerah.
Tetapi penghematan anggaran di beberapa program unggulan seperti Koperasi Merah Putih akan menyediakan sedikit ruang fiskal untuk daerah-daerah rendah kapasitas fiskal seperti NTT.
Dengan menghemat setengah anggaran Koperasi Merah Putih, ruang fiskal untuk kebutuhan fiskal Daerah dapat tersedia.
Koperasi Desa Merah Putih masih membutuhkan kesiapan sumber daya manusia untuk dapat dijalankan dengan perencanaan bisnis dan manajemen yang mumpuni.
Kegagalan Desentralisasi adalah kegagalan Sistem Pendampingan, Pengawasan, dan Pengendalian Pemerintah Pusat.
Karena itu, kegagalan desentralisasi, dengan catatan-catatan bukti dan opini, semestinya tidak dijawab dengan resentralisasi.
Penguatan sistem pendampingan, pengawasan, dan pengendalian berbasis data, standardisasi yang SMART (specific, measurable, achievable, realistic, time-bound), subsistem reward dan punishment yang jelas, yang ditopang oleh pekerjaan monitoring dan evaluasi serta riset dan pengembangan (R&D) yang berkualitas, adalah kata kunci bagi sukses desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dan Otonomi Daerah adalah wujud kegotongroyongan kita untuk Indonesia Raya. (cbl)
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
| Remaja Difabel di Flores Timur NTT Dicabuli Tetangga, Pelaku Belum Ditahan |
|
|---|
| Guru asal Flores Timur NTT Raih Penghargaan Best Principal of the Year di Dubai |
|
|---|
| Penyintas Erupsi Lewotobi Datangi Kantor Bupati Flores Timur Jual Sayur Hasil Kebun |
|
|---|
| Bacok Tetangga Pakai Sajam, Pria di Adonara Flores Timur Diamankan Polisi |
|
|---|
| Dibacok dengan Parang, Pria di Flores Timur NTT Dilarikan ke Rumah Sakit |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/flores/foto/bank/originals/Bupati-Flotim-SAAT-Seminar-Fiskal-di-Flores-Timur.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.