Berita Lembata

Saat Orang Muda Lembata Bicara Kesetaraan dan Dampak Krisis Iklim

Pondok Perubahan menghadirkan sebuah dialog terbuka bertema “Kapan Kita Setara? Suara Muda untuk Iklim Sosial Lembata,” yang mempertemukan

Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM/HO-PONDOK PERUBAHAN
DIALOG-Pondok Perubahan menghadirkan sebuah dialog terbuka bertema “Kapan Kita Setara? Suara Muda untuk Iklim Sosial Lembata,” yang mempertemukan para aktivis muda, perempuan, penyandang disabilitas, jurnalis, pemerhati sosial, NGO, hingga perwakilan pemerintah, 10 November 2025 yang lalu. 

Menurutnya, pertanyaan “kapan kita setara?” tidak boleh berhenti sebagai slogan, tetapi harus menjadi lensa untuk membaca ulang berbagai ketimpangan sosial yang telah lama dianggap biasa. Ia menyoroti bagaimana tradisi patriarki membatasi ruang gerak perempuan dan kebutuhan membangun narasi besar yang menjadi payung bagi tindakan-tindakan aplikatif seperti penyediaan fasilitas publik yang aman dan sensitif gender.

Dua pertanyaan penting juga muncul dari perwakilan Komunitas Tuli Lembata (Denis dan Eti), yaitu “bagaimana pemerintah, LSM, dan kelompok Tuli dapat bekerja sama membangun Lembata yang inklusif?”, serta “bagaimana peran LSM yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dalam mendukung kebutuhan kelompok disabilitas?”

Pertanyaan ini disampaikan melalui Emil Fernandez selaku Juru Bahasa Isyarat, dan langsung mengguncang suasana forum karena menunjukkan bahwa kelompok Tuli ingin terlibat aktif dalam proses pembangunan, bukan sekadar menjadi objek program.

Momen ini menjadi momen yang menyentuh, keberanian mereka mengajukan pertanyaan tentang hak, akses, dan kesempatan bagi kelompok Tuli menjadi simbol paling kuat dari perjuangan menuju kesetaraan.

Dari ruang tersebut, terlihat jelas bahwa kesetaraan tidak hadir karena diberikan, tetapi lahir ketika mereka yang selama ini berada di pinggir berani melangkah ke pusat ruang dialog.

Forum yang berlangsung selama beberapa jam itu menutup dengan pemahaman baru: kesetaraan adalah sebuah proses panjang yang hanya dapat terwujud ketika semua orang diberi ruang berbicara, didengar, dihargai, dan dilibatkan.

Suara-suara yang muncul malam itu, terutama dari kelompok muda dan disabilitas, menjadi pengingat bahwa inklusivitas bukan janji masa depan, melainkan tindakan yang dimulai di sini dan sekarang. Melalui suara mereka, publik Lembata melihat sebersit harapan tentang sebuah masyarakat yang terus bergerak menuju keadilan iklim dan keadilan sosial, dua hal yang tidak pernah dapat berjalan terpisah.

Krisis Iklim di Lembata

Lembata menghadapi tekanan perubahan iklim yang semakin nyata. Data Pena Bulu Foundation tahun 2024 menunjukkan penurunan tutupan mangrove hingga 40 persen, musim tanam yang tidak lagi dapat diprediksi, serta meningkatnya ancaman abrasi dan kekeringan.

Kondisi ini membuat masyarakat pesisir kehilangan sumber mata pencaharian, sementara kelompok perempuan, anak muda, dan penyandang disabilitas menjadi pihak yang paling terdampak.

Mereka berhadapan dengan berlapis tantangan: akses terbatas terhadap sumber daya, beban kerja domestik yang meningkat, serta minimnya ruang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Situasi ini diperparah oleh iklim sosial yang rentan akibat derasnya informasi tidak akurat, hoaks, dan polarisasi yang membuat hubungan antara masyarakat, pemerintah, komunitas adat, dan media semakin renggang. Keretakan ini menunjukkan bahwa bukan hanya ekosistem alam yang rapuh, tetapi juga ekosistem sosial yang menopang kehidupan bersama sedang tidak baik-baik saja.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved