Berita Lembata

Saat Orang Muda Lembata Bicara Kesetaraan dan Dampak Krisis Iklim

Pondok Perubahan menghadirkan sebuah dialog terbuka bertema “Kapan Kita Setara? Suara Muda untuk Iklim Sosial Lembata,” yang mempertemukan

Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM/HO-PONDOK PERUBAHAN
DIALOG-Pondok Perubahan menghadirkan sebuah dialog terbuka bertema “Kapan Kita Setara? Suara Muda untuk Iklim Sosial Lembata,” yang mempertemukan para aktivis muda, perempuan, penyandang disabilitas, jurnalis, pemerhati sosial, NGO, hingga perwakilan pemerintah, 10 November 2025 yang lalu. 

Beberapa desa sudah mulai memberi dukungan untuk merekronstruksi struktur sosial ini seperti menyediakan ruang perpustakaan atau ruang belajar, tetapi belum menjadi kebijakan berkelanjutan.

Perbincangan mengenai budaya adat menjadi salah satu bagian paling penting dalam diskusi. Para narasumber sepakat bahwa adat Lamaholot dan identitas kultural Lembata adalah nilai luhur yang harus dijaga. Namun dalam praktiknya, pengambilan keputusan adat masih didominasi laki-laki, sementara perempuan lebih sering berada di posisi yang dipertimbangkan, bukan menentukan.

Meskipun secara simbolik perempuan dihargai melalui struktur budaya tertentu seperti belis, dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap terbebani peran domestik dan minim akses ruang publik.

Baca juga: Kelas Nimo Tafa Institute: Kerja Politik di Lembata Sangat Dangkal, Ruang Publik Miskin Tema Krusial

Erlin Dangu menegaskan bahwa “solusinya bukanlah menghapus adat, melainkan membuka ruang refleksi dan dialog di antara tokoh-tokoh adat agar struktur pengambilan keputusan lebih inklusif bagi perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas.”

Dampak perubahan iklim terhadap dinamika keluarga dan pola migrasi juga menjadi sorotan penting.

Tini dari P2PA menggambarkan bagaimana banyak orang tua di Ile Ape terpaksa bermigrasi karena gagal panen dan kebutuhan untuk mencari sumber pemasukan ekonomi yang baru.

Migrasi ini menjadi strategi bertahan hidup, namun meninggalkan konsekuensi berat bagi anak-anak yang ditinggalkan.

Mereka menjadi lebih rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan putus sekolah. Ramli menambahkan bahwa penelantaran anak sering bermula dari kemiskinan ekstrem, bukan semata keputusan buruk keluarga.

Ia menegaskan bahwa persoalan ini harus dipahami sebagai persoalan struktural yang menuntut respons kebijakan publik yang komprehensif, bukan sekadar solusi kasus per kasus.

Di sisi lain, Jurnalis Alexander Taum menyampaikan bagaimana pemerintah daerah diharapkan memperkuat perannya. Meski pembentukan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak merupakan langkah maju, banyak program belum berjalan maksimal akibat keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia.

Media lokal juga dihadapkan pada tantangan kapasitas dan tekanan kerja yang membuat isu mendalam kurang mendapat ruang. Situasi ini menciptakan lingkaran setan: kelompok rentan tidak terdengar suaranya, kebijakan tidak peka terhadap kebutuhan mereka, dan ketimpangan terus berulang.

Sementara itu, rekomendasi strategis muncul untuk memperkuat gerakan anak muda dalam advokasi isu iklim dan sosial.

Erlina mendorong penyusunan roadmap gerakan lima tahun agar komunitas anak muda memiliki arah kerja yang jelas dan berkelanjutan, bukan sporadis.

Ia juga menekankan pentingnya edukasi publik di sekolah, komunitas keagamaan, dan kelompok desa, serta pembangunan basis data sederhana untuk memperkuat advokasi kebijakan. Ia menegaskan bahwa suara anak muda harus hadir sebagai suara substantif, bukan sekadar formalitas dalam forum-forum konsultasi.

Dalam sesi tanya jawab, muncul refleksi kritis dari peserta, di antaranya Eman Krova, yang menyatakan bahwa “diskusi ini sesungguhnya sedang menggugat struktur peradaban lokal yang tidak setara.”

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved